March 30, 2019

(not) being perfectionist

The unexamined life is not worth living. ~ Socrates
..................................................................


Happy New Year !!!
Ini post pertama saya di tahun 2019. Akhirnya bisa mampir lagi setelah berkutat dengan “dunia nyata” yang selalu saya dambakan ketika dulu hanya sibuk di “dunia maya”.
Tahun ini, setelah pada tahun sebelumnya saya bertemu dengan banyak orang (yang menurut saya berada dalam frekuensi yang sama), saya (si tukang mikir ini) memutuskan untuk belajar selalu merefleksikan semua yang saya pikirkan, tidak berhenti sampai hanya dipikirkan, tapi kembali ke kebiasaan lama untuk merenungkannya. Jika ada dari teman sekalian yang suka berefleksi juga, mari saya ajak untuk kita memikirkannya bersama.
Well, singkatnya, beberapa hari yang lalu, saya berefleksi setelah melihat acara TV tentang memasak. Dalam acara itu, ada beberapa peserta lomba memasak yang dinilai gagal mengeksekusi tantangan sehingga mereka yang gagal ini (ada 6 orang) diminta untuk mengikuti pressure test yang mana mereka harus memasak dengan bahan yang unexpected dan alat seadanya dalam waktu hanya 60 menit saja. Dalam pressure test  tersebut, ada 2 peserta yang melakukan “kesalahan”. Kesalahan mereka sama, yaitu ayam dan bebek yang mereka masak BELUM MATANG. Reaksi kecewa juri dan peserta lain membuat saya berpikir, mereka beberapa kali mengatakan bahwa kedua orang yang gagal dan pulang ini adalah orang-orang dengan POTENSI baik, yang sebenarnya hanya melakukan “KESALAHAN KECIL” saja. Kalau dari kacamata orang biasa, memang kesalahannya “HANYA” pada inti masakan yang tidak matang, padahal yg lain makanannya ga istimewa tp kenapa lolos?
Kemudian saya teringat tentang “HABIT OF PERFECT EXECUTION” yang memang baru-baru ini saya highlight (karena sayapun merasa saya masih butuh belajar menerapkan hal ini). Perfect execution tidak sama dengan being perfectionist, OCD, atau nilai 100. Jika kita merelasikannya dengan acara TV tentang memasak ini, perfect execution itu tentang mengerjakan sesuatu dengan SEBAIK-BAIKNYA. Baik itu ukurannya apa? Ukurannya adalah POTENSI DIRI. Jadi, definisi habit of perfect execution dr hasil refleksi saya adalah MELAKUKAN SESUATU SEBAIK-BAIKNYA sesuai dengan POTENSI diri. Maka, ini berarti untuk memunculkan “Habit of Perfect Execution” ini, yang pertama dilakukan adalah mengukur potensi diri sendiri terlebih dahulu. Jika kita tahu dan sadar bahwa potensi itu belum (atau tidak ada) ada, maka sama saja dengan bunuh diri jika kita memaksakannya. Sehingga ada baiknya bagi kita untuk memapukan diri terlebih dahulu, memunculkan potensi, supaya dapat melakukan habit of perfect execution ini.
Chef juri dalam acara TV tersebut kecewa karena dua orang yang gagal dan pulang adalah orang yang sesungguhnya memiliki POTENSI, mereka mampu, namun eksekusinya TIDAK MAKSIMAL. Saya sempat berdiskusi dengan suami mengenai waktu memasak yang menurut suami sangat pendek. Namun coba bandingkan dengan peserta lain yang mampu membuat masakannya matang dalam waktu yang sama. Jadi sesungguhnya waktu bukanlah excuse untuk tidak mengerjakan tugas sebaik-baiknya jika memang kita punya POTENSI. Sama halnya dengan deadline pekerjaan misalnya, bukan berarti karena deadline yang mepet membuat tugas dikerjakan asal-asalan hanya demi memenuhi deadline saja kan?
Maka, akan menjadi wajar jika orang lain yang sudah melihat potensi kita menjadi kecewa ketika kita tidak mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Kecewa karena sudah expect sesuatu dari kita dengan potensi yang kita miliki, tapi kita tidak memenuhi ekspektasi tersebut. Rasa kecewa tersebut dapat berupa omelan, surat peringatan, dan lain-lain.
Renang pertama Keona di usia 3 tahun :)
Jika ada ibu-ibu yang membaca tulisan saya ini, mari kita relasikan hal ini pada pengasuhan anak. Jelas dengan pasti bahwa anak belum bisa menilai potensi kita untuk menjadi ibu yang baik bagi mereka (toh mereka juga tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga mana), tapi anak-anak dapat merasakannya. Mereka tak berdaya, berbeda dengan atasan yang mungkin bisa langsung memecat, anak akan cenderung mengekspresikan kecewanya dengan beragam cara seperti misalnya tantrum, berteriak, dan banyak hal ajaib lain yang justru akan semangin membuat ibu semakin jengkel.
Saya bukan ibu yang sempurna yang selalu memaksimalkan potensi. Tapi sebuah pengingat saya putar selalu “jika saya tahu hal yang benar namun tidak melakukannya, maka saya berdosa”, sehingga proses belajar menggali potensi tersebut akan menjadi bermakna karena saya ingin melakukan yang benar dengan sebaik-baiknya. Semoga refleksi ini dapat membuat hari-hari kita menjadi lebih baik.
Terima kasih

Selamat malam
Image and video hosting by TinyPic


PS: berikut saya post beberapa foto liburan dua minggu yang lalu ke Jogja saat merayakan ulang tahun Keona.



dan dia sudah berani
tiup lilin di samping kolam hotel, one of her bucket list


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...