October 27, 2022

Pengetahuan dan Akal Budi - KAMISAN 13 dan 27 Oktober 2022

Dikatakan bahwa pengetahuan datangnya dari karunia Allah (Charlotte Mason, vol.6, hlm.322), orang-orang Florentine pada masa itu percaya bahwa ada Tiga Kebajikan Injili (iman, pengharapan, dan kasih), juga ada Empat Kebajikan Utama (kesederhanaan, keadilan, hikmat, ketabahan) di bawahnya, serta kepercayaan akan roh Allah memiliki kuasa untuk mengajar, setiap ide bersumber dari Illahi.

Setuju atau tidak, namun ini beberapa manfaat saat kita percaya bahwa pengetahuan bersumber dari Illahi:

Yang pertama, ada ketenangan dan perasaan lega saat kita tahu bahwa pengetahuan dibagikan kepada kita sesuai dengan kesiapan kita.

Yang berikutnya adalah tidak ada lagi mengkotak-kotakan pengetahuan berdasarkan kesakralannya (sakral atau sekuler), seberapa besar pengetahuan itu (atau seberapa sepelenya pengetahuan itu), juga praktis dan teoritis - karena semua pengetahuan bersifat suci dan dibagikan sesuai kesiapan masing-masing individu untuk menerimanya. Semua pengetahuan penting, tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya karena pengetahuan itu sebuah kumpulan kesatuan yang besar (bukan potongan kecil-kecil) yang keseluruhannya indah mencangkup Allah, manusia, dan alam semesta.

pict. from here

Manfaat yang ketiga yaitu bahwa pengetahuan dan akal budi ibarat paru-paru dan udara - tanpa pengetahuan, akal budi tidak dapat bertumbuh, lemah, dan kemudian mati. Maka, kita butuh pengetahuan itu, orangtua tidak dapat memilihkan jenis pengetahuan tertentu saja yang boleh diterima akal budi anak, semua pengetahuan layak masuk sesuai porsinya.

Lalu apakah itu berarti pengetahuan tentang yang buruk juga perlu diberikan?

Manusia dianugrahi akal budi untuk menimbang, kita tidak dapat menghindarkan anak-anak dari hal-hal buruk, tapi bukan berarti hal tersebut harus diajarkan, alih-alih mengajarkan hal itu, orangtua dapat membantu anak untuk memiliki kemampuan berefleksi tentang hal baik/buruk itu.

Tidak boleh membatasi pengetahun bukan tentang menjadi asal-asalan "asal pengetahuan diberikan" tidak memilah mana yang baik dan buruk, tidak boleh membatasi maksudnya adalah anak-anak berhak menerima asupan pengetahuan yang baik sebanyak yang mereka mampu terima, contoh membatasi misalnya seperti ini, ada orangtua yang musisi kemudian mereka membatasi anak-anak mereka hanya boleh menerima pengetahuan tentang musik saja dengan mengesampingkan pengetahuan lainnya. 

Lalu apakah mungkin terjadi "over asupan pengetahuan"?

Tidak akan terjadi "over pengetahuan" itu karena pada dasarnya pengetahuan adalah sesuatu yang diserap, bukan ditimbun, dan akal budi akan menerima pengetahuan yang siap diterima.


Yah, begitulah, dibuat berpikir dan bertanya-tanya lagi oleh Ibu Charlotte Mason, terima kasih diskusinya kawan-kawan.... Happy Thursday,



August 11, 2022

Tuhan Tahu Isi Hatiku - Refleksi Kamisan, 11 Agustus 2022

Seandainya memutuskan sebuah perkara sesimpel memilih buku apa yang akan dibaca hari ini...
pict from here

tentang paragraf terakhir Charlotte Mason volume 6, halaman 320
--------------------------------------------------
Aku sering bergumul dalam hatiku
Benarkah ini, salahkah aku?
Pagi ini pun aku serasa dikuliti
Oleh sebaris paragraf yang kubaca

Aku takut melangkah
Aku takut jalanku salah
Aku takut pilihanku tak benar
Aku takut
Aku takut
Aku takut
Banyak takutku

Sering aku berpikir,
aku mau seperti ini
tapi kadang aku merasa ada tembok yang bernama realita berdiri kokoh di depanku

Aku tahu kalau manusia hidup tidak hanya dari roti saja
Aku tahu kalau manusia butuh spiritualitas di hidupnya
Tapi aku juga tahu bahwa untuk hidup aku butuh roti
apakah aku hidup untuk mencari roti saja?

Aku takut
Takut kalau kebutuhanku mencari roti saja membuatku lupa akan esensi jadi manusia
Aku takut

Tapi aku lega saat aku tahu bahwa manusia hanya dapat melihat perilaku tanpa tahu motivasi seseorang
Aku takut perilakuku salah
Tapi aku lega saat mendengar hanya manusia masing-masing yang dapat menilik motivasinya

Aku butuh roti,
tapi aku lega Tuhan tahu isi hatiku
Tuhan tahu motivasiku


Aku lega,




-------------------------------------------
note : aku selalu takut, apakah yg kukerjakan ini baik dsb, tapi lega saat mendengar c Lydia dalam diskusi bilang "ya orang kerja, dapat upah untuk hasil pekerjaannya kan", itu mengingatkanku lagi atas perkataan alm. papa yg kasih pesan di hari pertamaku bekerja "Jangan kerja karena uang, nikmati pekerjaannya, kalau kamu menikmatinya, dan pekerjaanmu serta skill mu bertambah, UANG AKAN MENGIKUTI dengan sendirinya."... dan dengan pernyataan mba Tiur bahwa kita bisa melihat perbuatan seseorang, tapi kita tidak bisa tau motivasinya selain orang itu sendiri, aku legaaaa....Thanks all, diskusinya melegakan.......

July 28, 2022

"Apa Untungnya Buatku?" - KAMISAN, 14 dan 28 Juli 2022

Dua minggu yang lalu, bahasan sains masih berlanjut. 
Namun, lebih sering kita mendapati sains itu dingin, tidak membuat kita terinspirasi; kegunaan dari temuan-temuan ilmiah tidak memantik keluhuran dalam diri kita, meskipun sangat memikat dan terasa mendesak godaannya bagi hasrat-hasrat rendahan kita. Namun yang salah bukanlah sains itu sendiri - secara religius, bisa kita bilang sains sebagai modus pewahyuan kebenaran yang dikaruniakan pada generasi kita? - melainkan cara kita mempresentasikan sains lewat fakta dan angka dan demonstrasi yang maknanya bagi audiens betul-betul sebatas pernyataan ilmiah itu saja, tanpa pernah mepertunjukkan keajaiban dan agungnya cakupan makna dari hukum alam yang disingkapkannya. ~Charlotte Mason, vol.6, hlm.318

Sains nya ga salah, gapapa loh belajar sains, tapi di sini Charlotte Mason menegaskan bahwa menjadi salah jika cara belajarnya hanya berfokus pada fakta, angka, dan demonstrasi saja tanpa menunjukkan keajaiban alam semesta karena sejatinya selain menjadi sebuah ilmu, sains itu sendiri disebut sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran hukum alam. Indah banget ya penggambaran bu Charlotte soal sains ini.

Hari ini, bahasan itu semakin diperdalam lagi.

bahwa kita semua ikut bersalah bahkan untuk pelanggaran yang dilakukan individu tertentu; dan sedikit banyak kita meyakini omongan itu karena para leluhur kita telah mengatakannya; demikianlah dulu para nabi merendahkan diri mereka di hadapan TUHAN, dan meratapi dosa bangsanya sebagai dosanya sendiri yang amat besar. Kita pun merunduk saat menerima hajaran, tapi sejatinya sikap kita masih kabur dan, dalam hal ini, tidak tulus. ~Charlotte Mason, vol.6, hlm.318-319

Kosong, disebutkan bahkan moment pertobatan sudah terasa jadi cuma rutinitas saja cuma tradisi - merunduk menerima hajaran tapi sikapnya tidak berubah karena tidak tulus.

Maka proses belajarpun juga diibaratkan serupa - cuma sebagai tradisi turun temurun diterima ilmunya, sudah cukup. Kehampaan melahirkan kehampaan, begitu tulis Charlotte Mason pada paragraf berikutnya, maka tradisi "kosong" seperti ini ya terus berlanjut dari generasi ke generasi. Manusia semakin lupa bahwa hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani saja (dalam bacaan disebut soal "roti"), tidak lagi menganggap penting nilai apapun kecuali uang, anak muda tak lagi punya visi, "selama ada uang di dalamnya" hayuklah kerjakan, apa itu renjana? Kalau tidak menghasilkan uang, buat apa.

selama ada uang di dalamnya! pict. from here

Semua hal dilihat dari materinya "Apa untungnya buat aku?", kalau tidak menguntungkan ya sudah buang jauh jauh hal itu. Rasanya miris saat membaca bagian berikutnya yang membahas soal serikat pedagang yang awalnya memiliki watak cara kerja yang fair, transaksi yang jujur dan setia pada perjanjian pun pada akhirnya luntur karena dominasi gilda dagang yang menganggap hal itu tidak berguna dan lenyap di dalam tong sampah (vol.6, hlm.320). Kemudian rasa miris itu berubah jadi refleksi diri. Teringat beberapa waktu yang lalu menonton drama Korea, ada satu episode saat si pengacara sadar bahwa klien yang ia bela ternyata salah dan hanya mengejar keuntungan pribadi. Walaupun kliennya kalah waktu itu, tapi dia merasa bersalah dengan lawan karena meskipun lawan menang, lawan mengalami kerugian lewat kasus hak cipta mesin ATM itu, padahal sebelumnya pihak lawan sempat berusaha mengajaknya bicara, bertanya apakah kamu nantinya hanya mau jadi pengacara yang sukses di lapangan atau pengacara yang mengungkap kebenaran. Dia sedih karena akhirnya dia "kalah" bukan dari segi materinya, tapi ia kalah karena tidak bisa memperjuangkan kebenaran itu.

Sebenarnya mau di sektor apapun yang namanya realita "butuh uang" itu pasti ada, tapi tinggal bagaimana kita melatih diri (dan anak) untuk menjadi tuan atas uang bukan sebaliknya. Segalanya butuh uang, tapi uang bukan segalanya. 

Ga gampang, tapi jika dijalani dengan benar sesuai prinsip-prinsip kebenaran, benturan realita dapat kita hadapi, SEMANGAT..


 

June 23, 2022

Renjana - KAMISAN, 23 Juni 2022

Sains berkata pada Sastra, “Aku tidak butuh kamu!” padahal sains adalah bintang pujaan di zaman kita. Semua materi pelajaran wajib dikuliti sampai ke tulang, sementara ruh kehidupan yang ada dalam dagingnya justru dibuang: dalam proses ini sejarah tersia-sia, puisi tak bisa lahir, agama sekarat; kita duduk menghadapi tulang-tulang garing pengetahuan ilmiah dan berkata: Inilah pengetahuan, semua pengetahuan yang dapat diketahui ada di sini. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.317

Sejak era saat Charlotte Mason hidup, rupanya pengelompokan jenis bidang study sudah terjadi. Kalau sekarang sastra dikesampingkan (fakultas diganti nama jadi Fakultas Ilmu Budaya alih alih Fakultas Sastra contohnya) di era Charlotte Mason pun demikian. 

Di luar sains, sulit mengukur kebenaran, sehingga banyak orang "mendewakan" sains. Sains nya tidak buruk, namun saat orang tidak memberi ruang untuk pengetahuan yang lain, maka nantinya akan ada "ekstrim kanan" dan "ekstrim kiri". 

Dalam diskusi, Bu Ellen memberi contoh Mendel-seorang biarawan yang juga "membuka" matanya untuk ilmu pengetahuan dengan menyusun konsep dasar genetika. Sedikit sekali orang yang saat sudah mendalami agama misalnya, terbuka juga untuk pengetahuan alam, vice versa. Yang terjadi kebanyakan justru "perebutan otoritas" mana yang benar, agama atau sains. 

Dalam tulisannya, Charlotte Mason mengibaratkan dengan "tulang-tulang garing pengetahuan", padahal jelas, tubuh yang hanya terdiri dari tulang tanpa ruh dan daging bukanlah tubuh yang hidup. Lalu apa ruh dan dagingnya? Yang tertulis "justru dibuang"?

“Aku pikir, ini luar biasa sekali,” tulis seorang anak perempuan di kertas ujian setelah berusaha menguraikan mengapa daun berwarna hijau. Anak ini telah mendapatkan ruhnya – kekaguman, rasa takjub – yang membuat sains itu hidup. Tanpa rasa takjub, nilai tertinggi seorang ilmuwan tidak lagi spiritual, melainkan utilitarian. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.317

Rasa takjub membuat sains itu hidup. Rasa takjub ini juga yang kebanyakan dianggap tidak penting dan dibuang. Utilitarian lebih mengedepankan prosedur dan teknis sehingga esensi dari pengetahuan itu sendiri terbuang. Rasa takjub akan memunculkan kesenangan belajar, kesenangan belajar akan memunculkan rasa "aku ternyata banyak tidak tahunya ya", dan perasaan itu akan tumbuh menjadi kerendah hatian. Tanpa rasa takjub, ego kita jadi besar.

Teringat perjalanan kami ke Jakarta minggu lalu, saat itu saya harus menghadiri rapat di hotel besar. Saat di toilet, Keona takjub akan sistem flush toilet itu - alih-alih menggunakan pencetan untuk flush, pengguna toilet hanya tinggal berdiri dan flush akan terjadi secara ototmatis. Bagi orang dewasa yang sudah terbiasa dengan kecanggihan teknologi saat ini, hal itu mungkin akan biasa saja. Tapi bagi Keona, itu menimbulkan ketakjubannya "Lohh, koq bisa ya ma?" dan "Dia tahu darimana kalau kita sudah selesai pakai lalu harus flush?". Kami menghabiskan waktu sedikit lebih lama di kamar mandi untuk menjawab rasa takjub Keona itu. 

"Ojo gumunan!" - begitu kata proverb Jawa terkenal yang dilontarkan mba Putri dalam diskusi. Menarik, karena sepintas rasanya pepatah itu kontras sekali dengan yang disampaikan Charlotte Mason dalam tulisannya. Tapi kalau saya boleh satukan, yang dimaksud dengan "ojo gumunan" itu adalah jika kita hanya nggumun saja, tanpa memaknai peristiwa nggumun atau takjub itu. Kalau Keona cuma takjub "wahhh bagus yaa ma!" dan stop sampai di situ saja itu yang dimaksud dengan "ojo gumunan!", lebiih dari itu, seharusnya ketakjuban akan memunculkan RENJANA atau hasrat untuk tahu lebih dalam apa dan mengapa hal itu terjadi.


pict. from here
Yang dilihat orang = anak mainan pasir
Yang dirasakan anak = belajar bermain hati-hati, pasir kalau kena mata sakit, belajar bentuk partikel pasir yang semakin digenggam semakin lepas, belajar memasukkan pasir pakai sekop, belajar bahwa tangannya dapat kotor kalau bermain pasir, dan masih banyak lagi belajar lainnya jika pendamping mau mendampingi proses belajarnya serta MEMAKNAI setiap kegiatannya.

Belajar tidak hanya sekedar memasukan ilmu itu ke dalam diri kita, tapi bagaimana kita dapat menikmati proses belajar itu menjadi sesuatu yang menyenangkan - RENJANA.

Ahhh, senang sekali rasanya hari ini lagi-lagi diingatkan oleh Charlotte Mason untuk terus berproses, setia pada proses karena nantinya hasil akan mengikuti proses tersebut. 

Thank you kawan diskusi CMers,



May 20, 2022

Nampan Perak - Narefleksi KAMISAN, 19 Mei 2022

Sikap dan nasib manusia dibentuk oleh pengetahuan, maka kita perlu paham apa saja yang disebut pengetahuan itu. Agar mudah dipahami orang awam, Matthew Arnold mengklasifikasikan pengetahuan menjadi tiga, yaitu pengetahuan tentang Tuhan, pengetahuan tentang manusia, dan pengetahuan tentang alam - atau istilah lainnya Ketuhanan, Humaniora, dan Sains.

picture from here

Namun menurut Charlotte Mason, walaupun bukan sebagai "menu utama", Sastra sama pentingnya, terutama untuk menyajikan ketiga pengetahuan tadi - diibaratkan bahwa jika ketiga pengetahuan tadi adalah menu utamanya, Sastra adalah nampan perak atau buli-buli pualam wadah minyak yang digunakan untuk meminyaki kaki Yesus. 

Namun, aku pikir kita bisa melangkah lebih jauh dan berpendapat bahwa Sastra, andai tidak bisa dibilang sebagai konten utama pengetahuan (seperti yang saya sampaikan sebelumnya), paling sedikit adalah wadah untuk menyajikan buli-buli pualam yang berisi minyak wangi (NB : seperti yang dipakai oleh perempuan yang meminyaki kaki Yesus).   ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.316

Dari sini saya jadi berpikir "Ohh, pantas saja, dalam proses belajarnya, anak-anak CM disarankan untuk menggunakan living book. Sama-sama terlihat indah (buku-buku twaddle dan living book) namun kualitas kedua wadah parfum ini berbeda".

Pertanyaan selanjutnya adalah kalau begitu apakah belajar menggunakan non living book menjadi sia-sia? Padahal ada subjek yang membutuhkan penjelasan presisi sepeti Matematika misalnya, apakah bahasa sastrawi perlu selalu dipakai untuk belajar ilmu pengetahuan itu? Karena seperti Matematika, tidak semua konsepnya bisa disajikan dengan Sastra, contoh lainnya adalah Ilmu Hukum misalnya, adakalanya ide yang disampaikan harus presisi agar tidak ada tafsir yang membuat salah paham.

Kapan atau apa indikatornya kita sebaiknya menggunakan bahasa sastrawi atau presisi? Apakah usia anak saat diberikan asupan sastrawi dan presisi akan mempengaruhi? Diberikan secara bertahap? Ataukah living book seperti "jembatan" yang dapat membantu kita memahami buku presisi "yang garing"?

Dari diskusi, saya menyimpulkan bahwa kecintaan anak pada ilmu pengetahuan lebih penting daripada memikirkan teknis "pakai buku apa". Karena, saat anak tertarik pada ilmu pengetahuan apapun, jika buku itu garing sekalipun akan tetap "dilahap". Jangan sampai yang teknis malah menjadi prinsip. 

Bertahap, efektif, dan efisien adalah tiga hal yang saya catat sebagai indikator teknis penggunaan buku dalam mendampingi anak belajar. Sebagai fasilitator anak belajar, kita punya kewajiban untuk memfasilitasi anak agar cinta pada pengetahuan itu sendiri, tidak terpaku pada teknisnya saja.


Terima kasih diskusinya,



March 31, 2022

Nalar, Nurani, dan Kehendak - narefleksi KAMISAN, 31 Maret 2022

Apa yang sudah kita kerjakan dalam mengupayakan pendidikan? Pada paragraf pertama bagian III ini, Charlotte Mason bertanya apakah benar bahwa karakter generasi saat ini adalah generasi dengan kurangnya rasa tanggung jawab padahal sistem pendidikan sudah dibentuk sedemikian rupa - pendidik disebutkan berusaha menggali, menyiangi, dan menyirami. 
Tapi tetap saja pohon dan buahnya bermasalah, apa yang salah?

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk "memeriksa" bagian mana yang salah sehingga buahnya tidak baik - orang yang mementingkan kepentingan pribadi, merusak properti orang lain, hingga memprovokasi orang lain. Padahal, mereka yang disebut "buah yang tidak baik" ini adalah mereka dengan gelar sarjana, mahir menulis dan berorasi, berpikir logis hingga memiliki aneka ketrampilan. 

Kita tidak perlu mendetilkan apa saja pasangan untuk tiap ciptaan, tapi tampaknya memang nalar yang kaku, saat mencoba mencari kebenaran akan suatu isu, cenderung selalu dikawani oleh pemberontakan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 314

 Memang benar bahwa anak (bahkan diri kita sendiripun) perlu melatih nalar - memberi kebiasaan baik untuk berpikir logis. Tapi kemudian nalar ini bisa jadi sangat berbahaya apalagi jika kita melakukan sesuatu yang tidak benar lalu melakukan pembenaran diri atas dasar nalar.

Berpikir logis tidak melulu tentang menghasilkan simpulan yang mutlak benar. Nalar seharusnya menjadi pelayan, bukan tuan, sehingga nalar tidak berakhir sebagai pembenaran atas apa yang diingini kehendak ingin yakini.

Saya tiba-tiba teringat akan fenomena "kaum pelangi" yang sering saya dapati di media sosial belakangan ini. Saat melihat konten tentang "kaum pelangi" ini, saya tertarik untuk memperhatikan kolom komen, memperhatikan pandangan orang mengenai "kaum pelangi" ini. Banyak sekali komen menghakimi seperti "Tuhan menciptakan hanya laki-laki dan perempuan, kamu apa?", atau saat berita Dorce tutup usia, alih alih melihat komen turut berduka cita, saya malah banyak mendapati komen sejenis "dia dikubur jenis kelaminnya apa tuh?". Yang berkomentar sudah pasti sekolah (lha wong bisa ketik komen), punya pengetahuan (sudah pasti-lha wong bisa menyebutkan basis dasar yang ia yakini benar), terus apa yang kurang?

Nurani. Rasanya saat nalar berjalan sendiri tanpa diiringi nurani, sia-sia saja pengetahuan. Saat membuat komen pada konten-konten tentang "kaum pelangi", jika nalar berjalan berdampingan dengan nurani, maka ketika menemukan hal yang tidak sesuai dengan prinsip sekalipun, kita akan tetap dapat menghargai orang lain sebagai SESAMA MANUSIA.

pict from here

nalar manusia akan berupaya membenarkan dengan segala macam bukti untuk setiap gagasan yang telah dia putuskan untuk pertahankan. Kita tak bisa membebaskan diri dari kecenderungan ini, tak ada jalan pintas mengatasinya. Seni butuh waktu panjang, terutama menguasai seni hidup.~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 314

Bagian akhir dari bacaan hari ini jadi penutup diskusi bulan Maret ini. Kita tidak bisa lepas dari kecenderungan untuk melakukan "pembenaran diri" ini, butuh waktu panjang untuk mendidik nurani dan melatih nalar agar keduanya dapat menjadi pelayan yang baik bagi tuannya yaitu kehendak.

Perih setelah dikuliti bu Charlotte Mason hari ini,



February 11, 2022

Menjadi R̶a̶t̶a̶ ̶-̶ ̶R̶a̶t̶a̶Bagian Dari Sistem (Sebuah Refleksi - KAMISAN, 10 Februari 2022)

Sebagian orang memang cocok menjadi akademisi, sesuai dengan kapasitas kepala mereka. Kita yang lain senang melihat kecemerlangan itu, tapi tidak perlu iri hati, sebab menjadi akademisi bukanlah prestasi tertinggi dalam hidup ini, dan tidak menjamin seseorang tergugah pikirannya oleh pengetahuan dan perjumpaan dengan ide hidup. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 310

Seringkali saat melewati beberapa ruas jalan, ada banyak baliho iklan sekolah-sekolah apalagi jika dekat-dekat tahun ajaran baru. Isinya hampir sama walau beda kalimat, yaitu mempromosikan bagaimana sekolah tersebut akan mencetak generasi-generasi unggul di masa depan. Iklan-iklan tadi membawa saya pada kenangan saat masih memberi les privat untuk beberapa murid - "miss, tolong ya miss, masa dia nilainya tujuh, temannya yang lain ada yang delapan." dan "ini badannya agak hangat miss, tapi gapapa tetap les aja, biar ga ketinggalan pelajaran.". Jadi ya begitulah isi di dalamnya, anak mendapat tuntutan untuk menjadi yang terbaik seakan memiliki nilai 100 adalah prestasi tertinggi dalam hidup.  

Bahkan kisah pasaran, pentas wayang, atau bunga pinggir jalan sudah bisa memantik semangat belajar mereka, kita tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Kita pikirkan dulu anak dari kelompok rata-rata. Anak rata-rata ini juga butuh belajar Bahasa Yunani dan Latin, tapi ada jalan lebih mudah untuk itu. Gadis-gadis kecil di surat yang tadi aku kutip sudah mendapatkan poinnya. Ada seorang anak perempuan, murid kesayangan Vittorino, yang bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Latin dengan "kemurnian menakjubkan" pada usia 12 tahun, karena dia telah belajar sejak masih lebih kecil lagi - kita yakin dia bukan produk sekolahan elit. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 310-311

Lalu bagaimana dengan anak dari kelompok rata-rata? Dalam diskusi Kamis kemarin,  saya terpikirkan "apa indikator anak disebut rata-rata?", teringat bagaimana para orangtua membandingkan anaknya dengan anak lain, melabeli yang tidak unggul dengan rata-rata, serta menggunakan nilai untuk mengukur. Saya bersyukur bertemu dengan banyak teman seperjalanan yang meyakini bahwa semestinya membandingkan anak adalah dengan diri anak itu sendiri (lihat pada progressnya) bukan dengan teman sebayanya, karena kita tahu bahwa anak adalah pribadi yang utuh yang masih-masing memiliki fitrahnya sendiri. 

Yang menarik adalah saat ada "celetukan" dari ci Indri "kalau kita selalu ingin jadi yang terbaik, ga akan ada habisnya karena bila di satu tempat kita menjadi yang terbaik, lalu pindah ketempat lain, pasti ada yang lebih baik kan?". Mau sampai kapan jika tolak ukur menjadi pribadi terbaik adalah orang lain dan bukan diri sendiri dan semangat belajar diri sendiri?

Kita tahu mereka dinikahkan di usia dini, tapi mereka sudah tahu banyak tentang karya-karya klasik (meski tidak membacanya utuh), mereka bisa bercakap dalam dua tiga bahasa modern, bisa merawat orang terluka, merawat orang sakit, membuat obat-obatan herbal, memanajemen rumah tangga dengan banyak pelayan, menunggang kuda, bahkan menangkap buruan! Mereka juga bisa menjahit dan merenda dengan pola yang rumit. ~Charlotte Mason, vol.6, hlm. 311

Bagian ini mengingatkan saya pada satu bahasan di buku CYB halaman 162. Di situ saya memberi tanda pada skill yang saya belum dan sudah saya kuasai. Dulu, sewaktu membaca list itu, saya tertawa dan berpikir, semestinya list ini kalau dibuat pribadi masih bisa lebih panjang lagi karena ternyata banyak skill dasar yang saya sendiri belum kuasai - apakah anak yang termasuk "di atas rata-rata" sudah menguasai skill itu? 

Kalau semua orang menjadi dokter, lalu siapa yang menjadi petani menghasilkan bahan pangan yang dibutuhkan manusia? Kalau semua orang pintar memasak dan jadi chef, lalu siapa yang menerbangkan pesawat terbang. Rasanya saat konsep "children are born persons" sungguh dihidupi tiap orangtua, orangtua akan sanggup menerima bahwa semua jenis pekerjaan adalah baik. Seorang teman yang tinggal di Jerman bercerita pada saya bahwa anak - anak Jerman misalnya yang bercita-cita menjadi supir truk sampah saja tetap akan didukung cita-citanya, karena orangtua tahu bahwa tanpa supir truk sampah, sampah-sampah mereka tidak akan terkelola dengan baik. Semua pekerjaan baik dan saat anak dapat mengambil bagian dalam sistem kemasyarakatan dan menjadi berguna sesungguhnya itu adalah prestasi tertinggi tanpa harus menjadi unggul dari yang lainnya. 

picture from here
sekali-sekali ya pakai ilustrasi gambar hewan buat gambarin ilustrasi
orangtua adalah support system anak

Kalau sudah sadar sepenuhnya tentang konsep "children are born persons", pertanyaan berikutnya adalah, siapkah orangtua (saya) mendukung apapun cita-cita anak kelak?



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...