July 31, 2020

Aku Mengingat Tanggal Bukan Karena Sakit Hati

"Dia kan keluar karena sakit hati tuh"  
"Kamu jangan kumpul sama dia, nanti ketularan pahit" 
...

Aku mengingat tanggal bukan berarti aku dendam.
15 Maret 2019, 26 Mei 2019, 29 Juni 2019, 29-30 Agustus 2019, 2 Oktober 2019, 20 Desember 2019, 27 Maret 2020, atau 
tanggal-tanggal lain menyakitkan sebelum itu yang tak mungkin kusebutkan satu persatu.

Kalau kumau, aku juga bisa menyebutkan tanggal dengan kenangan baik akanmu....
Cuma rasanya koq tak ingin ya.

Aku mengingat tanggal bukan berarti aku dendam.
Dulu, kukira mengampuni itu sama dengan melupakan
Sehingga aku menghabiskan waktuku sia-sia untuk berusaha melupakan

Aku mengingat tanggal bukan berarti aku dendam.
Menghabiskan waktu untuk melupakan justru membuat luka yang kau buat semakin lebar.
Aku tak mau begitu, jadi kubiarkan saja

Aku mengingat tanggal bukan karena aku dendam.
Kalau kamu sudah bilang begitu ke setiap orang, aku bisa apa
Yang kubisa adalah menjaga hatiku agar tidak terluka lagi, aku pergi

Aku mengingat tanggal bukan karena dendam.
Tuhan tahu hatiku, aku bahkan belajar mengampuni sejak 20 Juni 2020, aku akan ingat itu.

Aku mengingat tanggal bukan karena aku dendam.
Bukankah kita belajar tentang sejarah penjajahan Belanda dan mengingatnya?
Tapi itu tidak berarti kita dendam pada Belanda kan?



...

"As I walked out the door toward the gate that would lead to my freedom, I knew if I didn't leave my bitterness and hatred behind, I'd still be in prison." ~ Nelson Mandela

seperti kata Nelson Mandela,
dunia terlalu indah jika hanya dilihat dari
sudut pandang napi di dalam penjara,
maka, keluarlah.
picture from here


Aku mengingat tanggal bukan karena dendam,
Aku justru mengingatnya karena aku tahu 
sekarang saat mengingatnya aku sudah tidak apa-apa

Aku mengingat tanggal bukan karena dendam,
terima kasih sudah berpikir begitu, 
setidaknya bebanku lebih ringan 
karena masih ada yang berpikir begitu...

Aku mengingat tanggal bukan karena dendam,
tapi karena aku bersyukur dapat melalui masa pahit nan kelam.


July 30, 2020

KAMISAN - Geografi 30.07.2020

Hari ini, kami membahas bacaan tentang pengajaran Geografi. Topik diskusi baru sampai pada bagaimana Geografi diajarkan pada masa sekarang serta pelajaran Geografi pada tingkat II (A dan B). 


"Fokus pelajaran geografi dalam pendidikan modern, sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah, adalah untuk menguliti planet yang kita tinggali dari setiap jejak misteri dan keindahan. Tidak ada ruang yang tersisa untuk sekadar mengagumi atau terheran-heran pada dunia kita tercinta ini." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 224


Bagian tersebut membawa saya untuk mengait-kaitkan satu peristiwa dalam hidup dengan peristiwa lainnya. Kira-kira tiga tahun yang lalu saat belum mengenal Charlotte Mason, saya waktu itu belajar banyak metode dan pendekatan dalam pendidikan anak. Karena sadar hanya berlatar belakang lulusan Sastra Inggris, saya merasa harus memperlengkapi diri dengan pengetahuan terutama berkaitan dengan pendidikan anak usia dini. Waktu itu tujuannya selain untuk pekerjaan adalah saya memiliki Keona (yang saat itu baru berusia setahun) yang saya mau juga bertumbuh baik dari ibu yang memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan yang benar tentang mendidik anak. Lalu pada sebuah kesempatan, saya mengikuti sebuah workshop  tentang pengajaran ala Montessori. Dulu, sebelum kenal dengan banyak metode ini, saya selalu memberikan flashcard dengan gambar kartun saat mengajar kosakata pada anak usia dini. Nyatanya, pada saat mengikuti sesi tersebut, saya mendapati bahwa yang saya lakukan ternyata belum benar. Anak harus dikenalkan terlebih dulu pada real things sebelum dikenalkan pada abstrak. Hal ini berlaku tak hanya saat mengenalkan kosakata, tapi juga saat belajar banyak hal termasuk salah satu diantaranya adalah memperkenalkan lingkungan hidup di sekitar anak. Di akhir sesi tersebut, saya teringat sang fasilitator menutup dengan alasan perlunya mengenalkan benda nyata sebelum ke abstrak adalah selain anak mengenal secara langsung, hal tersebut jika dimaknai dengan benar akan membantu anak-yang-mungkin-saja-di-masa-depan-menjadi-orang-yang-tandatangannya-berpengaruh-pada-kelangsungan-hidup-planet-ini untuk menimbang baik buruk jika dirinya diperhadapkan pada pilihan bisnis untuk uang atau kelangsungan hidup alam. 

picture from here


Pada tahun yang sama, di dekat rumah ada pembangunan perumahan yang menggunakan lahan sawah. Saya dan suami sering melewati sawah yang sedang dikonstruksi ulang menjadi perumahan elit tersebut, berhenti di pinggir sawah, dan berdiskusi dengan Keona kecil tentang apa yang terjadi pada sawah dihadapan kami. Sampai hari ini pun, saat menemui situasi seperti sawah yang dialihfungsikan tersebut, kami tetap akan melakukan hal yang sama, berharap suatu saat Keona tumbuh menjadi seseorang yang akan menimbang dengan baik jika diperhadapkan pada pilihan seperti uang dan kelangsungan alam. Sebenarnya, jika ingin dikait-kaitkan dengan banyak sektor, menjadikan sebuah sawah menjadi perumahan menurut saya adalah sebuah kerugian besar. Dari sektor ekonomi, perputaran uang akan berhenti karena setelah rumah terjual, wilayah itu tidak akan menghasilkan uang lagi kecuali jika ada terjadi jual beli dan itupun sudah masuk ke lingkup perseorangan. Dari segi geografis, jelas sawah adalah daerah resapan air, sehingga tanpa dipikir panjangpun, sudah tahu semestinya yang akan terjadi berikutnya saat hujan turun. Selama proses pembangunan, beberapa kali wilayah sekitar perumahan banjir, sehingga pihak perumahan mesti menaikan jalanan (inipun saya rasa hanya solusi jangka pendek, saya membayangkan jalanan akan terus dinaikan di masa mendatang seperti beberapa wilayah di daerah Semarang). Lalu dari sektor pangan, saya teringat akan beberapa artikel yang saya baca mengenai Indonesia yang selain negara maritim adalah negara agraris yang ternyata masih mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Ironis kan? Padahal hektaran sawah terbentang luas dan berakhir menjadi perumahan saja. Menurut saya, jika dikelola dengan baik, rasanya koq sawah akan lebih menguntungkan daripada perumahan ya. Uang tidak hanya akan berhenti seperti saat rumah terjual karena sawah masih akan dapat menghasilkan kebutuhan kita lagi dan lagi. Saya jadi teringat sebuah quote  yang pernah saya baca "Imagine if trees gave off wifi signal, we would be planting so many trees and probably save the planet too. Too bad, they only produce the oxygen we breath."

.....
"Di sekolah kami, menjadi prioritas untuk meminta para siswa, sebelum mulai membaca suatu teks, menemukan tempat yang disebutkan teks itu pada peta, agar mereka tahu posisinya dibandingkan tempat-tempat lain, garis lintang dan garis bujurnya." 
~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 224

 Kemudian pada bagian ini, saya teringat bagaimana almarhum papa selalu membukakan peta yang ada pada bagian belakang Alkitab saat membacakan kisah perjalanan Yesus sehingga kami anak-anaknya dapat dengan mudah memvisualisasikan kisah tersebut dalam benak kami serta mengerti mengapa pada masa tersebut, orang - orang memerlukan waktu yang lama dalam perjalanan. Dalam diskusi tadi siang, teman-teman sempat membahas tentang peta buta. Waktu sekolahpun, saya juga tidak menemukan tujuan dari belajar lewat peta buta. Bagi saya waktu itu hal ini hanya "membutakan siswa yang memang buta, bukan malah mencelikkan yang buta". 

Gloria dan Charlotte kecil
bersama papa dalam perjalanan
ke Lubuk Linggau dari Jambi


Waktu kecil, papa sering sekali mengajak kami sekeluarga ikut beliau keluar kota untuk bekerja. Papa biasanya mengambil jalur darat dengan menggunakan mobil sendiri, bergantian menyetir dengan mama. Dulu saya pikir, kalau papa punya uang, kenapa tidak naik pesawat saja, kan lebih mudah, daripada harus capai menyetir padahal bahan bakar yang digunakan untuk pulang pergi juga tidak sedikit. "Education is atmosphere" ~ Saat itu saya memperhatikan bahwa ternyata papa dan mama menikmati perjalanan kami. Papa menyetir, mama membaca peta, begitu sebaliknya. Saat melewati perbatasan kota atau provinsi, papa akan menghentikan mobil, nenunjukan lokasi tersebut dalam peta, lalu mengajak kami berfoto bersama. Rasanya, justru pengalaman seperti itu yang akhirnya membuat saya dapat membaca peta dengan baik saat ini. Saat berada di kota lain dan harus menaiki kendaraan umum online, tanpa sadar, saya malah memandu pak supir yang kehilangan arah karena mengandalkan google map. Lucunya padahal saya tak kenal daerah itu lebih baik dari pak supir, hanya mengandalkan peta yang saya cari di internet saja. Saya bersyukur memiliki pengalaman melewati beberapa provinsi dengan orangtua, sehingga sampai sekarangpun, saat melihat perbatasan kota (biasanya ditandai dengan tugu atau semacam welcome gate) saya akan memberi tahu Keona bahwa kami baru saja melewati sebuah kota.

Sebagai penutup, saya mengaitkan salah satu bagian dalam Alkitab, pelajaran Geografi, dan perkataan Bu Ellen dalam sebuah kesempatan diskusi. Dalam Alkitab, Allah berfirman pada manusia untuk mengelola bumi dan isinya, namun apakah kita manusia yang sudah diberi tanggung jawab oleh Allah sudah menjadi "pengelola bumi dan isinya ini" dengan bajik dan bijak? 



 

July 24, 2020

KAMISAN - Sains part III 23.07.2020

Melanjutkan bahasan minggu sebelumnya mengenai sains, kali ini bahasan sudah lebih kompleks ke tingkat yang lebih tinggi. Saat membaca pertanyaan-pertanyaan ujian pada tingkat tersebut, saya melongo, malu dengan diri sendiri seraya bertanya dalam hati "ngapain saja saya selama sekolah dulu?". 


"Yang bagus untuk satu bangsa atau satu era belum tentu bagus untuk bangsa atau era yang lain." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 222.


Dalam diskusi bersama teman-teman yang saya tangkap, ilmu tersebut sifatnya dinamis, berubah sesuai kebutuhan kondisi dalam sebuah negara saat itu. Namun saya berpikir, di Indonesia yang dinamis bukan ilmunya namun sistem pendidikan dan kurikulum seiring dengan bergantinya menteri pendidikan. Yang saya rasakan saat masih bersekolah dulu, orangtua saya selalu membeli buku paket yang berbeda untuk digunakan adik saya. Adik-adik saya tidak akan bisa menggunakan buku paket yang saya pakai pada tahun sebelumnya karena pergantian kurikulum tersebut. Lalu saya teringat akan pernyataan salah seorang teman di CMid Semarang saat kumpul 17 Agustus 2019 yang lalu (seingat saya itu Pak Einstein). Awalnya, beliau menannyakan berapa anak yang saya dan suami miliki, lalu saya menunjuk Keona yang kemudian disambung pernyataan "ahhh, kalau homeschool, kamu anaknya satu sama banyak, cost nya bakal sama, jadi mending nambah deh.". 

"...sains tidak melulu tentang melakukan pengukuran, dan melakukan pengukuran tidak melulu sains." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 223.
Oke kembali ke topik bahasan tentang pelajaran sains lagi ya. Lalu, hal lain yang saya tangkap dari bacaan dan diskusi adalah belajar sains dengan cara memadukan pengamatan pribadi di lapangan atau praktikum di laboratorium dengan bacaan naratif-sastrawi. Ci Mulan bercerita bahwa saat mengamati kupu-kupu dan ulat selama ini, beliau "tidak didampingi" dengan bacaan naratif-sastrawi. Sebuah sharing pengalaman yang ternyata selama ini saya lakukan juga. Mudah sekali bagi generasi sekarang ini mendapatkan informasi seperti data mengenai sebuah hal yang ingin diketahui seperti kupu-kupu. Biasanya, saya langsung googling untuk mencaritahu. Saya "tidak didampingi" dengan bacaan naratif-sastrawi. Saya lalu tertawa dalam hati teringat akan narasi saya beberapa minggu lalu tentang betapa buku pelajaran di sekolah yang cenderung hanya membeberkan data, nyatanya, saya sudah terbiasa dengan hal tersebut sehingga memilih untuk "mencari data" saat ingin tahu sesuatu dalam bentuk data daripada mencari bacaan naratif sastrawi mengenainya.


Terakhir, kami juga membahas tentang bagaimana sains tidak boleh terkotak-kotakkan serta "diceraikan" dari humaniora. Pada bagian ini, saya teringat pada beberapa karya sastra beberapa penulis yang menggunakan diksi dalam sains atau bahkan film saja yang tergolong seni memiliki genre science fiction. Bukankah penulis atau pembuat film tersebut mestinya juga meneliti terlebih dulu sebelum diangkat menjadi sebuah karya? Dan itu salah satu bukti bahwa memang humaniora tidak boleh diceraikan oleh sains dan sebaliknya. 

picture from here

Penyesalan selalu datang terlambat, sama seperti ketika saya lagi-lagi berpikir "ahhhhh, kenapa baru sadar sekarang sih? tahu gitu kan dulu skripsi Deconstructing Superman saya dapat lebih kaya pembahasannya jika tak hanya membahas sektor budaya dan art.". Untungnya, penyesalan tersebut datang bersama dengan rasa syukur yang sama seperti minggu sebelumnya "untung Keona besok tak harus menjalani pendidikan yang sama seperti saya.".


Thank you CMers untuk diskusinya,

July 16, 2020

KAMISAN - Sains part II (16.07.2020)

Menarasikan teks bacaan hari ini membuat saya teringat pada konsep 3 N milik Ki Hadjar Dewantara yaitu "niteni", "niruke", dan "nambahi". 


Niteni 

Pada tingkat II, anak diminta untuk mencermati perubahan alam serta mencatatnya pada Jurnal Alam dengan membuat gambar dan catatan. Sempat dibahas dalam diskusi bagaimana mengasyikannya mengamati perubahan alam serta musim, apalagi jika negara tersebut memiliki 4 musim. Tapi diskusi lagi-lagi mengingatkan bahwa di Indonesiapun kegiatan ini dapat menjadi menyenangkan walau hanya memiliki 2 musim. Teman-teman bercerita bagaimana anak-anak sudah dapat membedakan tanggal hanya dengan memperhatikan bentuk bulan saja yang lalu ditimpali oleh CMers lain yang mengatakan akan lebih mudah mengetahui tanggal dari jumlah saldo ATM. Hahahahahaha. Lalu, ada juga yang bercerita bagaimana rob juga dapat menjadi tanda kapan harus bepergian.

picture from here


Niruke

Pada tingkat III, anak-anak dimampukan untuk meniru bentuk membuat sketsa sambil diberi pertanyaan - pertanyaan untuk mencankup materi pengamatan yang sudah dilakukan. Kata kuncinya, anak tetap harus didampingi "...tetapi jangan biarkan pengamatan mereka asal-asalan karena tidak dipandu." ~ Charlotte Mason, vol 6, halaman 220. Dalam diskusi, teman-teman CMers sempat membahas mengenai makna "Gothic" pada bagian ini. Saya pun termanggu-manggu mendengarkan penjelasan makna kata Gothic yang ternyata adalah jenis gaya arsitektur yang saya baru tahu. Saat mencari definisi seperti apa bentuk bangunan dengan style gothic tersebut, saya langsung terbayang gedung Hogwarts dalam kisah Harry Potter. 


Nambahi

Awalnya, bagian tingkat IV ini hanya dibaca satu paragraf saja di awal, sehingga saat narasi lisan, saya sempat kebingungan. Setelah membaca lanjutannya dibawah, ternyata yang dimaksud "...pelajaran mereka begitu kaya sehingga sulit rasanya mengkotak-kotakkan bahasannya ke dalam judul program yang terpisah." ~ Charlotte Mason, vol.6, halaman 220, yaitu pelajaran disajikan saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam diskusi, sempat dibahas bagaimana bisa Geografi menjadi salah satu bagian dari ilmu alam. Saat membahas hal tersebut, ingatan saya kembali pada saat saya sekolah dulu ~ bagaimana saya mati-matian menghafalkan batas sebuah negara, di lain kesempatan, saya dapat dengan mudah mengidentifikasi batas kota dan provinsi hanya karena orangtua selalu memaknai perjalanan kami keluar kota (papa selalu berhenti pada setiap gerbang provinsi untuk berfoto dan mendiskusikan beberapa tugu atau menara pembatas yang terkadang memiliki arti - hal ini jauh lebih mudah dibanding menghafalkan buku pelajaran waktu itu).

...

Yah, lagi-lagi dalam diskusi ini saya bersyukur karena Keona nantinya tidak perlu pusing karena hafalan dan buku pelajaran yang hanya memberikan data. Walau rumit rasanya membayangkan mendampingi Keona belajar nantinya pada tahun-tahun mendatang, tapi saya percaya ga ada masalah yang tidak ada solusinya.


Semangat ya semuanya,

July 15, 2020

The Girl Who Hates Smiles

Lenona, begitu ia dipanggil oleh orang sekitarnya.
Sejak masih dalam kandungan ibunya, ia sudah belajar bahwa senyum berarti ejekan.
Ibunya tidak mengajarinya. Namun matanya melihat, telinganya mendengar.
Setiap melihat orang tersenyum, ia akan menganggap dirinya sedang diejek. Hidupnya tak tenang, ia dipenuhi kekuatiran. Kuatir penampilannya tak baik sehingga diberi senyum, kuatir ada yang salah dengan dirinya sehingga diberi senyum. 
Suatu ketika, seorang laki-laki seumurannya tersenyum kepadanya. Lenona akhirnya jengkel dan berkata "kenapa kamu tersenyum?". Sang laki-laki ini menjawab "aku tersenyum karena tersenyum memberiku kebahagiaan, kuharap itu juga yang kau dapat". Lenona semakin jengkel "menyebalkan" dan meninggalkan laki-laki tersebut. Suatu ketika ada pula seorang paruh baya yang tersenyum padanya karena teringat cucu perempuannya ketika melihat Lenona. Tidak senang akan itu, Lenona memaki perempuan paruh baya tersebut. 

Seandainya ada yang memberi tahu Lenona bahwa senyum berarti kebahagiaan, bahwa senyum membuat orang semestinya bahagia, baik yang tersenyum maupun yang melihat. Tapi Lenona "mati" karena hidupnya tidak tenang. Ia takut dengan senyuman.

pict. from here


Jika senyuman membuatmu menerima perlakuan buruk seseorang, sebenarnya yang butuh pemulihan adalah orang yang menerima buruk arti senyuman tersebut, karena orang seperti itu melihat senyuman tersebut dari sudut pandang yang berbeda, itu saja.


July 13, 2020

KAMISAN ~ Sains 09.07.2020

Seperti halnya belajar sejarah, buku-buku pelajaran sains harusnya bersifat naratif-sastrawi. Akan lebih banyak warga bangsa kita yang menjadi ilmuwan seandainya kita menyingkirkan semua buku teks yang mengisi daftar katalog para penerbit buku pelajaran dan menghemat kapur yang kita hambur-hamburkan di papan tulis. Orang Prancis sudah tahu bahwa sains perlu diajarkan lewat buku-buku sastrawi, sama seperti semua mata pelajaran lainnya. ~ Charlotte Mason (Vol 6 pg 219)

...

Membaca bagian tersebut saya terasa seperti kembali ke topik bahasan 2 minggu sebelumnya mengenai seni yang juga membahas tentang "living book" dan mengapa CMers (seolah terlihat seperti) membeda bedakan jenis buku. Saya belum pernah membaca semua jenis living book (yang ada di daftar living book di buku Cinta Yang Berpikir), namun saya  membayangkan buku - buku tersebut akan mengasyikan sekali dibaca walaupun itu dalam konteks sains yang pernah tidak saya sukai saat masih sekolah. Ya, saya tidak suka sains, maka saat SMA pun saya "lari" ke IPS dan kuliah di bahasa, alasannya karena saya tidak suka disuruh menghafalkan rumus fisika dan tabel periodik unsur kimia yang saya tidak paham tujuan mengapa saya dan siswa lainnya waktu itu diminta menghafalkannya. Namun, melihat teks bacaan bahan diskusi Sains Kamis yang lalu, saya lega, Keona tidak perlu repot (atau bahkan enegh) menghafalkan rumus. Saya membayangkan situasi belajar yang menyenangkan seperti membaca novel. Dan benar dugaan saya, buku Holden yang berjudul The Sciences (saya baru baca part tentang bumi), disitu saya mendapati ada beberapa tokoh seperti Agnes, Tom, dan Jack. Seru!! (padahal baru sampai beberapa bagian saja saya membacanya)

Lalu dalam diskusi, saya teringat pernah membaca sebuah tulisan (saya lupa dari buku apa), intinya kira-kira homeschooling berarti keluarga merumuskan prinsip dan tujuan termasuk pembelajaran sains. Di buku itu seingat saya (well, saya coba cari buku yang mana tapi belum menemukannya), penulis menulis bahwa sebelum mengenalkan konsep seperti teori evolusi milik Darwin maupun hal seperti dinosaurus,  penulis lebih dulu mengenalkan konsep penciptaan dari Kitab Suci yang ia yakini kebenarannya. Waktu membaca buku itupun, saya lalu teringat alasan saya tidak membelikan buku tentang dinosaurus untuk Keona yaitu selain karena biasanya buku jenis tersebut mahal, namun saya berpikir belum waktunya mengenalkan hal seperti dinosaurus kepada Keona. Sejauh ini, Keona hanya kenal dinosaurus dalam kisah fiksi seperti transformers dan belum pernah sekalipun kami mendiskusikannya. Dalam diskusi, saya menyimpulkan bahwa Sains tidak semestinya bertentangan dengan Agama serta Agama dan Sains sebaiknya berdiri berdampingan serta tidak digunakan satu sama lain untuk perbandingan. Jika sedang dalam konteks Agama, kita menggunakan Agama itu sendiri sebagai pedomannya, pun sebaliknya. 

pict. from here

Lalu, bolehkan anak-anak dikenalkan dengan teori Darwin atau dinosaurus? Jawaban saya dalam hati setelah merenungkan isi diskusi "saat membaca buku Harry Potter beberapa tahun silam, saya tidak lantas berniat untuk mempelajari ilmu sihir hanya karena membaca buku tersebut. Maka, saya sebagai orangtuapun semestinya tidak perlu khawatir jika suatu saat Keona membaca buku berkaitan dengan teori seperti teori evolusi dan dinosaurus.".

Terima kasih CMers untuk diskusi yang mencerahkan,
Glo

July 03, 2020

KAMISAN - Seni II (02.07.2020)

... dan mereka cepat melakukan koreksi ketika gambar mereka tidak sesuai dengan yang mereka lihat di dunia nyata. ~ Charlotte Mason (vol.6, hlm. 217)


...

Saat sesi Kamisan kemarin, saya seperti diingatkan lagi tentang kekeliruan saya tahun lalu menggunakan "Habit of Perfect Excecution" sebagai pembenaran diri untuk setiap ketelitian yang saya tuntut dari orang di sekitar saya. Waktu itu saya baru kenal Charlotte Mason hanya kulit luarnya saja, istilahnya kalau baca Alkitab ya baru baca seayat tapi sudah sok kotbahin orang lain seakan tahu isi seluruh kitab suci. Maka, tahun lalu saya mencoba belajar bahwa standart sempurna setiap orang berbeda dan Habit of Perfect Excecution juga bukan tentang standart sempurna itu namun bagaimana sesuatu dikerjakan dengan maksimal sesuai kapasitas individu sehingga setiap orang pasti memiliki standart yang berbeda. Sejak tahun lalu, saya mulai belajar untuk tidak menuntut pekerjaan orang lain atau anak untuk berada di standart saya. Jika saya sanggup menggunting 7 gambar orang dalam satu jam, belum tentu orang lain akan mampu mengerjakan hal yang sama bisa jadi dalam satu jam orang lain dapat mengerjakan hanya 5 atau bahkan dapat menyelesaikan lebih dari 10. Hal ini saya refleksikan lagi kemarin dalam Kamisan dalam topik bahasan seni. Karena sudah setahun belajar untuk tidak menerapkan standart saya pada orang lain, kalimat "....dan mereka cepat melakukan koreksi ketika gambar mereka tidak sesuai dengan yang mereka lihat di dunia nyata." membuat saya tenang karena walaupun tidak dituntut memenuhi standart orang lain (dalam konteks ini guru dan orangtua yang menjadi guru anak pertama di rumah), anak tetap belajar untuk mengoreksi sendiri kesalahannya dengan menggunakan standart dunia nyata. Intinya, sebenarnya kita para guru atau orangtua tidak perlu loh cape cape cerewetin anak ini itu jika kita sudah menunjukkan hal yang benar kepada anak, karena anak akan otomatis memperbaiki kesalahannya jika sudah memperhatikan hal yang benar tersebut. Lalu, tugas penting yang mesti kita emban sebagai pendidik adalah bagaimana kita menunjukkan hal benar tersebut dan memaparkannya kepada anak, tidak hanya seni, tapi juga seluruh aspek kehidupan anak. Gampang? Raising children, raising ourselves, kuncinya kita juga harus upgrade dan banyak banyak "ngaca".
Selesai Kamisan, Keona lanjut baca Alkitab yang sudah kami lakukan tiga hari ini sambil mendiskusikannya. Kami baru sampai pada Kejadian 1 : 10 kemarin, lalu mendapat ide untuk meminta Keona menggambarkan yang ia tangkap melalui bacaan tersebut. Kumpulan air ia gambar dengan bentuk lingkaran yang ia bilang "kolam renang" lalu tak lupa ia juga menambahkan  "prosotan". Pada saatnya nanti, saya percaya, ia akan menertawai sendiri hasil gambarnya masa kecil ini. 
hasil gambar Keona tentang "kumpulan air", ia juga merelasikannya dengan bekas ompol di kasur.


Lalu setelah itu, topik bahasan berlanjut pada topik musik. Saat menerima bahan bacaan beberapa hari sebelumnya, saya cukup kaget karena bacaan tentang musik ini hanya sedikit. Tapi dari bacaan pendek tersebut, saya berhasil kembali pada masa kecil saya dulu. Saat itu, orangtua saya terbiasa memaparkan anak-anaknya dengan musik. Setiap pagi, kami anak-anaknya disetelkan hymn lagu lagu gereja dengan alasan "supaya anak-anak bangun". Tapi efek jangka panjang dari pemaparan musik-musik itu saya rasakan pada saat saya berada dalam titik terendah hidup. Entah darimana datangnya, rasanya masa-masa sulit dapat dilalui dengan tenang saat mengingat penggalan-penggalan lirik lagu-lagu hymn yang saya dengar sewaktu saya kecil itu. Energi yang dihasilkan mampu membuat saya bangkit dan melalui hari-hari berat tersebut. Merasakan efek positif dari pemaparan lagu-lagu itu, saya melanjutkannya dengan membiasakan memasang lagu hymn atau rohani di pagi hari dengan harapan efek positif yang sama akan dirasakan Keona kelak. Lalu, belajar dari begitu kuatnya sebuah lagu membantu saya saat itu melalui masa sulit, selain memperdengarkan hymn dan lagu rohani di pagi hari, saya dan suami membuat sebuah program "pemaparan lagu" ke Keona dengan cara lain. Setiap malam, setelah berdoa tidur, Keona kami ajari sebuah lagu sekolah minggu yang sederhana selama satu bulan, dan setiap bulannya akan diajarkan lagu baru sambil tetap mereview lagu bulan sebelumnya. Waktu itu tujuan kami sederhana, Keona suka sekali bernyanyi, maka kami ingin ia menyanyikan lagu sekolah minggu karena kami berharap saat ia sedang bermain (dan mungkin waktu itu adalah titik terendah kami) ia bernyanyi lagu yang tanpa sadar menguatkan kami. Tiga bulan yang lalu, Keona kami ajarkan lagu Allahku Besar dengan lirik seperti ini :

Allahku besar, kuat dan perkasa, tiada yang mustahil baginya o..o.. )2x
Gunung miliknya, sungai miliknya, bintang-bintang ciptaannya o..o..
Allahku besar, kuat  dan perkasa, tiada yang mustahil baginya o..o..

Kami belum merasakan efeknya secara langsung, namun energi positif tersebut justru terbawa ke eyang Keona yang bulan lalu sakitnya memasuki stadium lebih tinggi. Sejak sakitnya semakin parah, kami berusaha membawa Keona ke rumah eyang sebagai suntikan semangat untuknya. Tanpa disadari, Keona yang menunggui eyang sambil bermain ini menyanyikan lagu tersebut saat bermain. Lagu itu terdengar oleh eyangnya dan menjadi semacam lagu wajib sehingga selalu dinyanyikan oleh seluruh anggota keluarga. Tentu saja, lagu tersebut membawa energi luar biasa dan mendatangkan pengharapan untuk keluarga terutama eyang yang sakit.

... apresiasi musik tidak ada hubungannya dengan bisa bermain piano. ~ Charlotte Mason (vol 6, hlm. 218)

Walau begitu, kami masih berharap suatu hari nanti Keona berkata "ma, aku mau les piano".
Thank you CMers untuk diskusinya..






LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...