December 18, 2020

(don't) Take Someone For Granted - refleksi Drama Korea "18 Again

Saat Bulan Oktober 2020, selain Start Up, feed saya dipenuhi oleh postingan cuplikan drama berjudul 18 Again. Melihat cuplikan-cuplikan yang kebanyakan menyoroti pemain-pemain drama yang masih muda dan setting lapangan basket sekolah membuat saya mengira drama tersebut bercerita tentang anak muda dalam masa sekolahnya. Namun, awal Desember ini saya mencoba menonton drama tersebut, hanya iseng penasaran awalnya lalu saya kaget bahwa ternyata tema drama ini secara keseluruhan adalah keluarga - memang pemainnya masih muda-muda karena menceritakan pasangan anak SMA yang 18 tahun lalu terpaksa mengubur mimpi karena memiliki anak kembar. Singkatnya, pasangan ini 18 tahun kemudian di ambang perceraian karena masing-masing menyesali pilihannya untuk bersama 18 tahun lalu sehingga semua mimpi terkubur. Si ayah yang jengkel dituntut cerai, melampiaskan kejengkelannya dengan bermain basket di lapangan, dan tiba-tiba ia kembali ke tubuhnya saat berusia 18 tahun - yang membuatnya terpaksa bersekolah di sekolah yang sama dengan anak kembarnya. 
picture from here
Hong Dae Young dan Jung Da Jung 18 tahun yang lalu saat masih berpacaran

Melalui hari-hari sebagai anak SMA lagi, si ayah awalnya berpikir untuk meraih mimpinya menjadi pemain basket yang tertunda 18 tahun lalu karena harus bertanggung jawab akan kehamilan pacarnya. Tapi, alih-alih mengejar mimpi, ia justru 'sibuk membantu' kedua anak kembarnya saat kesulitan dan menjadi teman bagi si kembar.

Dari cerita drama ini, saya banyak berefleksi :

1. DON'T take someone for granted
Ini ga cuma antar relasi dengan pasangan, tapi juga anak ke orangtua, orangtua ke anak, dan teman. Banyak banget scene yang ngegambarin gimana (hampir semua) tokoh menyesal karena pernah ga bersyukur memiliki keluarga dan seenaknya aja.

2. Omongan bisa jadi PETAKA kalau tidak hati-hati - yang tersisa hanya kenangan dan kita ga bisa balik ke kenangan itu lagi.
Hong Dae Young sempet bingung, apa alasan istrinya minta cerai. Kalau karena hidup susah, mereka sudah hidup susah dari awal, aneh kalau setelah 18 tahun baru nuntut cerai. Ia baru tahu dari sahabatnya kalau alasan istrinya minta cerai adalah karena kata-kata yang ia lontarkan saat sedang mabuk. Selain itu, hubungan antara ayah anak juga tidak baik karena di mata anak-anak, si ayah hanya bisanya mengomel. Petaka terjadi ketika kita tidak dapat menjaga lidah.

3. Ketika kita tidak dapat memilih keputusan yang benar, maka buatlah keputusan yang kita pilih jadi benar - jangan disesali kemudian hari
Pesan tersirat yang saya dapat dari drama ini adalah hidup menjadi orang baik saja tidak cukup, kita juga mesti berhikmat terutama memilih apa yang mesti dilakukan atau tidak dilakukan. Dae Young dan Da Jung keduanya digambarkan sebagai orang baik yang menyenangkan, namun karena pilihan-pilihan yang mereka buat dalam hidup tidak disertai dengan keyakinan akan kebenarannya, maka sifat baik mereka terasa sia-sia - yang ada hanya hidup dalam penyesalan.

4. Kita adalah cermin bagi pasangan kita.
Saat menonton drama ini saya teringat percakapan Barrack Obama dan Michelle Obama yang beberapa waktu lalu sempat booming, kira-kira seperti ini :
Barrack Obama dan Michelle makan di restaurant yang ternyata milik mantan Michelle Obama. Barrack Obama meledek istrinya dengan berkata "Wah, kalau kamu menikah sama dia (si pemilik resto), pasti kamu sekarang bakal puas setiap hari makan makanan enak.". Candaan suaminya itu dibalas Michelle dengan, "Salah... Justru kalau aku menikah dengan dia, sekarang yang jadi Presiden Amerika bukan Barrack Obama tapi dia.".
Maka, jika ada kaum suami yang mengeluh istrinya sekarang sudah jelek, gembrot, dan bau bawang, cobalah bercermin dan bertanya "berapa gaji yang kuberi? cukupkah untuk dia perawatan ke salon? pernahkah aku memberinya waktu sebentar saja hanya untuk bersenang-senang? pernahkah aku memberinya pakaian bagus?" jika jawaban dari semua pertanyaan itu tidak, maka jangan harap "angan-angan" memiliki istri cantik paripurna menjadi nyata. Vice versa, jika ada istri yang mengeluh tentang pengahasilan suami, suami yang tidak betah di rumah, suami tidak sukses di pekerjaan, cobalah merenung pertanyaan sederhana seperti "sudah sejauh apa aku mendukungnya? apakah aku mengatur keuangan dengan baik, mari lihat catatan pengeluaran! Apakah aku memperhatikan suamiku sama seperti aku memperhatikan anakku?" - nah jawab sendiri ya... Intinya, kalau pasanganmu buruk, coba ngaca dulu alih-alih salahin keburukan pasangan.

5. Untuk para kaum muda, drama ini membawa pesan "hidup seperti apa yang akan kamu jalani jika saat muda kamu ga hati-hati".

pict from here
si papa muda dan kenangannya saat menemani salah satu anaknya berkegiatan di sekolah-padahal seharusnya di usia itu ia sedang mengalami masa keemasan menjadi pemain basket namun harus pupus karena punya anak.

Wahhh, panjang sekali refleksi kali ini dan rasanya masih banyak pesan tersirat dari drama ini, coba deh nonton sendiri aja karena saya bersyukur memiliki waktu untuk merenungi drama ini lebih dari sekedar hura-hura karena pemainnya tampan-tampan :D

Happy Weekend, people


December 11, 2020

Secangkir Latte - Menutup Diskusi Kamisan Terakhir di tahun 2020

Sama luar biasanya juga kemampuan anak-anak untuk memusatkan perhatian, menyimpan pengetahuan, dan merespons secara cerdas diet mental yang mereka konsumsi. Kekuatan besar yang langsung terlihat aktif bekerja adalah tentu saja atensi, dan setiap anak dari segala usia, bahkan anak-anak yang dibilang “terbelakang” pun, tampak memiliki daya perhatian tak terbatas yang bekerja tanpa harus ada nilai, hadiah, ranking, pujian, atau ancaman. ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 255

Beberapa minggu yang lalu juga bacaan Kamisan membahas tentang kemampuan alami yang pada dasarnya sudah dimiliki anak (lihat tulisan yang ini). Lalu kali ini diulangi lagi dengan pernyataan bahwa jika kemampuan ini dikenali dengan baik, guru akan dapat melakukan  hal besar. Guru juga tidak perlu memberikan hadiah, pujian, atau hukuman dan ancaman kepada anak untuk dapat membuatnya mau belajar. Jika kemampuan dasarnya terstimulus dengan baik, maka dengan sendirinya anak akan dapat belajar dengan perasaan senang. 

Kita tidak perlu fun learning, atau menggantikan proses belajar dengan kegiatan seni dan prakarya atau senam atau berenang atau kegiatan fisik heboh lainnya, hanya karena dibilang anak-anak lelaki suka itu dan mereka tidak suka belajar. ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 255

Sebelum mengenal metode Charlotte Mason, saya selalu beranggapan bahwa belajar yang menyenangkan harus disertai dengan rancangan pembelajaran fun learning sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, saya biasanya memutar otak membuat kegiatan dengan tema-tema menyenangkan. Ternyata yang dulu saya yakini benar ini belum benar. Membuat anak menjadi senang belajar tidaklah sama dengan menyiapkan kegiatan yang menyenangkan sebagai "bungkus" dari kata belajar. 

Kurikulum luas yang saya gagas dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan tertentu ini-itu dari akal budi, dan menariknya adalah dalam menerima kurikulum yang berisi banyak mata pelajaran, siswa sama sekali tidak bingung, tidak membuat kesalahan konyol, dan tidak pernah mencampuradukkan, misalnya, fakta dari pelajaran bahasa Inggris dengan fakta dari pelajaran sejarah Prancis. ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 256

Maka, hasilnya adalah anak dapat "mencerna" pengetahuan dengan baik jika ide yang hidup yang disajikan, disertai dengan mengembangkan bagian-bagian akal budi (Charlotte Mason, vol.6, hlm. 255). Saat anak dapat mencerna dengan baik pengetahuan yang ia dapat, maka anak tidak akan melakukan kesalahan kecil nan konyol seperti kutipan di atas.

picture from here

Menulis paragraf di atas membawa saya pada imajinasi membuat latte. Ide yang hidup dan pengembangan akal budi seperti halnya esspresso dan steamed milk yang diaduk jadi latte, komposisi yang pas akan menciptakan sesapan yang nikmat.

Terima kasih untuk diskusi terakhir di tahun 2020 ini kawan-kawan CMid Semarang :)





December 09, 2020

Tidak Kehilangan Api - Pendidikan Liberal part III (KAMISAN, 3.12.2020)

Meskipun demikian, pendidikan hanya bisa dibilang sahih kalau tujuannya adalah mengembangkan akal budi. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.253

Wah saya koq lupa ternyata belum narasi Kamisan yang lalu. Sewaktu teringat, saya terpaksa mengulang membaca lagi bacaan karena sudah setengah lupa, kebiasaan buruk tidak langsung mengerjakan narasi ini harus segera dihapuskan, huhuhu. Lalu saat membaca ulang bagian yang saya kutip di atas, saya teringat saat sesi dengan Bu Ellen 2 tahun yang lalu. Saat itu Bu Ellen bertanya "apa tujuan kita bersekolah?", seingat saya saat itu jawabannya beragam, namun rasanya yang menjawab "mengembangkan akal budi" koq ga ada ya. Lalu, membaca tulisan Pak Darmaningtyas beberapa waktu yang lalu juga semakin membuat saya tertohok dan berpikir "benar juga ya, makna pendidikan saat ini sudah jauh bergeser dari esensi awalnya!".

 Bidang pengetahuan yang pertama dan utama adalah pengetahuan tentang Tuhan, yang mesti dipelajari paling langsung dari kitab suci; kemudian pengetahuan tentang manusia, yang  mesti dipelajari dari sejarah, sastra, seni, kewarganegaraan, etika, biografi, drama, dan aneka bahasa; dan terakhir, pengetahuan yang amat luas tentang alam semesta yang menjelaskan berbagai fenomena yang kita alami dan membuat kita akrab dengan nama-nama burung, bunga, bintang, dan batu; dan pengetahuan tentang alam semesta bidang apa pun tak akan bisa dipelajari mendalam tanpa pengorganisiran matematika.

Kurikulum yang diusulkan sangat luas, tetapi jam sekolah terbatas. Solusi 'akademik' pada umumnya untuk dilema ini adalah – ajarkan satu bidang spesialisasi secara menyeluruh, entah itu bahasa Yunani, atau Kimia atau Matematika, maka anak akan punya kunci untuk mengakses semua pengetahuan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.254

Keadaan yang terjadi di masa Charlotte Mason menulis bukunya mungkin berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia. Tertulis di sana bahwa untuk mengatasi masalah akan waktu yang sedikit sekali padahal ada banyak hal yang mestinya dipelajari, akhirnya orang-orang memilih untuk mengajarkan hanya 1 bidang spesialisasi secara menyeluruh. Jelas berbeda, di Indonesia (saat sebelum pandemi), seorang anak bisa saja bersekolah dari pk. 07.00 hingga pk. 14.00, lalu setelah itu berlanjut dengan sesi les tambahan yang biasanya terpisah-pisah sesuai subjek yang dipelari - bisa saja baru pk. 19.00 seorang anak "selesai dari kegiatan belajarnya" hari itu. Berbeda kondisinya, namun efeknya mungkin menjadi serupa yaitu Anak-anak tidak ingin tahu, jadilah mereka tidak berusaha untuk tahu, dan ketika mereka dewasa, mereka merasa sudah cukup kenyang secara intelektual asal sudah bisa main poker di malam hari dan golf di siang hari.~ bagian terakhir dari halaman 254.

Oh, saya juga jadi teringat dengan kasus suicide beberapa waktu yang lalu yang sempat heboh dimana-mana. Tanpa menyalahkan pihak-pihak tertentu yang mendampingi anak belajar, saya berefleksi dari kejadian tersebut dan bertanya pada diri sendiri "apa makna pendidikan yang saya mau berikan ke Keona? Sudahkah cara saya ini benar? Sudahkah tujuan saya benar?" - karena setelah saya pikir ulang, pendidikan bukan tentang seberapa banyak ilmu yang mau saya berikan ke Keona, lebih dari itu yaitu bagaimana kami dapat mengenal tentang Tuhan lewat kitab suci, juga mengenal tentang sesama kami manusia lewat subjek seperti sejarah, sastra, seni, kewarganegaraan, etika, biografi, drama, dan aneka bahasa. Sehingga, harapannya, ketika kami mengenal dengan baik Tuhan dan ciptaannya ini, maka kami dapat menjadi bagian dalam proses kehidupan dengan menjadi individu yang memiliki keagungan jiwa.

clumsy nya Seamus Finnigan emang ga layak ditiru, tapi semangat dia buat belajar hal baru itu keren (yeaa walo udahannya sering sial karena meledak meledak karena clumsy itu tadi hehehe)
picture from here

Prosesnya tidaklah mudah, tapi tidak mudah itu bukan alasan bagi kami untuk mundur, semangat ya semua :)



November 27, 2020

괜찮아 - gwaenchana - Pendidikan Liberal part II (KAMISAN 26.11.2020)

Meskipun demikian, protes keras tentang “Eton tidak mengajarkan padaku hal-hal yang aku ingin ketahui” layak untuk diperhatikan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.253
Setelah resign, setiap pagi dan sore saya memiliki rutinitas baru - menemani Keona bersepeda/main keluar rumah di sekitaran komplek (tentu saja dengan protokol kesehatan ya - pake masker & pulang langsung mandi). Ada beberapa tempat favorit kami, taman yang ada ayunannya dan di belakang masjid komplek yang bisa melihat pemandangan sore yang indah. Suatu hari, saat akan mampir ke tempat ayunan, ada dua orang anak perempuan yang sedang bermain ayunan. Keona melihat saya, matanya seakan bertanya "gimana nih ma? Aku mau main tapi ada yang mainin?", Saya reflek "gapapa, yok muter dulu aja sampai mereka selesai apa mau duduk di sini nunggu giliran?". Keona belum menjawab, namun salah seorang anak yang bermain ayunan meneriakinya "weeekk, ga boleh, ini punya aku!", sambil menjulurkan lidah. Lagi, Keona melihat saya kali ini dengan mata berkaca. Saya sesaat hanya berkata "gapapa, yuk jalan lagi aja.". Namun baru beberapa langkah, saya berhenti karena teringat belum memvalidasi Keona. Saya menanyainya, "Keona sedih?", ia mengangguk, saya memeluknya. Lalu "uda ga sedih ma, yok gowes lagi". Sampai di rumah, saya mengobrol dengannya selesai mandi "Keona tadi sedih kenapa?", "Temennya tadi ga bolehin Ona main, Ona mau main.", Saya tanya lagi "berarti Keona ga suka ya dibegitukan?", "Ga suka ma, Ona sedih.", "Kalau Ona nda suka, berarti orang lain kalau dibegitukan juga suka ga kira kira?" "Nda.. mama nangis nda ma?", ia malah balik menanyai saya. "Mama nda nangis sih, tp mama ga suka dibegitukan.". Ia terdiam, lalu "berarti Ona nda boleh begitu ya? Nanti orang lain sedih juga kaya Ona?", saya mengangguk, tersenyum, kemudian memeluknya.

Kalau dulu hanya berkata "Tidak apa-apa" saat Keona sedih, sekarang kami belajar untuk memaknai peristiwa itu - sesuatu yang sekolah tidak ajarkan namun orangtua acapkali lupa akan perannya dan mengira bahwa dengan membayar uang sekolah saja maka perkara pendidikan anak sudah beres. 

Keona beberapa waktu yang lalu saat sedang di rumah oma.
Mengkritik sekolah itu mudah, tetapi faktanya adalah setiap anak manusia terlahir dengan hasrat untuk mengetahui banyak hal tentang segala hal. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.253

Lalu beberapa hari yang lalu, saat sedang menginap di rumah oma nya Keona, Keona bermain bersama beberapa teman sepantaran tetangga oma. Teman-temannya ini, juga Keona membawa masing-masing mainannya. Sepulang dari bermain, oma bercerita tentang kejadian saat bermain dimana Keona tampak cuek saja, padahal temannya berusaha memancingnya agar mengambil mainan teman tersebut. Lalu saat Keona mendekati mainan itu, ia sudah dimarahi temannya "jangan pegang, itu punya aku!". Diberitahu seperti itu, kata oma, Keona lantas meninggalkan mainan yang baru akan dihampirinya itu lalu bermain dengan mainannya sendiri. Oma bertanya "katanya sekolah, tapi kenapa anak-anak itu begitu sih kak? Untung Keona woles-woles aja loh, mama juga heran, itu anak-anak gampang banget bertengkar rebutan mainan, tapi anakmu ya woles woles aja loh ga kepancing.". Saya lega mendengarkan cerita oma, tapi juga "ya nda salah sekolah juga ma... bukan karena dia sekolah terus kelakuannya jadi baik, emang semua sekolah ngajari? kan paling cuma bilang sharing ya mainannya tapi ga kasih value kenapa mesti sharing dan lain-lain. Mama lo neg HP mu dikon share sama orang lain mau nda?". "Makanya di situ peran orangtua, sekolah ngajarin ilmu macem-macem, tapi ndak bisa orangtua pasrah bongkok an sama sekolah, ada hal-hal kaya masalah Keona dan temannya itu tadi yang mestinya orangtua yang ajarin, yang tahu persis anaknya kan orangtua.". Lalu oma manggut-manggut sambil "iya ya, ya susah juga kalo nuntut gurunya buat ngurusin hal-hal yang semestinya bagian orangtua.".

Kita harus paham bahwa di balik perlawanan yang keras kepala itu, ada rasa lapar akan pengetahuan – bukan hanya untuk  jenis pengetahuan tertentu yang disukai anak (karena setiap jenis pengetahuan sebetulnya akan anak sukai) – tetapi pengetahuan yang diajarkan dengan cara yang benar, dan kita tahu bahwa tidak semua cara mengajarkan pengetahuan itu cara yang benar. Charlotte Mason, vol.6, hlm.253

Saya juga bercerita ke oma Keona tentang kejadian di ayunan komplek beberapa minggu yang lalu dan bersyukur bahwa dengan begitu, oma juga semakin paham mengapa saya akhirnya memilih untuk mengambil peran seutuhnya sebagai pendidik Keona. Selain memberinya ilmu, saya mau Keona belajar bahwa ia tidak perlu menjadi ikut pahit karena orang lain memberinya hal pahit tanpa perlu menghakimi orang tersebut, karena kitapun tidak pernah tahu apa yang sedang dialami orang itu kan? - dan hal ini hanya dapat terjadi jika saya mendampingi penuh proses belajar Keona-setidaknya jika suatu hari nanti Keona harus menempuh pendidikan formal di sekolah seperti anak lain, saya berharap tetap akan mendampinginya seperti saat sekarang ini karena memang semestinya keluarga dan sekolah berjalan bersama dalam proses tumbuh kembang anak - bukan hanya sekedar saling menuntut.

Selamat berakhir pekan,



November 20, 2020

Being (in)Secure - Pendidikan Liberal part I (KAMISAN 19.11.2020)

“Gajilah tinggi para guru, maka mutu pendidikan akan terjamin” menjadi resep populer saat ini, lalu kita melihat di salah satu sekolah desa, gurunya digaji £350 dan diberi fasilitas rumah, sedang seorang guru lainnya, lulusan Oxford, yang juga berkualifikasi tinggi, dengan tanggungan anak-istri, tidak mendapat rumah dan diharapkan hidup dengan £150 setahun! ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 250

Jika dikira menaikkan gaji guru akan meningkatkan kualitas pendidikan, saya yang pernah menjadi guru kurang setuju dengan resep populer yang ada pada masa Charlotte Mason. Pada dasarnya, seseorang yang memang mengabdikan dirinya sebagai guru tidak akan terpengaruh kinerjanya hanya dari apa yang ia dapat.

Namun, kerja itu sesuatu yang lebih dari soal upah, maka menganggap masalah utamanya adalah guru harus digaji tinggi, itu secara tersirat adalah penghinaan pada para guru. ~ Charlotte Mason,  vol. 6, hlm. 250

Realitanya  memang banyak sekali guru (atau profesi lain) yang akan bekerja sesuai berapa ia digaji, datang asal pekerjaan selesai, digaji, lalu pulang. Dulu, sewaktu masih bekerja, saya selalu berpikir, "mengapa begitu?", apalagi saat saya bertanya pada rekan "kamu ga bikin ...?", yang kemudian dijawab "sssttt, ga usah, ngapain, wong digaji cuma sgitu njaluk e aneh-aneh", karena jelas itu bertentangan dengan prinsip yang sejak dulu ditanamkan papa almarhum dan menjadi pegangan saya ketika bekerja "bekerjalah sebaik mungkin, bukan untuk uang, karena jika kamu sudah bekerja dengan baik, maka uang akan mengikutimu.". Namun terlepas dari perilaku kebanyakan guru yang bekerja sesuai berapa ia digaji, datang dan pulang asal selama menurutnya pekerjaannya sudah selesai, saya lalu menjawab pertanyaan "mengapa begitu?" yang awalnya terus mengganjal hati saya. Hal ini terjadi karena masyarakat sendiri yang sudah membentuk sistem seperti ini, ada realita bahwa guru juga memiliki tanggungan atau kewajiban lain selain kewajibannya di tempat kerja. Contoh ilustrasinya seperti ini, ada guru yang memiliki anak dititipkan di sebuah daycare dan sudah ada perjanjian dengan daycare jam berapa ia harus menjemput anaknya, maka ketika ada pekerjaan tambahan yang mengharuskan guru ini bekerja lebih dari jam kerjanya, ia tidak punya pilihan selain memilih pulang tepat waktu karena sudah ditunggu anaknya di daycare, kalau ia tidak tepat waktu, ia membayar denda, sedangkan jika ia memilih pekerjaan pun juga tidak akan ada tambahan uang lembur seperti pekerjaan lain (tidak semua pekerjaan dibayar uang lembur, salah satunya guru) - dari sudut pandang teman-teman sekerjanya, si guru ini adalah orang tepat waktu yang hanya sekedar datang, kerja, pulang. Maka, tidak adil juga rasanya jika kita hanya melihat satu sisi menaikkan gaji guru atau menuntut guru mengabdikan dirinya sepenuhnya - karena menurut saya yang ideal bukanlah menggaji tinggi, atau menggaji seadanya, tapi menggaji DENGAN PANTAS. Pantas bukan perkara nominal, pantas juga tentang apresiasi - menghargai usaha, karena ketika usaha sekecil apapun diperhitungkan, pekerjaan dengan beban yang berat (bagaimana tidak berat ketika orangtua menjadi pihak yang pasrah sepenuhnya pada sekolah karena mereka sibuk bekerja) kemudian akan terasa lebih ringan.

Dalam diskusi, Bu Ellen juga memaparkan bagaimana masyarakat sendiri yang membentuk sistem seperti ini - kebiasaan bertanya "kerja dimana sekarang?" atau "gajinya berapa?" membuat uang menjadi tujuan akhir dari bekerja - membuat masyarakat menjadi merasa tidak aman jika kondisinya tidak sesuai dengan sistem yang dibentuk oleh masyarakat. Segalanya butuh uang, tapi uang bukan segalanya, mungkin jika lingkaran setan ini dapat kita putus mulai dari diri sendiri, maka sistem yang sudah terbentuk di masyarakat ini akan luntur, sehingga orangtua yang semestinya menjadi partner sekolah (terutama dalam proses pendidikan anak), akan menjadi partner yang tidak hanya sekedar membayar uang sekolah (dan merasa tugasnya hanya mencari uang) tapi juga menjadi teman bagi anak saat mereka melalu proses tumbuh kembangnya - juga membantu anak mengerti akan esensi dari bekerja dan uang serta kepada siapa mereka mengabdikan hidup mereka.

"Ga bisa juga hanya idealisme doang tapi ga punya uang." ~ Bu Ellen, 19.11.2020
picture from here


Pada akhirnya, pada masa pandemi ini, saya mendoakan semoga guru-guru tetap dapat mengerjakan tugasnya sebaik-baiknya (seburuk apapun kondisinya, bahkan jika sampai penghasilan dipotong karena diskon uang sekolah) - juga orangtua tetap dapat membagi waktunya bekerja dan menemani anak bersekolah di rumah (karena saya mengalami dan tahu pasti, homeschooling itu berat, tapi tak seberat sekolah di rumah dengan kondisi masih harus bekerja).

Selamat menyambut akhir pekan,



November 13, 2020

Pendidikan Universal bagian terakhir - KAMISAN, 12.11.2020

Kamisan minggu ini, saya mencatat setidaknya ada lima poin kemampuan dasar yang butuh dimiliki anak saat memulai kegiatan terstrukturnya (atau ke sekolah), yaitu 

  1. daya memperhatikan, 
  2. minat besar pada pengetahuan, 
  3. kejernihan pikiran, 
  4. kemampuan bagus dalam memilah buku bacaan bahkan sebelum mereka bisa membaca,
  5. kapasitas untuk mencerna banyak mata pelajaran
pict. from here

Kelima kemampuan dasar tersebut, ternyata sudah ada dimiliki anak sejak mereka lahir (given), hanya saja tugas kita sebagai orang dewasa yang mendampingi anak belajar adalah memastikan kemampuan yang sudah ada diberikan oleh Tuhan ini tetap terjaga dan selalu terasah. Maka, peran lingkungan menjadi penting dan jauh lebih menentukan - atmosfer, struktur, dan sistem. Masalahnya adalah ketika kita kembali ke masa saat masih sekolah dulu, berapa dari kita yang memiliki kelima kemampuan dasar tersebut? Kalau bertanya pada diri sendiri, jelas, poin ke 2, 3, 4, dan 5 pun tidak saya miliki. Minat besar pada pengetahuan misalnya, saat sekolah minat saya justru ke hal lain selain mata pelajaran sekolah-yang-menurut-orang-penting, saya lebih tertarik pada olahraga, musik, dan ketrampilan menjahit. Lalu kejernihan pikiran, saat sekolah, mendengarkan guru sama sekali tidak membuat saya tertarik, saya justru memikirkan hal seperti "saat istirahat nanti mau beli jajan apa ya?" yang juga berpengaruh pada kemampuan untuk mencerna banyak mata pelajaran - pada jam mata pelajaran terakhir, saat perut kenyang saya sudah tak mampu menahan kantuk daripada mendengarkan guru. Memilah buku bacaan, saat sekolah pilihan buku bacaan saya juga bukan buku pelajaran tapi novel fiksi dan biografi. Sehingga, saat mendapati diri sendiri pun tidak memiliki kualifikasi seperti itu, lalu saya berpikir bagaimana bisa saya membantu Keona menjaga kemampuan dasar tersebut serta mengembangkannya. Namun setelah didiskusikan kemarin, saya lega, karena hal yang saya alami saat sekolah tersebut tidak sepenuhnya karena diri sendiri tidak mengembangkan kemampuan dasar tersebut tapi karena sistem - pelajaran sekolah yang tidak menarik, tentu tidak akan membuat pikiran menjadi jernih dan siap menerima pelajaran. 

"Izinkan saya menambahkan lagi bahwa prinsip-prinsip dan metode-metode yang saya ceritakan di atas terutama cocok untuk kelas-kelas besar; ada faktor “semangat akibat jumlah” (sympathy of numbers) yang akan menstimulasi suatu kelas, sehingga muncul daya dorong tambahan dalam prosesnya: setiap anak jadi bersemangat untuk memberikan narasi lisan atau tertulis dengan baik." - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 247

Bagian ini sempat membuat kami bingung, namun kemudian Bu Ellen membantu dengan penjelasan bahwa anak  dapat terpacu untuk dapat belajar lebih baik ketika berada di dalam kelas karena mendapat dorongan dari performance teman lain yang akan memacu mereka untuk perform dengan baik juga. Menurut Bu Ellen, hal ini masih mungkin diterapkan dalam proses pembelajaran homeschooling jika mengelompokkan anak-anak berdasarkan buku yang sama-sama sedang mereka baca.

“Sama seperti hanya ada satu Kebenaran yang berlaku untuk semua orang, begitu pula hanya ada satu Pendidikan yang berhasil untuk semua orang. Dalam hal mendidik suatu bangsa, satu-satunya pertanyaan adalah: Bagaimana supaya pendidikan universal ini bisa dikembangkan dalam kondisi semiskin apa pun dan jumlah massa sebanyak apa pun? Bisa memenuhi tuntutan itu akan menjadi kriteria penentu pendidikan sejati.” - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 249

Pada akhirnya, kita ditantang untuk dapat menerapkan hal ini dalam proses pembelajaran anak. Saat sudah menerapkan, lalu merasa resah dengan pembelajaran anak - anak lain, paling tidak kita dapat mengendapkannya terlebih dulu sambil membagikan hal yang kita tahu benar.


Selamat Hari Jumat tanggal 13,


 

November 05, 2020

Practice the Theory - Penerapan Teori VII (KAMISAN 05.11.2020)

"Akal budi butuh asupan seperti halnya tubuh agar tumbuh dan menjadi kuat, soal ini semua orang tahu." - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 246

Seperti pada bagian awal bacaan hari ini, memang benar bahwa akal budi itu membutuhkan asupan. Kita tidak bisa diam diam saja kalau mau anak berkembang - saat kita merasa anak orang mungkin lebih baik dari anak sendiri, alih-alih merasa anak tidak memiliki kemampuan, bukankah sebaiknya kita menilik diri sendiri dulu : "apa anakku sudah terstimulus dengan baik?".

Beberapa tahun yang lalu, beberapa orangtua yang anaknya seumur dengan Nastusha (anak Chelsea Olivia- waktu itu berusia 1 tahunan) heboh dengan postingan Chelsea yang menunjukkan bahwa anaknya sudah dapat rote counting  satu hingga sepuluh dalam bahasa Inggris. Waktu itu, saya ditanya oleh sesama orangtua yang anaknnya seumur Keona dan Nastusha, "Glo, anakmu dah bisa counting?". Respon saya waktu itu "oh iya, anakku belom bisa iq ternyata", tapi untungnya waktu itu disertai dengan pemikiran "ya iyalah, mbok e sibuk kerja sing nemenin sehari-hari pengasuh yang ga ada basic Bahasa Inggris koq njaluk anak e podo". Maka, saat saya dicurhati teman-teman lain tentang anaknya koq belum bisa begini begitu kaya si ini si itu, pertanyaan saya hanya "sudah sejauh apa stimulus yang kamu kasih untuk anakmu jadi seperti si ini itu?". Jadi, jangan harap seorang ibu yang hobi ngescroll gawai berharap anaknya bisa mau tertarik membaca.

"Kita berbuat keliru ketika kita membiarkan teknik-teknik mengajar kita yang luar biasa itu malah menjadi penghalang antara anak-anak dan pengetahuan yang dibutuhkan akal budi mereka." - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 247

Namun, Charlotte Mason menekankan bahwa hasrat akan pengetahuan adalah landasan dari semua upaya yang dilakukan orangtua atau guru. Jangan sampai justru stimulus yang kita berikan untuk anak justru menjauhkannya dari hasrat akan pengetahuan itu sendiri dan justru mendekatkannya pada hasrat lain seperti misalnya hasrat menjadi nomor satu (emulation), hasrat mendapat hadiah (avarice) hasrat mendapat kekuasaan (ambition), hasrat mendapat pujian (vanity) - vol.6, hlm.247. Maka, saat melihat anak oranglain sudah lebih terstimulus seperti contoh Nastusha yang sudah bisa berhitung urut satu sampai sepuluh itu, saat kita mengajarkan anak hal serupa, sebelumnya tilik tujuannya dulu, apakah kita melakukan itu demi pride - keren klo anakku masih setaun sudah bisa, atau demi pengetahuan.

Bahwa anak terlahir sebagai pribadi - kalimat yang selanjutnya muncul dalam bacaan ini kemudian menjadi sebuah pedoman lagi dalam kita menjalani proses memberi asupan untuk akal budi anak. Saat kita beranggapan bahwa anak adalah pribadi utuh, maka yang terjadi kemudian bukanlah kehendak semau kita saat memberinya asupan - juga bukan sikap seolah sedang mengisi ember kosong. Dua sikap yang barusaja saya tulis itu nantinya hanya akan membuat kita sebagai pendidik anak merasa capai exhausted karena merasa anak belum tahu apa apa sehingga kita berhak memberikan ilmu yang kita asumsikan dibutuhkan anak. Saya kemudian teringat pada pertemuan Kamisan tahun lalu yang membahas tentang gender - saat itu ada poin yang saya catat yaitu cinta tidak memiliki. Ketika saya kaitkan hal tersebut dengan kesadaran bahwa anak terlahir sebagai pribadi, saya lalu memikirkan "mengapa saat dengan anak orang lain, saya bisa sabar tapi dengan anak sendiri saat ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya koq saya bisa meledak?". Waktu itu kesimpulan saya adalah "karena anak orang lain bukan anak saya, mana mungkin saya mengomeli anak orang lain kan?" - jadi saat ada rasa memiliki ini, maka saya merasa bebas melakukan apa saja pada anak saya. Rasa memiliki ini juga berlawanan dengan prinsip anak terlahir sebagai pribadi - saat kita menganggap anak adalah milik, secara tidak langsung, kita menganggapnya bukan sebagai pribadi melainkan benda yang bisa kita apakan saja. Sehingga dalam prakteknya, saya selalu mengulang mantra "Keona bukan milikku, dia titipan Tuhan." saat saya sudah diambang amarah - dengan mantra itu, saya berhasil melalui hari-hari berdua saja dengan Keona di rumah tanpa teriakan marah (kalau ditanya kapan terakhir marah ke Keona, saya lupa. Mungkin sudah 2-3 bulan yang lalu).

picture from here

Pada akhirnya, saat bu Ellen membeberkan tentang tantangan menjadi orangtua dan berkata bahwa beliau sudah melalui (tidak hanya sekedar bicara teori) hal-hal tidak menyenangkan saat menjalani peran sebagai orangtua pertama kali, bahwa memiliki anak bukan sekedar memenuhi tuntutan sosial "habis nikah trus anaknya mana?", saya teringat akan tanaman telang saya yang baru kemarin tunasnya tumbuh setelah sebelumnya saya gagal dua kali dalam proses penyemaian. Dua kali gagal saat itu padahal saya menggunakan langkah sesuai teori, disemai terlebih dahulu - ternyata tunas yang berhasil tumbuh justru malah yang hanya diletakkan di tanah tanpa proses apa-apa (hanya mengandalkan proses alami). Sama seperti tanaman telang saya yang dibekali Tuhan untuk tumbuh tanpa harus melalui proses penyemaian, saat dipercaya menjadi orangtua, manusia dibekali Tuhan dengan kemampuan menjadi orangtua, namun terkadang kita terjebak dengan teori sehingga merasa proses menjadi orangtua terasa menjadi berat sekali. Saat saya belajar banyak sekali teori parenting namun gagal mempraktikannya dengan anak sendiri, rasanya sama seperti saat menyemai telang dua kali namun gagal - filosofi dan teori tidak hanya untuk dipelajari, namun juga dihayati dan dipraktikan.


Masih terus belajar untuk mempraktikan tanpa terjebak teori,

October 29, 2020

Pendidikan yang Universal - Penerapan Teori part VI (KAMISAN 22.10.2020)

"Pendidikan adalah bagian dan satu paket dengan agama ... , di atas segala sesuatu serta meliputi segala sesuatu, berilah dia makan pengetahuan tentang Tuhan." ~ Charlotte Mason, vol 6, hlm 246

Diskusi minggu lalu hanya membahas 2 alinea secara mendalam, namun butuh lebih dari satu jam untuk mengupas dua alinea tersebut. Dalam bukunya, Charlotte Mason menulis bahwa "pendidikan adalah satu paket dengan agama." - kalau dibawa ke sistem pendidikan yang ada saat ini di sekolah-sekolah Indonesia, kalimat pertama tersebut rasanya sudah dijalankan dengan baik di sistem pendidikan Indonesia; coba saja hitung, ada berapa sekolah-sekolah berbasis agama dalam sebuah wilayah misalnya - kalaupun bukan berdiri sebagai sekolah berbasis agama, pastilah ada pelajaran agama pada sekolah tersebut. Tapi rupanya bukan itu yang dimaksud oleh Charlotte Mason. Saya jadi teringat akan tulisan Darmaningtyas pada Pendidikan yang Memiskinkan, bahwa makna pendidikan yang awalnya adalah usaha sadar untuk mencapai taraf hidup lebih baik - kini telah bergeser. Singkatnya dalam buku itu, kalau dulu memilih sekolah atas alasan untuk belajar supaya pintar (tidak dibodohi), sekarang salah satu alasan orang memilih sekolah adalah berdasarkan basis agama sekolah tersebut. Lalu pendidikan yang satu paket dengan agama yang seperti apa yang dimaksud oleh Charlotte Mason?

"... berilah makan pengetahuan tentang Tuhan."; jelas ditulis tentang Tuhan bukan tentang agama, apalagi sampai terkotak-kotakkan karena agama. 

"... secara hati-hati mengikuti terang apa pun yang kita peroleh dari para bijak dan dari pengalaman umum; harus pengalaman umum karena pengalaman pribadi cenderung menyesatkan; karena itulah, saat saya melihat bahwa prinsip-prinsip dan metode-metode yang telah lama diujicoba ini ternyata berhasil diterapkan pada satu kelas berisi empat puluh anak sekolah di desa keluarga penambang, saya merasa yakin bahwa kami telah selaras dengan hukum-hukum alam yang kalau ditaati akan menghasilkan jenis pendidikan yang memuaskan." ~ Charlotte Mason, vol 6, hlm 246

Maka, saat melanjutkan ke alinea berikutnya, kalimat terakhir tadi semakin diperjelas dengan bagian terakhir alinea berikutnya. Agama dan hukum alam berjalan selaras sehingga jika ditaati akan menghasilkan pendidikan yang memuaskan yang sudah diujicoba pada empat puluh anak di desa keluarga penambang. Namun ada sebuah pedoman yang mesti diperhatikan agar pendidikan ini berjalan dengan baik dan memuaskan; Charlotte Mason menuliskan "... harus pengalaman umum karena pengalaman pribadi cenderung menyesatkan." - awalnya bagian ini saya "terjemahkan" sebagai pengingat bahwa kita hidup sebagai mahkluk sosial. Mengotak-kotakkan dan mengeksklusifkan diri nantinya hanya akan menyesatkan - sama seperti halnya beribadah, kita masing-masing dapat beribadah mandiri di rumah, namun mengapa tetap butuh ibadah bersama di tempat ibadah seminggu sekali? Saat memutuskan untuk menjadi homeschooler pun saya berpikir bahwa saya tetap butuh teman seperjalanan untuk berdiskusi agar nantinya jangan sampai tersesat dalam pengertian dan pemikiran pribadi. Kemudian dalam diskusi, saya juga mendapatkan bahwa pendidikan semestinya berdasar pada evidence-based bukan testimony-based - sama seperti dalam hal medis, kita pasti juga akan memilih pengobatan pengobatan yang berdasar pada bukti ilmiah dan bukan sekedar "katanya dia ini obatnya mujarab", etc

Saya teringat saat Keona belajar Matematika tentang bentuk bintang, ia malah melipat tangannya dan berkata bahwa bentuk bintang yang ia buat (stik eskrim) terlihat seperti lambang tuhan yang ia kenal - ada agama di dalam matematika :D

Pada akhirnya, kesadaran bahwa kita adalah mahkluk sosial (dan juga spiritual) akan membawa pada kesadaran akan makna "Ketuhanan yang Maha Esa" - Tuhan hanya satu, dan pendidikan yang baik bersifat universal.



October 16, 2020

Berdampak - Penerapan Teori part V (KAMISAN 15.10.2020)

"Guru membaca dengan itikad membantu anak-anak paham, karenanya, dia membaca dengan jelas, lantang, dan pengucapan yang saksama; guru berusaha membantu sebaik-baiknya, meski tentu saja guru tetap berhati-hati agar pemikiran si pengarang dan bukan pikirannya sendiri yang dia sajikan." - Charlotte Mason, vol.6, hlm.244

Jelas sekali dalam bacaan tersebut bahwa anak dibacakan bacaan terlebih dahulu sebelum menarasikan bacaan. Guru atau orangtua yang membacakan juga diminta untuk berhati-hati agar menyajikan pesan penulis dengan baik. Bahasa tertulis tidaklah sama dengan bahasa lisan, maka perlu sekali bagi orang dewasa yang membacakan tulisan untuk anak mengerti betul isi tulisan tersebut, berhenti dan bernada turun saat titik, dan memperhatikan tanda baca lainnya - karena kalimat yang sama jika dibaca dengan letak tanda baca yang berbeda pun akan menjadi berbeda artinya, contoh :

Menurut kabar burung, Andi sedang sakit.

Coba saja membaca tanpa jeda atau jeda tidak pada letak koma yang ada pada kalimat tersebut, pasti kalimat tersebut akan memiliki arti yang lain. Menurut saya, melatih diri untuk dapat membaca sesuai dengan tanda baca dan pesan yang ingin disampaikan penulis perlu dilakukan orangtua atau guru yang mendampingi anak belajar - sehingga lagi-lagi dalam bacaan inipun saya tertegur apakah sudah membacakan bacaan untuk Keona dengan benar sesuai dengan yang dimaui penulis. Setelah saya pikir-pikir, jika kita sebagai pendidik melatih diri pada bagian ini pun akan membantu mengembangkan kemampuan sosial kita, paling mudah adalah dengan membaca pesan teks dari teman atau kerabat. Lucu, saya teringat seorang kawan yang mengira temannya sedang melucu padahal teman tersebut sedang marah, hanya karena ia tidak memperhatikan tanda baca. 

 "Banyak orang berbicara tentang mengentaskan kemiskinan, tapi sudahkah kita betul-betul menyadari bahwa, kalau diberi pendidikan yang lebih berkualitas, aneka masalah untuk mencapai kehidupan yang layak akan bisa dibereskan sendiri oleh kaum miskin itu?" - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 245

Saya pernah melihat sebuah meme di media sosial yang isinya adalah protes seorang anak yang merasa sudah 8 jam sekolah, 4 jam les, lalu sampai di rumah baru duduk bermain sudah mendapat komplen orangtuanya "anak koq mainan aja kerjaannya, kapan belajarnya!", kemudian ada gambar si anak berkata "lha yang 8 jam sekolah sama 4 jam les itu bukan belajar?". Dari segi kuantitas, tentu saja siswa Indonesia memiliki lebih banyak jam belajar dibanding siswa di negara lain, namun kenyataannya masih saja banyak pengangguran yang datang dari kaum sarjana, atau koruptor yang datang dari kaum terpelajar (mendapat pendidikan yang layak). Lalu mengapa banyak sekali orangtua berlomba-lomba anaknya masuk sekolah favorit, anaknya jadi bintang kelas, kalau dalam prakteknya malah hasil dari pendidikan tersebut justru tidak mengentaskan kemiskinan. 

"... suatu pribadi yang berkarakter dan cerdas, warga negara yang layak dikagumi karena hidupnya terlalu penuh dan kaya, sehingga tak ada waktu untuk bikin masalah dalam masyarakat." - Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 245-246

Karena ternyata menjadi cerdas saja tidak cukup - padahal yang terjadi di masyarakat saat ini adalah banyaknya sekolah yang berlomba dengan tagline "mendidik anak menjadi generasi yang unggul", tentu saja yang dimaksud dengan unggul adalah unggul dalam hal akademis  karena disamping tagline itu ada gambar anak dengan piala juara lomba Matematika dan lomba lainnya. Saya jadi teringat pada sesi kelas gender yang saya ikuti bersama teman-teman CMid Semarang tahun lalu, saat membahas tentang istri yang memiliki penghasilan lebih besar dari suaminya - tidak akan ada masalah ketika kita duduk berdampingan dengan baik, masalah akan muncul ketika salah satu "menginjak kaki" teman duduknya karena merasa superior. Maka cerdas secara intelektual tidak menjamin seseorang hidupnya "penuh dan kaya" jika tidak diimbangi dengan karakter yang baik - rasa superior yang saya sebutkan pada kalimat sebelum ini tidak akan terjadi saat seseorang yang cerdas tadi memiliki karakter untuk mengimbangi kecerdasan yang ia miliki - sehingga tentu saja ia tidak akan membuat masalah dalam masyarakat karena tidak ada lagi rasa superior karena merasa dirinya "cerdas" tadi. 

Untuk pendidik maupun anak yang didampingi belajarnya, melatih diri untuk dapat menjadi bijak akan membawa diri menjadi pribadi yang bajik; contoh kecilnya adalah ketika kita sebagai pendidik belajar untuk tidak mengasumsikan tulisan dengan interpretasi pribadi, maka masalah yang muncul dari asumsi yang salah pun akan dengan sendirinya hilang. Menjadi individu yang berdampak bukan perkara seberapa besar cakupan dampak yang akan dihasilkan, namun bagaimana hal kecil dapat membawa pengaruh positif dimulai dari orang-orang terdekat - karena sekecil apapun dampak yang kita buat, jika dilakukan dengan hati yang tulus, tetap akan menjadi berkat bagi penerimanya.

A flower does not think of competing to the flower next to it, it just blooms.
picture from here

Terima kasih lagi-lagi kawan-kawan sepercenutan CMid Semarang untuk diskusinya, seperti biasa, membuat saya berefleksi pribadi, lagi dan belajar menjadi pribadi yang berdampak untuk orang di sekitar saya, bertumbuh tanpa harus berkompetisi menjadi yang lebih unggul.



October 09, 2020

Penerapan Teori part IV - Teknis (KAMISAN 8 Oktober 2020)

"Para guru memberi semangat dan dukungan dalam proses menyerap materi dan, ketika diperlukan, akan menjelaskan arti, meringkas, atau menyoroti bagian tertentu, tapi kerja sesungguhnya tetap bagian siswa." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 241

Pada poin di atas, saya menyoroti kata "ketika diperlukan" yang berarti bahwa guru (atau orangtua yang mendampingi anak belajar di rumah) boleh menjelaskan arti, meringkas, atau menyoroti bagian tertentu pada topik pembelajaran ketika diperlukan. Ketika diperlukan berarti juga tidak setiap saat pendamping boleh menjelaskan arti, meringkas, atau menyoroti bagian tertentu pada topik pembelajaran. Lalu apa indikatornya, kapan boleh dan kapan tidak boleh terlibat langsung dalam proses belajar anak tersebut? Lalu saat bolehpun, pada bagian terakhir poin di atas disebutkan "tapi kerja sesungguhnya tetap bagian siswa", koq bisa? Caranya bagaimana?

Buat saya, indikatornya adalah ketika guru atau orangtua pendamping sudah dalam tahap ceramah (seperti pada bagian buku Charlotte Mason yang saya kutip pada tulisan saya yang ini) maka penjelasan materi tidak lagi diperlukan. Diperlukan adalah saat anak bertanya - pertanyaan tersebut juga tak lantas dijawab langsung begitu saja dengan jawaban layaknya mesin pencari google. Dalam diskusi, saya mencatat beberapa poin, yaitu :

1. Proses fasilitasi dalam proses belajar berbeda-beda - ada waktu tertentu yang mana fasilitator (orangtua ataupun guru) adalah pihak yang sama-sama sedang belajar dengan anak, sehingga proses belajar dilakukan bersama dalam rangka sama-sama mencari tahu, ada pula proses belajar dengan fasilitator yang  sudah lebih dulu tahu materi pembelajaran.

2. Pada jenis fasilitator yang memang sudah lebih tahu lebih dulu tentang materi pembelajaran, ceramah bukanlah pilihan saat menjelaskan materi kepada anak. Fasilitator dapat memantik dengan melempar pertanyaan-pertanyaan yang membuat anak berpikir dan menemukan jawabannya - ini yang menurut saya disebut "... kerja sesungguhnya tetap bagian siswa.".

3. Memantik bukanlah tentang memberi informasi - fasilitator memandu anak untuk dapat menemukan jawabannya, dan memfasilitasi tidak memiliki rumusan pasti apa saja yang harus dikatakan kepada anak atau pertanyaan apa yang harus ditanyakan - banyak praktek akan mengasah kemampuan terutama (menurut saya) jika anak sudah terbiasa berkomunikasi dua arah (mengobrol nyambung).

4. Lalu mengenai bagian awal kutipan di atas mengenai menyemangati - menyemangati yang seperti apa yang dimaksudkan? Menyemangati bukan perkara memaksa atau tidak memaksa anak belajar. Anak harus dibiasakan untuk belajar melakukan apa yang seharusnya ia lakukan walaupun misalnya semangatnya sedang drop - mengawal anak hingga kewajibannya selesai bukan karena suka maupun tidak suka, namun ingat, jangan sampai anak burn out kelelahan.

picture from here


"... termasuk banyak nama diri (proper names). .... dan pada semua mata pelajaran ini, siswa menulis dengan santai dan banyak-banyak seolah sedang menulis kepada kakaknya yang sedang tidak di rumah tentang anak-anak kucing yang baru dilahirkan!" ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 242

Saat membaca daftar proper names  yang ada dalam bacaan, saya takjub dan berpikir saat berusia 10 tahun, saya belum bisa menulis nama-nama tokoh yang mengejanya saja sulit - apalagi kalau menulis di lembar ujian, pasti lembar ujian itu kosong kalau ujiannya bukan yang open book. Ternyata untuk membuat anak dapat menulis dengan lengkap (namun tetap santai seolah sedang menulis tentang anak kucing yang baru dilahirkan) seperti itu dibutuhkan latihan yang konsisten - copywork dan dictation.

Terima kasih diskusi kemarin ya teman-teman CMers, saya banyak belajar,



October 02, 2020

Kekuatan Pendidikan Karakter - Penerapan Teori part III (KAMISAN 1 Oktober 2020)

"Apabila kita menyadari bahwa akal budi dan pengetahuan bagaikan bola mata dengan rongga mata, bagaikan dua bilah penyusun gunting, yang mesti berpasangan, yang kalau satu tidak ada maka yang lain tidak bisa bekerja, dan baru bisa bekerja dengan baik kalau ada keserasian, maka kita jadi paham bahwa fungsi kita sebagai guru adalah untuk memasok anak-anak dengan porsi pengetahuan yang mereka butuhkan; dan kemudian segala macam urusan soal karakter dan perilaku, efisiensi dan kesanggupan, juga keagungan jiwa (magnanimity) – kualitas tertinggi yang bisa dimiliki seorang warga negara – semua itu akan terwujud dengan sendirinya. “Kok bisa?' protes si guru yang seumur hidupnya dihabiskan dalam kerja keras sia-sia ala Sisyphus." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 240

Panjang ya kalimat kutipan di atas? Saya mau memotong kalimat tersebut tapi semua bagian kalimat merupakan kata-kata penting yang rasanya sayang kalau dipotong meski hanya di bagian setelah titik koma sekalipun. Minggu-minggu sebelum ini, topik akal budi dan pengetahuan semestinya berjalan selaras sudah banyak dibahas - satu dan yang lain tidak ada yang lebih penting. Keduanya sama penting karena satu tanpa yang lainnya juga akan sia-sia tak berguna seperti dua bilah penyusun gunting. Tepuk tanganpun tidak akan disebut tepuk tangan jika hanya satu tangan tanpa ada tangan lain untuk ditepuk.

Saya tertarik dengan kata Sisyphus dalam bacaan hari ini - jujur ini pertama kalinya mendengar kata itu. Lalu di tengah diskusi, saya berusaha mencari tahu di mesin pencari Google mengenai Sisyphus  ini - membaca sepintas bahwa itu adalah salah satu dari mitologi Yunani dengan ilustrasi seorang pria mendorong batu besar yang besarnya lebih besar dari tubuhnya - sebuah usaha sia-sia.

Sungguh, pastilah melelahkan menjadi seseorang yang bekerja keras namun sia-sia seperti itu. Maka muncullah pertanyaan dalam diskusi, apakah dengan porsi pengetahuan saja lalu urusan soal karakter dan perilaku, efisiensi dan kesanggupan, juga keagungan jiwa (magnanimity) – kualitas tertinggi yang bisa dimiliki seorang warga negara – semua itu akan terwujud dengan sendirinya? Kalau memang begitu, lalu dimana letak habit training dan education is an atmosphere?

David Beckham and Harper, picture from here


"Para siswa, bukan guru, menjadi pihak yang bertanggung jawab; mereka menggarap materi dengan upaya mereka sendiri." ~Charlotte Mason, vol.6, hlm. 241

Bagaimana seorang anak bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab akan apa yang mereka akan pelajari? Saat membaca sekilas mengenai Sisyphus, saya menyimpulkan bahwa seorang anak harus sadar terlebih dulu bahwa dirinya tidak bisa sehingga ia dapat dibantu oleh orang dewasa yang bertanggung jawab akan pendidikannya. Saya sengaja meletakkan gambar ilustrasi David Beckham dan putrinya yang saat itu belajar naik sepeda. Seorang anak yang sadar dirinya tidak dapat naik sepeda akan mau belajar naik sepeda; bukankah hanya orang sakit yang sadar dirinya sakit yang mau dan merasa butuh mengobati dirinya. Hal sia-sia seperti gambaran Sisyphus akan terjadi jika keinginan untuk anak mau belajar justru muncul dari orangtua atau pendidik. Maka hal pertama yang dapat dilakukan orangtua atau pendidik adalah dengan memberi anak asupan ide hidup - lewat buku-buku berkualitas yang dibaca atau dibacakan anak. Lalu bagaimana ide hidup tadi memunculkan rasa ingin belajar? Anak adalah pemerhati detil, mereka akan menemukan hal yang mereka sukai dalam bacaan tersebut dan memberi mereka ide untuk belajar dan mau belajar; agar dapat menjadi individu pembelajar yang bertanggung jawab, maka di sinilah peran habit training dan education is an atmosphere. Di rumah, karena sudah terbiasa belajar atau membaca buku pada pukul 11.00, Keona yang belum dapat membaca jam tetap dapat mengingatkan saya "mama, ini sudah jamnya belajar belum? Keona belum baca buku loh hari ini.". Hal ini terjadi karena sudah tiga bulan terakhir Keona saya biasakan untuk memiliki jam belajar di jam yang sama setiap harinya - habit training

Dapatkah orangtua yang senang berada di depan gawai memiliki anak yang suka berada di depan buku? Dapatkah orangtua yang tidak suka membaca buku memiliki anak yang suka membaca buku? - tentu tidak bisa, maka di sinilah letak peran education is an atmosphere.

Well, lagi-lagi saya menanyai diri sendiri "jika saya ingin Keona menjadi manusia pembelajar yang bertanggung jawab, sudahkah saya sendiri menjadi orangtua pembelajar?" 


Berbisik dalam hati sebelum tidur, Right Thinking Right Action,




September 24, 2020

Penerapan Teori (part 2) - KAMISAN 24.09.2020

"Kita tidak menyadari bahwa dalam kodrat perannya seorang guru punya peluang menjadi jurubicara Sang Ilahi untuk mendidik dan menggugah." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.237

Pada narasi diskusi minggu sebelumnya saya sempat menulis tentang guru yang merasa tidak maksimal dan murid yang merasa kelelahan. Kali ini pun topik tersebut masih berlanjut, ditulis oleh Charlotte Mason bahwa tugas - tugas sekolah akan menjadi siksaan bagi siswa saat terjadi konflik antar kehendak guru dan murid. Sebagai pendidik, tanpa sadar kita meremehkan anak menganggap mereka bukan pribadi utuh - "sekolah yang pinter ya nak, biar jadi orang" - ungkapan itu sering sekali diucapkan oleh orangtua dulu (mungkin sekarangpun masih ada orangtua yang seperti itu) saat mengantar anaknya ke sekolah. Padahal, anak-anak punya potensi menjadi baik dan buruk karena mereka sebenarnya adalah pribadi yang utuh. 

Jogja 2018

 "...bahwa dia bersukacita dan berdukacita dengan intensitas yang tidak lagi kita rasakan, bahwa dia mencintai dengan sepenuh hati dan percaya yang – sayangnya – kita tidak balas, .." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.238

Saya menangis saat membaca bagian ini, teringat sebuah frasa dalam Bahasa Korea 내가 닿을 수없는 곳  yang artinya dalam Bahasa Inggris "Your place where I cannot reach" salah satu judul episode sebuah drama Korea yang pernah saya tonton beberapa bulan yang lalu. Dalam cerita tersebut, ada seorang ibu yang meninggal setelah melahirkan, lalu ada ibu sambung yang menggantikan tempat ibu tersebut. Masing-masing saling menyesali posisi tempat mereka, ibu yang tidak sempat merasakan jadi ibu dan harus bergentayangan menjadi hantu padahal ia ingin sekali merasakan mendekap putrinya, dan ibu sambung yang merasa tidak dapat menggantikan ibu kandung sebesar apapun usahanya. Saat menjadi orangtua dan pendidik anak, hal terpenting menurut saya yang harus disadari dan diyakini adalah bahwa menjadi orangtua merupakan priviledge atau hak istimewa yang diberikan Tuhan. Tidak semua pasangan diberkati dengan keistimewaan untuk memiliki tempat menjadi orangtua dan tidak semua perempuan diberi berkat kesempatan untuk hamil dan melahirkan. Saat sudah menjadi ibu dan melewati waktu mengurus anak, acapkali kita lupa akan priviledge  tersebut dan memperlakukan anak semau kita - mematikan potensi manusia utuh pada diri mereka, contohnya saat dengan mudah kita mengatakan "jangan!" saat anak baru hendak mencoba hal yang ia ingin tahui. Saya pun masih dalam proses memperbaiki diri kadang masih terlupa keceplosan bilang "jangan!". Bersyukur sekarang sudah jauh berkurang. Agar dapat menjaga agar sifat mematikan potensi anak terus berkurang dan hilang sepenuhnya, peran menjadi pendidik juga baiknya tidak terbeban dengan berapa banyak dosis pengetahuan seperti apoteker mengukur dosis obat. Ilmu tidak akan ada habisnya sehingga cara pandang terhadap ilmu yang tidak ada habisnya ini jika dipikul sebagai beban akan semakin membuat orangtua terbeban dan anak kelelahan. Beban tersebut dapat datang dari mana saja, dari diri pendidik juga dari pihak luar, yang sering terjadi adalah saat orangtua membanding-bandingkan anak masing-masing, sehingga saat anaknya belum bisa melakukan apa yang anak lain sudah dapat lakukan maka terbebanlah orangtua tersebut. Membandingkan anak dengan anak yang lain juga merupakan bentuk tidak respek orangtua terhadap anak. Jika ingin membandingkan anak, orangtua dapat membandingkannya dengan anak di waktu sebelumnya sebagai evaluasi dari perkembangan anak, bukan dengan anak lain. 

"Oleh karena itu, pengajaran, ceramah panjang lebar, seberapa pun brilian atau menawannya, tidak akan berdampak apa-apa sampai kegiatan mental internal pendengarnya dibangunkan; dengan kata lain, pendidikan mandiri (self-education) adalah satu-satunya pendidikan yang mungkin terjadi; ..." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.240

 Saya setuju dengan bagian ini karena mengalaminya secara langsung. Saat remaja, mendengar pendeta yang kothbah di atas mimbar, rasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, atau kalau bisa kothbah tersebut dipakai untuk menunjuk orang lain "nih, kothbahnya pas buat kamu!". Sekarang, banyak sekali waktu saya pakai untuk berefleksi, mendengar kothbah, menyetrika, mencuci, dan juga dalam diskusi bersama kawan-kawan CMid Semarang. Kemampuan untuk menilik hati, merenungkan serta menghubung-hubungkan pikiran dalam benak ini sedang saya usahakan dapat pula dimiliki Keona, karena pendidikan bukan sekedar kemampuan intelektual namun juga spiritual.


Semoga keistimewaan menjadi juru bicara Ilahi ini dapat dilakukan semua orangtua (terlebih saya dan suami),




September 23, 2020

Penerapan Teori - KAMISAN 17.09.2020

"... pendidikan untuk semua (liberal education) adalah hak alamiah setiap anak, sama seperti keadilan, kebebasan beragama, kebebasan politik, atau udara segar." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.235

 Pendidikan sejatinya adalah hak untuk semua sama halnya dengan agama dan politik, itu yang saya tangkap dari bacaan diskusi beberapa hari yang lalu. Namun, pada prakteknya, pendidikan masih hanya milik segelintir golongan dan tak dapat dinikmati golongan lain. Membaca buku-buku sastrawi dengan penuh sukacita dan mudah merupakan cara yang baik untuk memasukkan semua mata pelajaran.

picture from here

"Kapan hari saya mendengar tentang seorang pria yang hidupnya berubah total gara-gara satu kalimat puitis inspiratif yang dia dengar semasa sekolah. " ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.236

Bahkan sebuah kalimat puitis dapat merubah hidup seseorang. Maka jelas sekali peran buku-buku sastrawi tadi. Kegiatan membaca tidak akan menyenangkan jika buku yang dibaca pun tidak memiliki daya tarik pembaca, seperti halnya sebuah harta karun, maka Charlotte Mason pun menuliskan bahwa membaca akan menjadi kegiatan yang membawa sukacita. Berbanding terbalik dengan yang dialami kebanyakan anak saat ini. Baru saja, saya berdiskusi dengan seorang sahabat mengenai pelajaran Sejarah dan hobi kami menonton Drama Korea. Kami selalu memilih drama yang akan kami tonton (tidak semua harus ditonton kan!), tentu saja pilihannya mulai dari aktor yang memainkan peran utama, hingga alur cerita. Minggu ini, kami mengulang drama berjudul "Mr Sunshine", sebuah fiksi namun berlatar belakang kisah sejarah Korea di masa Joseon. Biasanya setiap selesai menonton, kami berdiskusi mengenai merchandise atau alur cerita. Kemarin, kami membahas tentang "bagaimana jika pelajaran Sejarah saat kami sekolah dulu disajikan semenarik saat menonton drama, atau paling tidak, adakah novel terkait yang dapat dibaca dengan sukacita", karena ternyata saya tidak mengingat sama sekali bacaan buku Sejarah yang pernah saya baca sebelum ulangan dulu, ingat hanya untuk ulangan saja, mengerikan bukan? Dan rasanya fenomena "membaca hanya untuk hafal saat ulangan" masih berlaku hingga hari ini, hingga ilmu yang memang tiada habisnya ini akhirnya hanya menguap menjadi keluh dari mulut para guru dan murid. Guru merasa tidak maksimal, murid merasa kelelahan. Padahal, jika mengerti arti dari "sukacita saat belajar", pelajaran Sejarah yang terasa hanya sebagai hafalan peristiwa, mestinya dapat menjadi sebuah pembelajaran bagi pembacanya - mempelajari bagaimana masa lalu dapat menjadi refleksi agar dapat menjalani hidup dengan bermakna dan penuh kebajikan seperti yang dikatakan Plato.

Fighting the Decay, terhimpit lalu tumbuh 

Dalam diskusi waktu itu sempat membahas bagaimana minat menulis meningkat di masa pandemi seperti sekarang ini. Sayangnya, minat yang meningkat tersebut tidak diikuti dengan kualitan tulisan yang dihasilkan, tema yang diangkat justru hal-hal seperti perselingkuhan misalnya. Saat menulis inipun saya tertawa dalam hati, karena ternyata minat saya terhadap "layar" juga meningkat saat pandemi ini, terutama menyangkut video musik dan drama Korea. Terhimpit lalu tumbuh, saat ini saya sudah berusaha membatasi jam menikmati tayangan-tayangan tersebut. Berhenti total juga tidak, karena koq sepertinya saya masih butuh hal-hal menyangkut seni (musik dan film) seperti itu ya. Namun saya berharap, saya tidak perlu menunggu untuk terhimpit dulu baru tumbuh - apa yang saya kerjakan harus bermakna, pun saat menonton drama maupun video musik, sebisa mungkin saya mengambil waktu merenungkan apa yang bisa saya petik dari situ. Semoga kalimat saya barusan bukan "pembenaran akan dosa", karena jika memang begitu, saya akan menyesal selamanya.


Lagi-lagi refleksi setelah diskusi,



Kukira Kamu Manekin



picture from here

Kukira kamu manekin,
saat semua orang memanggilmu begitu
Diam di sudut tak mengindahkan keadaan sekitarmu
Kukira kamu manekin,
akupun setuju bahwa dirimu memang cantik sehingga orang menyebutmu begitu
tapi apakah kamu hanya diam saja saat kuajak bicara?
dirimu berteriak, berkata bahwa mereka yang diam bukan dirimu
dirimu berteriak, berkata bahwa saat kau bertanyapun mereka yang diam
mereka yang manekin, begitu katamu
Kukira kamu manekin,
yang diam tak berbuat apa-apa saat teman di sekitarmu sibuk, atau sok sibuk?

Kukira kamu manekin,
hingga akhirnya waktu berganti, dan kau memiliki kesempatan yang lain
Kukira kamu manekin,
sampai tiba-tiba saja, ia berkata bahwa dirimu ternyata sama sepertiku
Kukira kamu manekin,
tersenyum cantik tanpa berbuat apa-apa, hingga kusadari bahwa manekin itu ternyata bukan dirimu

Kukira kamu manekin,
sebelum kutahu bahwa yang memanggilmu begitu justru lebih manekin ketimbang kamu.
Kepada puan yang pernah kusebut manekin, 
terima kasih telah memperhatikanku sejak lama 
terima kaasih karena sudah memberi tahu bahwa ternyata akupun berarti
sama berartinya dengan dirimu yang orang bilang manekin

Kukira kamu manekin, 
kosong tak berjiwa,
tapi nyatanya itu hanya untuk menutupi keadaan sesungguhnya 
keadaan sebuah manekin sesungguhnya yang justru berteriak manekin.

Di tengah manekin yang meneriakimu manekin,
terselip doa
semoga kamu berbahagia, selalu


Semarang, 23.09.2020,



PS : ini draft dari bulan Februari 2020, br kepikiran buat lanjutin hahahhaha



September 03, 2020

Mati-matian Matematika (part 2) - KAMISAN 03.09.2020

"Ringkasnya, menurut saya, matematika mestinya dipelajari karena kesenangan di dalamnya, bukan untuk membuat anak tambah pintar atau jadi jenius. " ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 232

Beberapa bulan yang lalu, saya mendapati bahwa Keona tidak dapat mengikuti pelajaran Matematika di sekolah, selain sering melewatkan angka tertentu dalam hitungan urutnya, ia juga belum dapat mengerti konsep jumlah dengan benar. Padahal, yang saya tahu, di sekolah, pelajaran Matematika diberikan dalam bentuk menyenangkan bagi anak, alat peraga pun menggunakan banyak variasi berbeda tiap minggunya. Namun, saat membaca bagian bacaan diskusi hari ini, saya menyadari bahwa hal menyenangkan yang dianggap menyenangkan oleh orang dewasa kadang kala bukanlah kesenangan anak, sehingga mau disajikan seperti apapun jika tidak ada kesenangan pada anak akan hal yang ia pelajari, maka pelajaran pun tidak akan menjadi sesuatu yang anak pelajari dengan senang hati. Sejak menjalani pembelajaran mandiri di rumah, karena sadar Keona belum dapat menghitung urut dengan benar, dalam beberapa kegiatan kami bersama seperti olahraga pagi dan mengerjakan PR balet, Keona selalu saya minta untuk menghitung sendiri hitungannya melakukan gerakan dalam olahraga tersebut. Tidak terasa, saat ini, setelah dua bulan melakukannya dengan senang hati karena sambil berolahraga, Keona malah sudah mulai berhitung urut hingga 20. Kedepannya, semoga hal berhitung ini dapat menjadi bagian dari hal yang kami kerjakan dengan menyenangkan bukan karena Keona terpaksa atau saya paksa karena teman seusianya sudah bisa ini itu, tapi karena ia mau dan ia senang belajar.

"Sepertinya begitulah kecenderungan sistem pendidikan masa kini yang menutup pintu masuk perguruan tinggi bagi anak-anak yang dianggap tidak pandai matematika, yang berarti menghambat perkembangan karir mereka, lalu akhirnya para siswa yang lemah matematikanya itu harus bekerja berat untuk menguasai matematika secara mekanis, sehingga mereka mau tak mau kehilangan waktu untuk mempelajari humaniora yang menjadi elemen kunci dalam konsep “pendidikan bagi semua”." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 233


Kata-kata "pendidikan bagi semua" ini seakan menegaskan bahwa matematika bukan segala-galanya namun segala-galanya butuh matematika di dalamnya. Seperti yang dibilang ci Indri dalam diskusi tadi, matematika seperti uang, bukan segala-galanya, tapi segala sesuatu butuh uang. Anak yang tidak pandai matematika tidak semestinya juga kehilangan waktunya untuk belajar hal lain selain matematika karena mengejar ketidak bisaannya dalam matematika untuk menjadi bisa. 

Memang benar, semua hal di dunia itu butuh matematika, bahkan dalam diskusi tadipun saya terpikirkan "ahhh, iya, belajar geografi dengan traveling saja, butuh matematika untuk menghitung budget pulang pergi kan?" dan masih banyak hal lain di dunia ini yang butuh matematika. Namun matematika juga bukan sesuatu yang dijunjung tinggi dianggap paling penting dan yang menguasainya pun bukan berarti sudah menguasai semua bidang kan?

Saya jadi teringat sebuah postingan di media sosial mengenai Deddy Corbuzier yang bercerita bahwa sewaktu bersekolah dulu, ia mendapat nilai kurang di matematika dan memiliki bakat di bidang seni rupa. Yang ia sesalkan, saat ia tidak bisa matematika, ia menghabiskan waktunya untuk les matematika dan tidak mengembangkan bakatnya di bidang seni rupa tersebut. Ia berharap, waktu itu orangtuanya mendukungnya memberi les tambahan seni rupa bukan malah menjejali waktunya untuk mengejar ketinggalan di bidang matematika dengan les matematika. Ia berpikir, jika saja waktu itu orangtuanya "tidak mati-matian" membuat dirinya mengejar ketinggalan di bidang matematika dan mengembangkan kesukaannya pada seni rupa, bisa saja saat ini ia sudah menjadi pelukis yang baik.


picture from here


"Matematika adalah mata pelajaran yang penguasaannya bergantung kepada guru lebih daripada ke buku teks. ....... . Singkatnya, matematika adalah bagian penting dari pendidikan setiap anak. Matematika harus diajarkan oleh mereka yang paham matematika, tapi janganlah pelajaran ini terlalu menyita waktu dan perhatian siswa sampai ia tak sempat belajar aneka pengetahuan lainnya, pengetahuan kaya yang menjadi hak asasinya." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 233

Sama seperti minggu lalu, saya tahu bahwa ini berarti tugas pendidik anak mendapingi anak untuk mencintai ilmu bukan malah membencinya. Saya diingatkan lagi melalui diskusi hari ini untuk tidak berambisi membuat Keona menjadi yang "ter-". Menjadi yang "ter-" itu tidak buruk, namun jika ilmu yang dimiliki tidak digunakan untuk kebajikan dan dengan bijak, lalu untuk apa belajar? Maka menjadi penting bagi pendidik juga untuk paham esensi dari belajar matematika itu sendiri - bukan untuk membuat anak didiknya menjadi juara matematika, tapi lebih daripada itu yaitu membuat anak memiliki hikmat untuk menalar dan menimbang perkara dengan bijak.

Kali ini sudah siap kan, Glo?



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...