February 04, 2021

Tidak Merendahkan Anak (part 2) - KAMISAN 04.02.202

Asalkan bukunya berkualitas sastrawi dan tepat untuk usianya, anak-anak akan tahu cara mencernanya tanpa harus dijelas-jelaskan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 260

Seakan menegaskan sekali lagi, pada bagian inipun Charlotte Mason mengingatkan bahwa ceramah tidaklah diperlukan untuk anak - asal sudah "disuguhi" buku berkualitas sastrawi cukup.

Tentu saja mereka tidak akan bisa menjawab pertanyaan komprehensi, karena pertanyaan seperti itu adalah bentuk sikap meremehkan yang semua kita benci, tapi mereka akan bisa menceritakan padamu semua isi buku itu dengan sedikit sentuhan pribadi individual dalam narasi mereka.  ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 260

Kemudian kalimat berikutnya seakan menampar saya. Komprehensi - sebuah kegiatan yang selama ini selalu saya lakukan dengan tujuan "tahu sampai dimana pemahaman anak" - ahhh dan ternyata itu salah, itu merendahkan anak. Diskusi tadi siangpun membawa pada ingatan semasa masih sekolah, saat stereotype "hafalan" menempel pada subjek-subjek ilmu sosial seperti Sejarah misalnya. Setelah dipikir-pikir, stereotype itu ada karena soal ujian yang kebanyakan bersifat komprehensi itu - maka siswa merasa terbeban merasa "harus menghafal". Tertawa dalam hati saya berpikir "pantas saja, saya dulu anak IPS tapi tidak suka menghafal dan pelajaran yang terasa seperti menghafal - ternyata penyebabnya adalah soal-soal komprehensi itu yang membuat saya merasa terbeban - yang justru malah saya teruskan ke siswa maupun Keona sampai kemarin. Di akhir narasinya, saya masih sering "bertanya" mengenai bacaan - untung hari ini tertegur. Semoga belum terlambat bagi saya mengubah kebiasaan komprehensi ini, karena kalau dipikir-pikir, dampak jangka panjang yang saya alami sangat buruk. Dulu, saat SD-SMP, saya dapat menghabiskan novel-novel tebal hanya dalam 2-3 hari, namun sejak SMA saya butuh lebih dari seminggu bahkan untuk buku yang tipis saja, dan belum lama, saat membaca Pendidikan Yang Memiskinkan tulisan Pak Darmaningtyas saja saya butuh 4 hari untuk satu bab karena terbiasa membaca dengan beban "menghafalkan" saya jadi lambat karena melihat angka-angka tahun serasa baca buku pelajaran Sejarah dan mau ulangan - hahahaha.... 

Biarkan anak itu membaca dan menjadi tahu, dalam arti, kalau diminta dia bisa menceritakan kembali yang dia telah baca.  ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 261

Jadi, kalau efek jangka panjang yang saya alami sudah seburuk itu, saya tidak bisa membiarkan efek yang sama "merasa bersalah kalau tidak hafal" membebani Keona kelak. Sayapun harus berlatih menahan diri untuk tidak memberi pertanyaan yang bersifat komprehensi mengenai bacaan. Maka kemudian muncul pertanyaan, "kemampuan dasar apa yang perlu dimiliki fasilitator dalam mendampingi anak membaca?" - untuk saya saat ini, hal yang perlu saya latih adalah kemampuan menahan diri bertanya komprehensi tentang bacaan, skill dasar yang kalau saya luput, efek jangka panjangnya besar.

picture from here


Perlakukan anak-anak dengan metode ini, akal budi bertemu akal budi; bukan akal budi guru bertemu akal budi anak,–– itu malah berarti mendesakkan pengaruh yang tak semestinya, melainkan akal budi dari para pemikirlah yang harus bertemu dengan si anak, akal budi bertemu akal budi, lewat buku-buku mereka, sementara guru menjalankan peran elegan memperkenalkan akal budi antusias pengarang di satu pihak dengan akal budi antusias anak di pihak lain.  ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 261

Kutipan di atas jadi kesimpulan refleksi saya sore ini - tidak merendahkan kemampuan anak dengan memberi pertanyaan yang bersifat komprehensi dan juga membiarkan anak bertemu guru yang sesungguhnya yaitu si pengarang buku.



 

No comments:

Post a Comment

your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...