"Ringkasnya, menurut saya, matematika mestinya dipelajari karena kesenangan di dalamnya, bukan untuk membuat anak tambah pintar atau jadi jenius. " ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 232
Beberapa bulan yang lalu, saya mendapati bahwa Keona tidak dapat mengikuti pelajaran Matematika di sekolah, selain sering melewatkan angka tertentu dalam hitungan urutnya, ia juga belum dapat mengerti konsep jumlah dengan benar. Padahal, yang saya tahu, di sekolah, pelajaran Matematika diberikan dalam bentuk menyenangkan bagi anak, alat peraga pun menggunakan banyak variasi berbeda tiap minggunya. Namun, saat membaca bagian bacaan diskusi hari ini, saya menyadari bahwa hal menyenangkan yang dianggap menyenangkan oleh orang dewasa kadang kala bukanlah kesenangan anak, sehingga mau disajikan seperti apapun jika tidak ada kesenangan pada anak akan hal yang ia pelajari, maka pelajaran pun tidak akan menjadi sesuatu yang anak pelajari dengan senang hati. Sejak menjalani pembelajaran mandiri di rumah, karena sadar Keona belum dapat menghitung urut dengan benar, dalam beberapa kegiatan kami bersama seperti olahraga pagi dan mengerjakan PR balet, Keona selalu saya minta untuk menghitung sendiri hitungannya melakukan gerakan dalam olahraga tersebut. Tidak terasa, saat ini, setelah dua bulan melakukannya dengan senang hati karena sambil berolahraga, Keona malah sudah mulai berhitung urut hingga 20. Kedepannya, semoga hal berhitung ini dapat menjadi bagian dari hal yang kami kerjakan dengan menyenangkan bukan karena Keona terpaksa atau saya paksa karena teman seusianya sudah bisa ini itu, tapi karena ia mau dan ia senang belajar.
"Sepertinya begitulah kecenderungan sistem pendidikan masa kini yang menutup pintu masuk perguruan tinggi bagi anak-anak yang dianggap tidak pandai matematika, yang berarti menghambat perkembangan karir mereka, lalu akhirnya para siswa yang lemah matematikanya itu harus bekerja berat untuk menguasai matematika secara mekanis, sehingga mereka mau tak mau kehilangan waktu untuk mempelajari humaniora yang menjadi elemen kunci dalam konsep “pendidikan bagi semua”." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 233
Kata-kata "pendidikan bagi semua" ini seakan menegaskan bahwa matematika bukan segala-galanya namun segala-galanya butuh matematika di dalamnya. Seperti yang dibilang ci Indri dalam diskusi tadi, matematika seperti uang, bukan segala-galanya, tapi segala sesuatu butuh uang. Anak yang tidak pandai matematika tidak semestinya juga kehilangan waktunya untuk belajar hal lain selain matematika karena mengejar ketidak bisaannya dalam matematika untuk menjadi bisa.
Memang benar, semua hal di dunia itu butuh matematika, bahkan dalam diskusi tadipun saya terpikirkan "ahhh, iya, belajar geografi dengan traveling saja, butuh matematika untuk menghitung budget pulang pergi kan?" dan masih banyak hal lain di dunia ini yang butuh matematika. Namun matematika juga bukan sesuatu yang dijunjung tinggi dianggap paling penting dan yang menguasainya pun bukan berarti sudah menguasai semua bidang kan?
Saya jadi teringat sebuah postingan di media sosial mengenai Deddy Corbuzier yang bercerita bahwa sewaktu bersekolah dulu, ia mendapat nilai kurang di matematika dan memiliki bakat di bidang seni rupa. Yang ia sesalkan, saat ia tidak bisa matematika, ia menghabiskan waktunya untuk les matematika dan tidak mengembangkan bakatnya di bidang seni rupa tersebut. Ia berharap, waktu itu orangtuanya mendukungnya memberi les tambahan seni rupa bukan malah menjejali waktunya untuk mengejar ketinggalan di bidang matematika dengan les matematika. Ia berpikir, jika saja waktu itu orangtuanya "tidak mati-matian" membuat dirinya mengejar ketinggalan di bidang matematika dan mengembangkan kesukaannya pada seni rupa, bisa saja saat ini ia sudah menjadi pelukis yang baik.
picture from here |
"Matematika adalah mata pelajaran yang penguasaannya bergantung kepada guru lebih daripada ke buku teks. ....... . Singkatnya, matematika adalah bagian penting dari pendidikan setiap anak. Matematika harus diajarkan oleh mereka yang paham matematika, tapi janganlah pelajaran ini terlalu menyita waktu dan perhatian siswa sampai ia tak sempat belajar aneka pengetahuan lainnya, pengetahuan kaya yang menjadi hak asasinya." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 233
Sama seperti minggu lalu, saya tahu bahwa ini berarti tugas pendidik anak mendapingi anak untuk mencintai ilmu bukan malah membencinya. Saya diingatkan lagi melalui diskusi hari ini untuk tidak berambisi membuat Keona menjadi yang "ter-". Menjadi yang "ter-" itu tidak buruk, namun jika ilmu yang dimiliki tidak digunakan untuk kebajikan dan dengan bijak, lalu untuk apa belajar? Maka menjadi penting bagi pendidik juga untuk paham esensi dari belajar matematika itu sendiri - bukan untuk membuat anak didiknya menjadi juara matematika, tapi lebih daripada itu yaitu membuat anak memiliki hikmat untuk menalar dan menimbang perkara dengan bijak.
Kali ini sudah siap kan, Glo?
No comments:
Post a Comment
your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.