Showing posts with label Korean drama. Show all posts
Showing posts with label Korean drama. Show all posts

December 18, 2020

(don't) Take Someone For Granted - refleksi Drama Korea "18 Again

Saat Bulan Oktober 2020, selain Start Up, feed saya dipenuhi oleh postingan cuplikan drama berjudul 18 Again. Melihat cuplikan-cuplikan yang kebanyakan menyoroti pemain-pemain drama yang masih muda dan setting lapangan basket sekolah membuat saya mengira drama tersebut bercerita tentang anak muda dalam masa sekolahnya. Namun, awal Desember ini saya mencoba menonton drama tersebut, hanya iseng penasaran awalnya lalu saya kaget bahwa ternyata tema drama ini secara keseluruhan adalah keluarga - memang pemainnya masih muda-muda karena menceritakan pasangan anak SMA yang 18 tahun lalu terpaksa mengubur mimpi karena memiliki anak kembar. Singkatnya, pasangan ini 18 tahun kemudian di ambang perceraian karena masing-masing menyesali pilihannya untuk bersama 18 tahun lalu sehingga semua mimpi terkubur. Si ayah yang jengkel dituntut cerai, melampiaskan kejengkelannya dengan bermain basket di lapangan, dan tiba-tiba ia kembali ke tubuhnya saat berusia 18 tahun - yang membuatnya terpaksa bersekolah di sekolah yang sama dengan anak kembarnya. 
picture from here
Hong Dae Young dan Jung Da Jung 18 tahun yang lalu saat masih berpacaran

Melalui hari-hari sebagai anak SMA lagi, si ayah awalnya berpikir untuk meraih mimpinya menjadi pemain basket yang tertunda 18 tahun lalu karena harus bertanggung jawab akan kehamilan pacarnya. Tapi, alih-alih mengejar mimpi, ia justru 'sibuk membantu' kedua anak kembarnya saat kesulitan dan menjadi teman bagi si kembar.

Dari cerita drama ini, saya banyak berefleksi :

1. DON'T take someone for granted
Ini ga cuma antar relasi dengan pasangan, tapi juga anak ke orangtua, orangtua ke anak, dan teman. Banyak banget scene yang ngegambarin gimana (hampir semua) tokoh menyesal karena pernah ga bersyukur memiliki keluarga dan seenaknya aja.

2. Omongan bisa jadi PETAKA kalau tidak hati-hati - yang tersisa hanya kenangan dan kita ga bisa balik ke kenangan itu lagi.
Hong Dae Young sempet bingung, apa alasan istrinya minta cerai. Kalau karena hidup susah, mereka sudah hidup susah dari awal, aneh kalau setelah 18 tahun baru nuntut cerai. Ia baru tahu dari sahabatnya kalau alasan istrinya minta cerai adalah karena kata-kata yang ia lontarkan saat sedang mabuk. Selain itu, hubungan antara ayah anak juga tidak baik karena di mata anak-anak, si ayah hanya bisanya mengomel. Petaka terjadi ketika kita tidak dapat menjaga lidah.

3. Ketika kita tidak dapat memilih keputusan yang benar, maka buatlah keputusan yang kita pilih jadi benar - jangan disesali kemudian hari
Pesan tersirat yang saya dapat dari drama ini adalah hidup menjadi orang baik saja tidak cukup, kita juga mesti berhikmat terutama memilih apa yang mesti dilakukan atau tidak dilakukan. Dae Young dan Da Jung keduanya digambarkan sebagai orang baik yang menyenangkan, namun karena pilihan-pilihan yang mereka buat dalam hidup tidak disertai dengan keyakinan akan kebenarannya, maka sifat baik mereka terasa sia-sia - yang ada hanya hidup dalam penyesalan.

4. Kita adalah cermin bagi pasangan kita.
Saat menonton drama ini saya teringat percakapan Barrack Obama dan Michelle Obama yang beberapa waktu lalu sempat booming, kira-kira seperti ini :
Barrack Obama dan Michelle makan di restaurant yang ternyata milik mantan Michelle Obama. Barrack Obama meledek istrinya dengan berkata "Wah, kalau kamu menikah sama dia (si pemilik resto), pasti kamu sekarang bakal puas setiap hari makan makanan enak.". Candaan suaminya itu dibalas Michelle dengan, "Salah... Justru kalau aku menikah dengan dia, sekarang yang jadi Presiden Amerika bukan Barrack Obama tapi dia.".
Maka, jika ada kaum suami yang mengeluh istrinya sekarang sudah jelek, gembrot, dan bau bawang, cobalah bercermin dan bertanya "berapa gaji yang kuberi? cukupkah untuk dia perawatan ke salon? pernahkah aku memberinya waktu sebentar saja hanya untuk bersenang-senang? pernahkah aku memberinya pakaian bagus?" jika jawaban dari semua pertanyaan itu tidak, maka jangan harap "angan-angan" memiliki istri cantik paripurna menjadi nyata. Vice versa, jika ada istri yang mengeluh tentang pengahasilan suami, suami yang tidak betah di rumah, suami tidak sukses di pekerjaan, cobalah merenung pertanyaan sederhana seperti "sudah sejauh apa aku mendukungnya? apakah aku mengatur keuangan dengan baik, mari lihat catatan pengeluaran! Apakah aku memperhatikan suamiku sama seperti aku memperhatikan anakku?" - nah jawab sendiri ya... Intinya, kalau pasanganmu buruk, coba ngaca dulu alih-alih salahin keburukan pasangan.

5. Untuk para kaum muda, drama ini membawa pesan "hidup seperti apa yang akan kamu jalani jika saat muda kamu ga hati-hati".

pict from here
si papa muda dan kenangannya saat menemani salah satu anaknya berkegiatan di sekolah-padahal seharusnya di usia itu ia sedang mengalami masa keemasan menjadi pemain basket namun harus pupus karena punya anak.

Wahhh, panjang sekali refleksi kali ini dan rasanya masih banyak pesan tersirat dari drama ini, coba deh nonton sendiri aja karena saya bersyukur memiliki waktu untuk merenungi drama ini lebih dari sekedar hura-hura karena pemainnya tampan-tampan :D

Happy Weekend, people


August 25, 2020

Manusia BUKAN Benda (Refleksi Drama Korea "It's Okay To Not Be Okay" - dari sudut pandang gender)

it's a screenshot picture from a video that I found here.


"Moon Gang Tae belogs to Moon Gang Tae" ~ Moon Sang Tae, It's Okay To Not Be Okay, eps. 16

.... 


Saya baru saja menyelesaikan drama It's Okay To Not Be Okay minggu ini. Saat melihat salah satu flashback masa kecil kedua tokoh kakak beradik Moon, saya merasa scene ini pendek namun mengandung makna dalam terutama bagi kaum ibu. Bagi ibu-ibu yang tidak menonton drama ini, baiklah saya ringkaskan sedikit. 

Dalam drama ada dua kakak beradik Moon, Moon Sang Tae si anak pertama yang mengidap sindrom autisme dan Moon Gang Tae sang adik yang merupakan perawat di rumah sakit jiwa. Scene yang saya ambil ini (bisa lihat cuplikannya dengan meng-klik link ini) adalah kenangan masa kecil mereka ketika sang adik yang baru pulang dengan bangga menunjukkan sabuk merahnya yang baru ia terima ke ibunya namun malah dimarahi ibunya karena ia meninggalkan kakaknya yang mengidap autis yang justru berjalan pulang sendiri sehingga terluka dalam perjalanan. Saat dimarahi, Moon Gang Tae berteriak bahwa dirinya adalah miliknya, ia bukan penjaga kakaknya, lalu menangis sambil berlari. Dalam drama tidak tampak bagaimana reaksi ibunya (hanya terlihat syok dan terdiam) setelah itu karena si sulung berlari menyusul adiknya.

Waktu melihat adegan itu, saya merasa harus menulis ini, ditambah lagi, kata-kata itu dipertegas pada akhir episode 16 saat Sang Tae pamit hendak bekerja tapi adiknya mengkhawatirkan dirinya yang selama ini selalu ia temani. 

Tahun lalu, saya mengikuti kelas gender bersama teman-teman dari Charlotte Mason Semarang, banyak hal yang didiskusikan dalam diskusi gender tersebut, yang salah satunya berelasi dengan scene yang sudah saya jabarkan di atas.

"Jiwa anak bisa berpikir dan merasa, ingin menjadi mandiridalam memilih dan bebas mengekspresikan diri, ingin dicintai dan bebas dari ketakutan, semuanya sama seperti kita. Sayang, kita sebagai orangtua acap lupa tentang itu. Dalam ketidaksabaran, kita suka lupa bahwa anak punya selera, hasrat, dan opini tersendiri. Sehari-hari kita sering memperlakukan mereka bak binatang pelihataan, atau mesin tanpa hati, atau barang pameran." ~ Cinta Yang Berpikir oleh Ellen Kristi, halaman 18.


Dalam drama It's Okay To Not Be Okay, adapula scene pada awal episode 15 di mana ibu dari Ko Moon Yeong (tokoh wanita dalam drama tersebut) yang tiba-tiba muncul kembali dan mengatakan bahwa anak perempuannya adalah lukisan  yang ia buat dan menyalahkan Moon Gang Tae karena sudah "merusak lukisan" tersebut. Si ibu dalam cerita drama ini berharap putrinya akan menjadi seperti dirinya yang berhati dingin, kuat, dan tak perlu bantuan siapapun. 

Agar mudah merelasikannya, saya akan memberi pertanyaan kepada para orangtua pembaca blog saya ini. 

"Bisakah anda marah kepada anak tetangga?"

"Mungkinkah anda memukul anak dari teman anda?"

"Lalu bagaimana dengan anak anda sendiri? Sepertnya lebih mudah marah dan meledak kepada anak sendiri ya ketimbang anak orang lain?"


Dulu, sewaktu masih bekerja menjadi guru, saya pernah sekali memikirkan kata-kata orangtua siswa yang berkata "Duh, Miss Glo ini bisa sabar banget ya sama anak saya, kalau saya udah ga tahan miss!". Nyatanya, ketika menjadi ibu, saya mengalami hal seperti tidak sabar dengan Keona. Lalu hubungannya dengan "Moon Gang Tae belongs to Moon Gang Tae." dan diskusi kelas gender tahun lalu adalah CINTA TIDAK MEMILIKI.

Saya berdiskusi dengan sesama guru yang juga memiliki anak waktu itu. Ia pun mengalami hal yang sama - tidak sabar dengan anaknya padahal dengan anak orang lain bisa sabar sekali. Lalu ini menjadi sebuah simpulan bahwa anak bukan milik orangtuanya atau milik siapapun, anak adalah miliknya sendiri. Ketika kita merasa kita MEMILIKI anak (pasangan atau siapapun di dunia ini), kita merasa BERHAK untuk melakukan apapun (coba bandingan dengan siswa yang notabene adalah anak orang lain kan tidak mungkin kita apa-apain karena anak orang to?). Maka, dengan menghilangkan  kata milik itu tadi dalam relasi kita dengan anak (pasangan atau siapapun di dunia ini), rasanya menjadi nice kepada anak (dan siapapun) akan menjadi lebih mudah -> its TRUE, saya sudah coba, ketika akan marah ke Keona langsung berpikir "ini anak titipan Tuhan, bukan milik saya jadi saya mesti bertanggung jawab akan anak ini" sambil tentu saja mengambil nafas panjang serta minum air putih agar tetap waras. Oiya, lalu apa hubungannya dengan gender? Dalam diskusi kami tahun lalu, saya merumuskan bahwa kejadian seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dimulai ketika pasangan merasa bahwa pasangannya adalah miliknya yang bebas diperlakukan apapun. Hal ini yang kemudian saya kaitkan dengan orangtua yang juga kadang bersikap kasar kepada anak.

Karena, ketika kita melabeli anak (atau orang lain) dengan kepemilikan kita, bukankah kita juga secara tidak langsung menyamakan dirinya dengan benda?

Anak bukan benda, anak adalah manusia, bukan untuk dimiliki, tapi untuk dirawat dan dibesarkan dengan baik oleh orangtuanya.


Baru saja ngaca dan refleksi lagi apa saya masih konsisten dengan yang saya tulis di sini, 

happy paren-think,




PS : Saya sedang gandrung drama Korea, namun tetap, dalam prakteknya, berusaha mengambil intisari cerita untuk saya refleksikan dengan peran saya sebagai istri, ibu, teman, anak, dsb. Semoga masih sempat menuliskan reflaksi lain nya, karena otak ini rasanya sudah penuh sekali dan sulit sekali meniatkan diri untuk membuka blog dan menulis.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...