October 07, 2021

Banteogapepra - KAMISAN, 7 Oktober 2021

"Soal pendidikan, kondisi kita memprihatinkan. Beberapa waktu lalu di Across the Bridges, kita membaca tentang seorang siswa cerdas dan bersemangat yang telah lulus sekolah dengan predikat memuaskan tapi setelahnya mengalami penurunan kondisi yang drastis." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 300

 Membaca bagian ini mengingatkan saya masa ketika saya menjadi guru. Waktu itu, saya menjadi wali kelas anak dari pemilik yayasan sekolah. Mendengar dari guru sebelumya bahwa anak ini memiliki "bakat" untuk membully temannya bahkan berani mengancam guru "I'll tell my mom so she will deduct your sallary." saya waktu itu bersemangat sekali untuk "mendidik" anak ini supaya tidak hanya tumbuh jadi anak yang cerdas tapi juga punya hati - bajik dan bijak kalau meminjam istilah yang sering Bu Ellen katakan. Entah karena beruntung atau apes, kecelakaan dan "cacat" pada kaki saya di tengah tahun ajaran mengajar anak tersebut seperti menumbuhkan empatinya. Saya tidak mendapati anak itu mengancam saya selama setahun saya menjadi wali kelasnya, ibunya yang ketua yayasan pun sering memanggil saya bukan untuk dihukum tapi bertanya seperti "Ms. Glo, yang kemarin Ms Glo cerita soal wisata ke anak-anak itu dimana?" juga hal seperti "Batik yang Ms.Glo ceritakan tu Batik yang dari mana?". Saya bersyukur waktu itu tidak hanya berhasil menerapkan "smart is nothing when you dont have attitude." tapi juga dapat membuat anak itu "melokal" dengan membicarakan wisata lokal, produk lokal, saat sebelumnya topik obrolan anak-anak hanya seputar piknik ke Disneyland dan destinasi lainnya di luar negri. 

"Kharisma wajah adalah manifestasi dari pemikiran, perasaan, inteligensi; tapi ketiganya sudah tak kita lihat lagi terpancar dari wajah-wajah yang hidup di hari ini, yang ada hanyalah orang-orang yang secara fisik sehat tapi dingin, acuh tak acuh." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 301

Kalau ditanya bagaimana anak itu setelah bertahun-tahun saya resign dari sekolah, kabar yang saya dengar adalah ia "berhasil" membuat seorang temannya keluar dari  sekolah karena tidak tahan menjadi sasaran bullying terus. Waktu mendengar berita itu, saya kaget, bagaimana bisa seorang anak kelas satu SD (atau 2 kurang ingat pastinya), terpikir untuk mengambil tempat pensil temannya, membawanya lari sambil dikejar temannya yang memiliki tempat pensil itu lalu begitu sampai di lantai teratas, ia menjatuhkannya dan berkata "tuh ambil". Padahal saya ingat betul bagaimana manisnya anak itu saat masih TK. 

Tapi lalu bagian bacaan hari ini juga mengingatkan saya tentang bagaimana orangtua juga berperan penting pada pertumbuhan anak. Guru yang hanya bertemu 3-5 jam sehari di sekolah tidak akan banyak pengaruhnya dibanding orangtua yang memiliki lebih banyak waktu dengan anak di rumah. Pemikiran ini juga yang akhirnya membawa saya untuk sepenuhnya mengambil peran dalam pengasuhan Keona. Saya tidak bisa pasrah hanya pada sekolah saja karena ada banyak hal yang semestinya menjadi porsi orangtua. Jika banyak orangtua beranggapan bahwa belajar adalah "mengerjakan lembar kerja", sejak mengenal banyak metode pendidikan (Charlotte Mason salah satunya), ternyata belajar itu adalah semua hal yang dilakukan anak. Anak dapat belajar kapan saja dan dimana saja termasuk hal kecil seperti mencuci piring misalnya.

Maka ketika ada banyak orangtua mengeluhkan tentang anaknya "yang tidak peka", pertanyaan berikutnya adalah "apakah pernah orangtuanya memadamkan kemauannya belajar lewat rasa ingin tahunya?" seperti misalnya "ga usah nyuci piring, nanti mama harus nyuci 2 kali malah repot" - tanpa sadar, kalimat itu akan "memadamkan" tidak hanya rasa ingin tahu dan kemauannya belajar tapi juga "kepekaan" dan "empati" anak.

pict from here

banteogapepra [ban-teo-ga-pe-pra]

noun.  orang dengan banyak teori namun tidak pernah mempraktekannya ~ Stephen 

Mendengar sebuah kata tadi di dalam diskusi, banteogapepra, kata itu seakan menampar saya, mengingatkan betapa saya hafal dan tahu banyak teori pengasuhan anak, tapi NOL BESAR dalam hal PRAKTEK ke anak sendiri - masih tertatih untuk bajik dan bijak berjalan beriringan terutama dalam pengasuhan anak. Maka, lagi-lagi kajian Kamisan mengingatkan saya akan tujuan saya memilih "sepenuhnya" mengasuh Keona. 

Terima kasih teman-teman untuk diskusinya,



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...