Pengetahuan itu bukan pelatihan, informasi, kajian akademis, atau hafalan di luar kepala. Pengetahuan diteruskan bagai api obor, dari akal budi ke akal budi, dan nyalanya hanya bisa dikobarkan dalam akal budi yang betul-betul berpikir. Kita tahu bahwa pikiran melahirkan lebih banyak pikiran; hanya pada saat ada ide memantik akal budi kita, maka akal budi itu akan tergugah untuk melahirkan ide-idenya sendiri, dan ide-ide kita itu akan melahirkan perilaku keseharian kita. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 303
Hari ini hari pertama diskusi dalam grup kecil. Masuk ke halaman 303 membahas tentang bagaimana pengetahuan masuk ke dalam akal budi. Dalam bacaan dituliskan bahwa pengetahuan ibarat api obor yang diteruskan dari satu akal budi ke akal budi lain-dan hanya dapat berkobar pada akal budi yang betul-betul berpikir. Pengetahuan itu juga nantinya yang akan mempengaruhi perilaku keseharian kita.
picture from here |
Bagi kebanyakan orang, perjumpaan itu bisa dilakukan terutama lewat bukubuku; dan kalau kita ingin tahu seberapa jauh suatu sekolah menyediakan nutrisi intelektual bagi para siswanya, kita tinggal melihat daftar buku materi bacaan siswa selama periode belajar tersebut. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 303
Lalu pada bagian berikutnya, digambarkan bahwa buku merupakan "jembatan" antara akal budi orang dewasa dengan anak. Mudah bagi kita mengukur sebuah sekolah (dalam konteks ini kita orangtua yang berperan sebegai guru) seberapa jauh nutrisi intelektual diberikan kepada anak-lihat daftar bukunya.
Berdasarkan bahan bacaan hari ini, saya mencatat beberapa kriteria buku yang dimaksud :
1. daftarnya tidak boleh pendek (artinya tidak boleh hanya sedikit buku yang diberikan),
2. bukunya bervariasi (banyak pun akan menjadi tidak baik saat jenis buku yang diberikan itu itu saja-ditulis bahwa kekuatan kehendak siswa tidak akan berkembang secara holistik),
3. buku yang bukan berbentuk ringkasan,
4. buku yang merupakan tulisan asli pemikir,
5. tidak menggurui dan tidak menyimpulkan (agar siswa tetap berpikir dan mencerna apa yang dibaca),
6. berbentuk sastrawi seperti terutama puisi.
Sama seperti makanan jasmani yang terbagi dalam jenis menyehatkan (kadang tidak enak) dan yang tidak menyehatkan, buku dan kebiasaan pun juga terbagi dalam dua jenis seperti itu, dan padahal biasanya anak cenderung memilih "permen" yang tidak sehat sebagai kudapan mereka sehari-hari. Lalu bagaimana? dipaksa? Tetap paparkan anak dengan nutrisi yang menyehatkan, tetap beriman bahwa anak suatu saat akan "makan" yang sehat yang selalu kita paparkan. Lalu bagaimana dengan "permen" nya? perlu dibatasikah?
Dari diskusi, saya mencatat poin seperti "jangan mencobai anak" artinya, jangan paparkan anak terhadap "permen" itu tadi. Tapi kemudian, kita juga tidak bisa terus-terusan menjauhkan anak dari paparan "permen" itu kan? Menggunakan ilustrasi Putri Tidur dimana ia "dihindarkan" dari jarum pintal oleh raja karena kutukan jarum pintal, saya berpikir bahwa anak semestinya juga "diedukasi" tentang keberadaan "permen" tersebut walaupun kita tidak menyediakan "permen" di rumah. Edukasi bukan berbentuk larangan atau ceramah, tapi bantu anak untuk berpikir sendiri baik buruknya "permen" tadi. Lalu dari ilustrasi tentang Adam dan Hawa yang tetap makan buah terlarang walaupun sudah diedukasi, saya berpikir bahwa sebagai orangtua kita perlu tetap "memberikan supervisi" agar anak tetap dapat melalui cobaan (terutama di awal-awal ia tahu tentang "permen pencobaan" tadi).
Anak harus membaca agar mendapatkan pengetahuan dan tugas guru adalah memastikan dia tahu. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 303
Jika sudah memenuhi kriteria tersebut di atas, lalu selanjutnya adalah kita sebagai "guru" bertugas untuk memastikan anak "tahu" dengan meminta anak menarasikan bacaan yang ia baca tanpa ceramah, menjelas-jelaskan, apalagi memberi pertanyaan komprehensif. Tapi yang kemudian terpikir adalah, jika tugas guru adalah MEMASTIKAN ANAK TAHU, bagaimana jika dalam narasinya, guru mendapati anak tersebut "belum tahu", apa yang mesti dilakukan jika bertanya komprehensif maupun menjelas-jelaskan tidak dianjurkan?
Dari cerita kawan-kawan, saya belajar bahwa saat mendapati anak yang dari narasinya tampak ia belum tahu, pertama yang mesti kita pastikan adalah akar penyebab mengapa anak tidak tahu, apakah saat membaca anak belum fokus, jika belum fokus, maka kita "benahi" dl bagian itu. Tapi bolehkah kita bertanya "namanya tokohnya siapa?" untuk memastikan anak paham? Sebaiknya jangan. Jika anak mengalami kesulitan mengingat nama tokoh misalnya (padahal dalam beberapa paragraf yang lalu kita tahu bahwa siswa-siswa Charlotte dapat menghafal ratusan nama dengan ejaan yang tepat), kita dapat membantu anak dengan beberapa metode seperti meminta anak mencatat nama yang muncul dalam bacaan yang ia baca. Prinsipnya tetap, kita tidak boleh merendahkan anak menganggap mereka tidak paham apa yang kita pahami lalu berusaha menjelas-jelaskan.
Wah, diskusinya dalam sekali ya, ngalor ngidul dari dongeng sampai Adam dan Hawa, tapi seru, terima kasih kawan-kawan CMid Semarang,