September 24, 2020

Penerapan Teori (part 2) - KAMISAN 24.09.2020

"Kita tidak menyadari bahwa dalam kodrat perannya seorang guru punya peluang menjadi jurubicara Sang Ilahi untuk mendidik dan menggugah." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.237

Pada narasi diskusi minggu sebelumnya saya sempat menulis tentang guru yang merasa tidak maksimal dan murid yang merasa kelelahan. Kali ini pun topik tersebut masih berlanjut, ditulis oleh Charlotte Mason bahwa tugas - tugas sekolah akan menjadi siksaan bagi siswa saat terjadi konflik antar kehendak guru dan murid. Sebagai pendidik, tanpa sadar kita meremehkan anak menganggap mereka bukan pribadi utuh - "sekolah yang pinter ya nak, biar jadi orang" - ungkapan itu sering sekali diucapkan oleh orangtua dulu (mungkin sekarangpun masih ada orangtua yang seperti itu) saat mengantar anaknya ke sekolah. Padahal, anak-anak punya potensi menjadi baik dan buruk karena mereka sebenarnya adalah pribadi yang utuh. 

Jogja 2018

 "...bahwa dia bersukacita dan berdukacita dengan intensitas yang tidak lagi kita rasakan, bahwa dia mencintai dengan sepenuh hati dan percaya yang – sayangnya – kita tidak balas, .." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.238

Saya menangis saat membaca bagian ini, teringat sebuah frasa dalam Bahasa Korea 내가 닿을 수없는 곳  yang artinya dalam Bahasa Inggris "Your place where I cannot reach" salah satu judul episode sebuah drama Korea yang pernah saya tonton beberapa bulan yang lalu. Dalam cerita tersebut, ada seorang ibu yang meninggal setelah melahirkan, lalu ada ibu sambung yang menggantikan tempat ibu tersebut. Masing-masing saling menyesali posisi tempat mereka, ibu yang tidak sempat merasakan jadi ibu dan harus bergentayangan menjadi hantu padahal ia ingin sekali merasakan mendekap putrinya, dan ibu sambung yang merasa tidak dapat menggantikan ibu kandung sebesar apapun usahanya. Saat menjadi orangtua dan pendidik anak, hal terpenting menurut saya yang harus disadari dan diyakini adalah bahwa menjadi orangtua merupakan priviledge atau hak istimewa yang diberikan Tuhan. Tidak semua pasangan diberkati dengan keistimewaan untuk memiliki tempat menjadi orangtua dan tidak semua perempuan diberi berkat kesempatan untuk hamil dan melahirkan. Saat sudah menjadi ibu dan melewati waktu mengurus anak, acapkali kita lupa akan priviledge  tersebut dan memperlakukan anak semau kita - mematikan potensi manusia utuh pada diri mereka, contohnya saat dengan mudah kita mengatakan "jangan!" saat anak baru hendak mencoba hal yang ia ingin tahui. Saya pun masih dalam proses memperbaiki diri kadang masih terlupa keceplosan bilang "jangan!". Bersyukur sekarang sudah jauh berkurang. Agar dapat menjaga agar sifat mematikan potensi anak terus berkurang dan hilang sepenuhnya, peran menjadi pendidik juga baiknya tidak terbeban dengan berapa banyak dosis pengetahuan seperti apoteker mengukur dosis obat. Ilmu tidak akan ada habisnya sehingga cara pandang terhadap ilmu yang tidak ada habisnya ini jika dipikul sebagai beban akan semakin membuat orangtua terbeban dan anak kelelahan. Beban tersebut dapat datang dari mana saja, dari diri pendidik juga dari pihak luar, yang sering terjadi adalah saat orangtua membanding-bandingkan anak masing-masing, sehingga saat anaknya belum bisa melakukan apa yang anak lain sudah dapat lakukan maka terbebanlah orangtua tersebut. Membandingkan anak dengan anak yang lain juga merupakan bentuk tidak respek orangtua terhadap anak. Jika ingin membandingkan anak, orangtua dapat membandingkannya dengan anak di waktu sebelumnya sebagai evaluasi dari perkembangan anak, bukan dengan anak lain. 

"Oleh karena itu, pengajaran, ceramah panjang lebar, seberapa pun brilian atau menawannya, tidak akan berdampak apa-apa sampai kegiatan mental internal pendengarnya dibangunkan; dengan kata lain, pendidikan mandiri (self-education) adalah satu-satunya pendidikan yang mungkin terjadi; ..." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.240

 Saya setuju dengan bagian ini karena mengalaminya secara langsung. Saat remaja, mendengar pendeta yang kothbah di atas mimbar, rasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, atau kalau bisa kothbah tersebut dipakai untuk menunjuk orang lain "nih, kothbahnya pas buat kamu!". Sekarang, banyak sekali waktu saya pakai untuk berefleksi, mendengar kothbah, menyetrika, mencuci, dan juga dalam diskusi bersama kawan-kawan CMid Semarang. Kemampuan untuk menilik hati, merenungkan serta menghubung-hubungkan pikiran dalam benak ini sedang saya usahakan dapat pula dimiliki Keona, karena pendidikan bukan sekedar kemampuan intelektual namun juga spiritual.


Semoga keistimewaan menjadi juru bicara Ilahi ini dapat dilakukan semua orangtua (terlebih saya dan suami),




September 23, 2020

Penerapan Teori - KAMISAN 17.09.2020

"... pendidikan untuk semua (liberal education) adalah hak alamiah setiap anak, sama seperti keadilan, kebebasan beragama, kebebasan politik, atau udara segar." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.235

 Pendidikan sejatinya adalah hak untuk semua sama halnya dengan agama dan politik, itu yang saya tangkap dari bacaan diskusi beberapa hari yang lalu. Namun, pada prakteknya, pendidikan masih hanya milik segelintir golongan dan tak dapat dinikmati golongan lain. Membaca buku-buku sastrawi dengan penuh sukacita dan mudah merupakan cara yang baik untuk memasukkan semua mata pelajaran.

picture from here

"Kapan hari saya mendengar tentang seorang pria yang hidupnya berubah total gara-gara satu kalimat puitis inspiratif yang dia dengar semasa sekolah. " ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.236

Bahkan sebuah kalimat puitis dapat merubah hidup seseorang. Maka jelas sekali peran buku-buku sastrawi tadi. Kegiatan membaca tidak akan menyenangkan jika buku yang dibaca pun tidak memiliki daya tarik pembaca, seperti halnya sebuah harta karun, maka Charlotte Mason pun menuliskan bahwa membaca akan menjadi kegiatan yang membawa sukacita. Berbanding terbalik dengan yang dialami kebanyakan anak saat ini. Baru saja, saya berdiskusi dengan seorang sahabat mengenai pelajaran Sejarah dan hobi kami menonton Drama Korea. Kami selalu memilih drama yang akan kami tonton (tidak semua harus ditonton kan!), tentu saja pilihannya mulai dari aktor yang memainkan peran utama, hingga alur cerita. Minggu ini, kami mengulang drama berjudul "Mr Sunshine", sebuah fiksi namun berlatar belakang kisah sejarah Korea di masa Joseon. Biasanya setiap selesai menonton, kami berdiskusi mengenai merchandise atau alur cerita. Kemarin, kami membahas tentang "bagaimana jika pelajaran Sejarah saat kami sekolah dulu disajikan semenarik saat menonton drama, atau paling tidak, adakah novel terkait yang dapat dibaca dengan sukacita", karena ternyata saya tidak mengingat sama sekali bacaan buku Sejarah yang pernah saya baca sebelum ulangan dulu, ingat hanya untuk ulangan saja, mengerikan bukan? Dan rasanya fenomena "membaca hanya untuk hafal saat ulangan" masih berlaku hingga hari ini, hingga ilmu yang memang tiada habisnya ini akhirnya hanya menguap menjadi keluh dari mulut para guru dan murid. Guru merasa tidak maksimal, murid merasa kelelahan. Padahal, jika mengerti arti dari "sukacita saat belajar", pelajaran Sejarah yang terasa hanya sebagai hafalan peristiwa, mestinya dapat menjadi sebuah pembelajaran bagi pembacanya - mempelajari bagaimana masa lalu dapat menjadi refleksi agar dapat menjalani hidup dengan bermakna dan penuh kebajikan seperti yang dikatakan Plato.

Fighting the Decay, terhimpit lalu tumbuh 

Dalam diskusi waktu itu sempat membahas bagaimana minat menulis meningkat di masa pandemi seperti sekarang ini. Sayangnya, minat yang meningkat tersebut tidak diikuti dengan kualitan tulisan yang dihasilkan, tema yang diangkat justru hal-hal seperti perselingkuhan misalnya. Saat menulis inipun saya tertawa dalam hati, karena ternyata minat saya terhadap "layar" juga meningkat saat pandemi ini, terutama menyangkut video musik dan drama Korea. Terhimpit lalu tumbuh, saat ini saya sudah berusaha membatasi jam menikmati tayangan-tayangan tersebut. Berhenti total juga tidak, karena koq sepertinya saya masih butuh hal-hal menyangkut seni (musik dan film) seperti itu ya. Namun saya berharap, saya tidak perlu menunggu untuk terhimpit dulu baru tumbuh - apa yang saya kerjakan harus bermakna, pun saat menonton drama maupun video musik, sebisa mungkin saya mengambil waktu merenungkan apa yang bisa saya petik dari situ. Semoga kalimat saya barusan bukan "pembenaran akan dosa", karena jika memang begitu, saya akan menyesal selamanya.


Lagi-lagi refleksi setelah diskusi,



Kukira Kamu Manekin



picture from here

Kukira kamu manekin,
saat semua orang memanggilmu begitu
Diam di sudut tak mengindahkan keadaan sekitarmu
Kukira kamu manekin,
akupun setuju bahwa dirimu memang cantik sehingga orang menyebutmu begitu
tapi apakah kamu hanya diam saja saat kuajak bicara?
dirimu berteriak, berkata bahwa mereka yang diam bukan dirimu
dirimu berteriak, berkata bahwa saat kau bertanyapun mereka yang diam
mereka yang manekin, begitu katamu
Kukira kamu manekin,
yang diam tak berbuat apa-apa saat teman di sekitarmu sibuk, atau sok sibuk?

Kukira kamu manekin,
hingga akhirnya waktu berganti, dan kau memiliki kesempatan yang lain
Kukira kamu manekin,
sampai tiba-tiba saja, ia berkata bahwa dirimu ternyata sama sepertiku
Kukira kamu manekin,
tersenyum cantik tanpa berbuat apa-apa, hingga kusadari bahwa manekin itu ternyata bukan dirimu

Kukira kamu manekin,
sebelum kutahu bahwa yang memanggilmu begitu justru lebih manekin ketimbang kamu.
Kepada puan yang pernah kusebut manekin, 
terima kasih telah memperhatikanku sejak lama 
terima kaasih karena sudah memberi tahu bahwa ternyata akupun berarti
sama berartinya dengan dirimu yang orang bilang manekin

Kukira kamu manekin, 
kosong tak berjiwa,
tapi nyatanya itu hanya untuk menutupi keadaan sesungguhnya 
keadaan sebuah manekin sesungguhnya yang justru berteriak manekin.

Di tengah manekin yang meneriakimu manekin,
terselip doa
semoga kamu berbahagia, selalu


Semarang, 23.09.2020,



PS : ini draft dari bulan Februari 2020, br kepikiran buat lanjutin hahahhaha



September 03, 2020

Mati-matian Matematika (part 2) - KAMISAN 03.09.2020

"Ringkasnya, menurut saya, matematika mestinya dipelajari karena kesenangan di dalamnya, bukan untuk membuat anak tambah pintar atau jadi jenius. " ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 232

Beberapa bulan yang lalu, saya mendapati bahwa Keona tidak dapat mengikuti pelajaran Matematika di sekolah, selain sering melewatkan angka tertentu dalam hitungan urutnya, ia juga belum dapat mengerti konsep jumlah dengan benar. Padahal, yang saya tahu, di sekolah, pelajaran Matematika diberikan dalam bentuk menyenangkan bagi anak, alat peraga pun menggunakan banyak variasi berbeda tiap minggunya. Namun, saat membaca bagian bacaan diskusi hari ini, saya menyadari bahwa hal menyenangkan yang dianggap menyenangkan oleh orang dewasa kadang kala bukanlah kesenangan anak, sehingga mau disajikan seperti apapun jika tidak ada kesenangan pada anak akan hal yang ia pelajari, maka pelajaran pun tidak akan menjadi sesuatu yang anak pelajari dengan senang hati. Sejak menjalani pembelajaran mandiri di rumah, karena sadar Keona belum dapat menghitung urut dengan benar, dalam beberapa kegiatan kami bersama seperti olahraga pagi dan mengerjakan PR balet, Keona selalu saya minta untuk menghitung sendiri hitungannya melakukan gerakan dalam olahraga tersebut. Tidak terasa, saat ini, setelah dua bulan melakukannya dengan senang hati karena sambil berolahraga, Keona malah sudah mulai berhitung urut hingga 20. Kedepannya, semoga hal berhitung ini dapat menjadi bagian dari hal yang kami kerjakan dengan menyenangkan bukan karena Keona terpaksa atau saya paksa karena teman seusianya sudah bisa ini itu, tapi karena ia mau dan ia senang belajar.

"Sepertinya begitulah kecenderungan sistem pendidikan masa kini yang menutup pintu masuk perguruan tinggi bagi anak-anak yang dianggap tidak pandai matematika, yang berarti menghambat perkembangan karir mereka, lalu akhirnya para siswa yang lemah matematikanya itu harus bekerja berat untuk menguasai matematika secara mekanis, sehingga mereka mau tak mau kehilangan waktu untuk mempelajari humaniora yang menjadi elemen kunci dalam konsep “pendidikan bagi semua”." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 233


Kata-kata "pendidikan bagi semua" ini seakan menegaskan bahwa matematika bukan segala-galanya namun segala-galanya butuh matematika di dalamnya. Seperti yang dibilang ci Indri dalam diskusi tadi, matematika seperti uang, bukan segala-galanya, tapi segala sesuatu butuh uang. Anak yang tidak pandai matematika tidak semestinya juga kehilangan waktunya untuk belajar hal lain selain matematika karena mengejar ketidak bisaannya dalam matematika untuk menjadi bisa. 

Memang benar, semua hal di dunia itu butuh matematika, bahkan dalam diskusi tadipun saya terpikirkan "ahhh, iya, belajar geografi dengan traveling saja, butuh matematika untuk menghitung budget pulang pergi kan?" dan masih banyak hal lain di dunia ini yang butuh matematika. Namun matematika juga bukan sesuatu yang dijunjung tinggi dianggap paling penting dan yang menguasainya pun bukan berarti sudah menguasai semua bidang kan?

Saya jadi teringat sebuah postingan di media sosial mengenai Deddy Corbuzier yang bercerita bahwa sewaktu bersekolah dulu, ia mendapat nilai kurang di matematika dan memiliki bakat di bidang seni rupa. Yang ia sesalkan, saat ia tidak bisa matematika, ia menghabiskan waktunya untuk les matematika dan tidak mengembangkan bakatnya di bidang seni rupa tersebut. Ia berharap, waktu itu orangtuanya mendukungnya memberi les tambahan seni rupa bukan malah menjejali waktunya untuk mengejar ketinggalan di bidang matematika dengan les matematika. Ia berpikir, jika saja waktu itu orangtuanya "tidak mati-matian" membuat dirinya mengejar ketinggalan di bidang matematika dan mengembangkan kesukaannya pada seni rupa, bisa saja saat ini ia sudah menjadi pelukis yang baik.


picture from here


"Matematika adalah mata pelajaran yang penguasaannya bergantung kepada guru lebih daripada ke buku teks. ....... . Singkatnya, matematika adalah bagian penting dari pendidikan setiap anak. Matematika harus diajarkan oleh mereka yang paham matematika, tapi janganlah pelajaran ini terlalu menyita waktu dan perhatian siswa sampai ia tak sempat belajar aneka pengetahuan lainnya, pengetahuan kaya yang menjadi hak asasinya." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 233

Sama seperti minggu lalu, saya tahu bahwa ini berarti tugas pendidik anak mendapingi anak untuk mencintai ilmu bukan malah membencinya. Saya diingatkan lagi melalui diskusi hari ini untuk tidak berambisi membuat Keona menjadi yang "ter-". Menjadi yang "ter-" itu tidak buruk, namun jika ilmu yang dimiliki tidak digunakan untuk kebajikan dan dengan bijak, lalu untuk apa belajar? Maka menjadi penting bagi pendidik juga untuk paham esensi dari belajar matematika itu sendiri - bukan untuk membuat anak didiknya menjadi juara matematika, tapi lebih daripada itu yaitu membuat anak memiliki hikmat untuk menalar dan menimbang perkara dengan bijak.

Kali ini sudah siap kan, Glo?



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...