February 25, 2021

Buku yang Menyatukan Kita - KAMISAN 25.02.2021

"Mau kemana, Glo?"
"Perpus, ikut?"
"Mau, sekalian bahas tugas yok."
"Buku apa yang kita bahas nanti?"
"Drama apa yang mau untuk presentasi?"
...

Kamu suka genre gothic
Aku suka genre romantis
Kamu mendengarkanku bercerita kisah manis karya Shakespeare
Aku mencatat hal menarik dari ceritamu tentang Mary Shelley dan Frankenstein-nya
Kamu dan intepretasimu tentang kehidupan
Aku dan intepretasiku tentang perjuangan

Kita menghabiskan waktu mengobrol tentang banyak hal dari buku yang kita baca bersama
Kamu bilang Frankenstein kasihan,
aku justru kasihan dengan penulisnya dan latar belakang kehidupannya

Wah ternyata ada perbedaan dari intrepetasi kita tentang buku yang sama-sama kita baca untuk tugas kuliah waktu itu ya,
kukira kamu akan satu pemikiran denganku,
kamupun mengira aku akan sepemikiran,
tapi ternyata intepretasi kita berbeda, padahal bukunya sama
dan karena berbeda interpretasi itu maka presentasi tugas kita jadi hidup, kaya akan ide
Kamu dapat nilai A,
Aku juga

Lalu kita seakan ketagihan,
menghabiskan waktu menunggu jam jam kuliah berikutnya di kamar kos mu untuk membaca buku bergantian,
atau duduk di perpustakaan dengan setumpuk buku yang akan dibaca.
Begitu hingga akhirnya kita dapat menyelesaikan 4 tahun bersama.

"Sudah baca Charles Dickens, Glo?"
"Sudah, aku baru beli bukunya kemarin."

Aku bersyukur minatku akan buku meningkat,

Terima kasih, kawan.

julukan dosen waktu itu untuk kami bertiga adalah "trio mini". Diskusi hari ini mengingatkan saat-saat mengerjakan tugas kuliah bersama, satu buku namun kaya ide menjadikan presentasi kami menjadi kaya.

teman-teman seangkatan literatur dulu, sesaat sebelum presentasi - sampai sekarangpun masih in touch khususnya kalau membahas buku, drama, dan karya sastra lain.

Friendship is born at that moment when one person says to another:
"What! You too? I thought I was the only one." ~ C.S. Lewis

Dulu, saya kira saya satu-satunya kutu buku aneh yang suka nongkrong berlama-lama di toko buku, ternyata karena buku dan karya sastra, saya justru punya kawan sesama pecinta buku, hehehehe. Setiap mengobrol selalu isinya "bedah buku", sampai selalu kalimat kami "bedah aja sekalian semuanya, bedah, bedah!".

Jadi kangen masa memburu buku baru, naik bis dari kampus ke mall cuma buat beli buku, dan nongkrong berlama-lama di perpustakaan,


February 18, 2021

I Know that I Know Nothing - KAMISAN 18.02.2021

Diskusi panjang hari ini dipersembahkan oleh bacaan satu paragraf - yang karenanya sayapun jadi ikut-ikutan mikir panjang.

tujuannya untuk membekalkan pengetahuan yang relatif mendalam untuk dua tiga bidang saja supaya siswa lulus sebagai manusia Inggris yang beres; dengan kata lain, guru memandang sekolah sebagai tempat mengasuh dan membentuk watak (warga negara) alih-alih sebagai tempat memperoleh pengetahuan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.264

Awalnya saat membaca bagian akhir bacaan ini, saya teringat kutipan yang dibagikan oleh bu Ellen beberapa waktu yang lalu, isinya demikian :

If children started school at six months old and their teachers gave them walking lessons, within a single generation people would come to believe that humans couldn't learn to walk without going to school. ~Geoff Graham

Saya yang dulu  (dan mungkin banyak orangtua) selalu beranggapan bahwa anak butuh sekolah - saya teringat bagaimana saya membuat sesi pelajaran dulu semasa menjadi guru seperti stimulus motorik kasar kepada anak di bawah dua tahun seakan hal tersebut adalah sesuatu yang memang dilakukan di sekolah - tidak bisa dilakukan di rumah. Saat diskusi, saya merenung betapa menyedihkannya diri saya karena tanpa sadar membuat orangtua berpikir bahwa "untuk belajar seperti berjalan saja harus memasrahkan anak ke sekolah." - juga tanpa sadar mengintimidasi salah satu orangtua dengan berkata "kalau bapak dapat menstimulus anak bapak sesuai dengan capaian usianya secara mandiri di rumah, ya silahkan, tandanya bapak tidak perlu menyekolahkan anak bapak terlalu dini, namun kalau bapak merasa bapak tidak dapat memberi stimulus yang sesuai dengan usia anak bapak, ya saran saya disekolahkan saja." saat ditanya "kenapa saya harus menyekolahkan anak saya sejak dini?"

picture from here

Diskusi berlanjut dengan pendapat dan beberapa pertanyaan yang dilontarkan teman-teman CMers Semarang. Saya mencatat beberapa point penting sebagai simpulan dari diskusi tadi, yaitu :

1. Mendengar 

Jika dalam diskusi minggu lalu "mendengar" diperlukan sebagai skill dalam menjalin komunikasi, dalam diskusi kali ini, mendengar diperlukan untuk menemukan blind spot yang seringkali tidak kita lihat terutama dalam menjalani proses belajar - dan untuk itu diperlukan kerendahhatian untuk mau mendengar kritik, saran, atau pendapat orang lain yang bisa saja tidak terpikirkan oleh kita karena tidak tampak di mata kita - blind spot

2. Tidak ekstrim kanan kiri

Dalam mempelajari banyak hal, terkadang kita menemukan sesuatu yang kita anggap benar kemudian meyakininya dengan keyakinan kuat bahwa hal tersebut sudah yang paling benar. Saat itu terjadi, biasanya kita akan menjadi abai pada sisi yang tidak kita yakini kebenarannya tersebut. Sengaja saya mengambil ilustrasi gambar langit dilihat dari dua jendela di atas. Dari jendela satu dengan jendela yang lainnya, langit tampak berbeda, padahal langit yang dilihat hanya satu - tapi tampak berbeda jika dilihat menggunakan perspektif ekstrim kanan maupun kiri. Kesimpulan yang saya catat dari diskusi tadi adalah bukan untuk menjadi seseorang yang berada di tengah tanpa menjadi ekstrim kanan atau kiri, namun ada yang namanya kebenaran yang utuh - tidak ekstrim kanan kiri, kebenaran yang melingkupi segala sesuatu, semua ada sesuai pada porsinya bukan untuk saling menutupi satu sama lain - karena pemilik kebenaran ini sendiri adalah Tuhan. 

"The only thing that I know is I know nothing." ~ Socrates

Saya menutup refleksi dan perenungan saya siang ini dengan sebuah kalimat dari Socrates yang tadi juga sempat diucapkan Bu Ellen. Dengan rendah hati menyadari bahwa kita tidak tahu apa-apa, bahkan dibandingkan dengan kebesaran Tuhan, maka semoga proses belajar tetap menjadi proses yang menggairahkan untuk terus dilakukan. 


Selamat Hari Kamis,



February 11, 2021

Dua Telinga Satu Mulut - KAMISAN 11.02.202

Kita semua pernah memiliki pengalaman seperti itu, dan dengan malu mengakui bahwa kita juga pernah membuat orang lain kesulitan karena tak berhasil-berhasil menemukan topik yang menarik minat kita. Ini satu persoalan yang mesti guru pertimbangkan. Ada ribuan topik yang bisa kita pelajari secara memadai sampai bisa membicarakannya secara cerdas; tapi kok kita malah menyiapkan kertas ujian dengan pertanyaan komprehensif yang umum, sehingga yang para siswa kita cari sebatas informasi sepotong-sepotong supaya bisa menuliskan jawaban esai yang ala kadarnya? ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.261

Sampai sebelum diskusi, saya meyakini bahwa mudah saja bagi seseorang dengan karakter ekstrovert untuk memulai sebuah pembicaraan - jauh lebih baik daripada orang - orang dengan karakter introvert. Namun, dalam bahan bacaan diskusi kali ini, Charlotte Mason menegaskan sekali lagi pentingnya pengetahuan dalam kehidupan sosial kita - jelas sudah mengapa memberikan pertanyaan komprehensif (yang minggu lalu dibahas), menjadi kurang relevan dalam membangun kemampuan anak seperti kemampuan sosialnya. Saya membayangkan percakapan orang yang terbiasa menjawab soal komprehensif seperti ini :

A : "wah, kamu kerja dimana?"

B : "di kantor bla bla..., kalo kamu?"

A : " aku di bla bla bla."

Lalu saat A dan B sama sama hanya memiliki kemampuan komprehensif, maka pembicaraan hanya sebatas tanya jawab saja, tanpa relasi mendalam (apalagi jika tujuannya mengobrol adalah untuk bonding, maka bonding tersebut tidak akan terjadi - terbayang dalam benak saya kalau Keona kelak pacaran dan hanya punya kemampuan komprehensi, ya kira-kira percakapan dengan pacarnya hanya seputar tanya jawab "uda makan belom?" :D - membagongkan kalau istilah anak muda jaman sekarang).

picture from here

Belum cukup di situ, saat diskusi saya juga mencatat skill penting yang sama pentingnya selain pengetahuan itu. Sepanjang diskusi hari ini, saya merenungkan tentang mengapa Tuhan menciptakan lebih banyak telinga daripada mulut - terutama saat saya "curhat" tentang kesulitan saya menjalin komunikasi dengan orang yang memiliki interest  yang berbeda dari saya. Saya cenderung menghindari obrolan yang "menurut saya" hanya bersifat "ngomongin orang" - lebih baik tidak ikut-ikut lah. Namun diskusi tadi mencerahkan :)). Dalam sebuah obrolan, penting bagi kita menentukan tujuan obrolan tersebut, maka jika tujuannya adalah untuk menjalin relasi yang baik, tidak ada salahnya jika kita tetap memberikan telinga untuk mendengarkan meskipun obrolan tersebut terasa tidak nyaman. Di situ saya merenung "oh iya bener ding, makanya Tuhan kasih 2 telinga satu mulut karena supaya manusia bisa lebih banyak mendengarkan daripada bicara - hal yang kadang orang-orang ekstrovert macam saya lupakan saat mengobrol dengan orang lain. 

Maka, menyeimbangkan seluruh organ saat mengobrolpun juga bisa menjadi hal yang esensial.

Jangan hanya mau didengar, tapi coba mendengarkan.


lagi-lagi tertampar, tertohok, dan tertusuk, terima kasih diskusinya kawan-kawan



February 04, 2021

Tidak Merendahkan Anak (part 2) - KAMISAN 04.02.202

Asalkan bukunya berkualitas sastrawi dan tepat untuk usianya, anak-anak akan tahu cara mencernanya tanpa harus dijelas-jelaskan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 260

Seakan menegaskan sekali lagi, pada bagian inipun Charlotte Mason mengingatkan bahwa ceramah tidaklah diperlukan untuk anak - asal sudah "disuguhi" buku berkualitas sastrawi cukup.

Tentu saja mereka tidak akan bisa menjawab pertanyaan komprehensi, karena pertanyaan seperti itu adalah bentuk sikap meremehkan yang semua kita benci, tapi mereka akan bisa menceritakan padamu semua isi buku itu dengan sedikit sentuhan pribadi individual dalam narasi mereka.  ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 260

Kemudian kalimat berikutnya seakan menampar saya. Komprehensi - sebuah kegiatan yang selama ini selalu saya lakukan dengan tujuan "tahu sampai dimana pemahaman anak" - ahhh dan ternyata itu salah, itu merendahkan anak. Diskusi tadi siangpun membawa pada ingatan semasa masih sekolah, saat stereotype "hafalan" menempel pada subjek-subjek ilmu sosial seperti Sejarah misalnya. Setelah dipikir-pikir, stereotype itu ada karena soal ujian yang kebanyakan bersifat komprehensi itu - maka siswa merasa terbeban merasa "harus menghafal". Tertawa dalam hati saya berpikir "pantas saja, saya dulu anak IPS tapi tidak suka menghafal dan pelajaran yang terasa seperti menghafal - ternyata penyebabnya adalah soal-soal komprehensi itu yang membuat saya merasa terbeban - yang justru malah saya teruskan ke siswa maupun Keona sampai kemarin. Di akhir narasinya, saya masih sering "bertanya" mengenai bacaan - untung hari ini tertegur. Semoga belum terlambat bagi saya mengubah kebiasaan komprehensi ini, karena kalau dipikir-pikir, dampak jangka panjang yang saya alami sangat buruk. Dulu, saat SD-SMP, saya dapat menghabiskan novel-novel tebal hanya dalam 2-3 hari, namun sejak SMA saya butuh lebih dari seminggu bahkan untuk buku yang tipis saja, dan belum lama, saat membaca Pendidikan Yang Memiskinkan tulisan Pak Darmaningtyas saja saya butuh 4 hari untuk satu bab karena terbiasa membaca dengan beban "menghafalkan" saya jadi lambat karena melihat angka-angka tahun serasa baca buku pelajaran Sejarah dan mau ulangan - hahahaha.... 

Biarkan anak itu membaca dan menjadi tahu, dalam arti, kalau diminta dia bisa menceritakan kembali yang dia telah baca.  ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 261

Jadi, kalau efek jangka panjang yang saya alami sudah seburuk itu, saya tidak bisa membiarkan efek yang sama "merasa bersalah kalau tidak hafal" membebani Keona kelak. Sayapun harus berlatih menahan diri untuk tidak memberi pertanyaan yang bersifat komprehensi mengenai bacaan. Maka kemudian muncul pertanyaan, "kemampuan dasar apa yang perlu dimiliki fasilitator dalam mendampingi anak membaca?" - untuk saya saat ini, hal yang perlu saya latih adalah kemampuan menahan diri bertanya komprehensi tentang bacaan, skill dasar yang kalau saya luput, efek jangka panjangnya besar.

picture from here


Perlakukan anak-anak dengan metode ini, akal budi bertemu akal budi; bukan akal budi guru bertemu akal budi anak,–– itu malah berarti mendesakkan pengaruh yang tak semestinya, melainkan akal budi dari para pemikirlah yang harus bertemu dengan si anak, akal budi bertemu akal budi, lewat buku-buku mereka, sementara guru menjalankan peran elegan memperkenalkan akal budi antusias pengarang di satu pihak dengan akal budi antusias anak di pihak lain.  ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 261

Kutipan di atas jadi kesimpulan refleksi saya sore ini - tidak merendahkan kemampuan anak dengan memberi pertanyaan yang bersifat komprehensi dan juga membiarkan anak bertemu guru yang sesungguhnya yaitu si pengarang buku.



 

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...