March 31, 2022

Nalar, Nurani, dan Kehendak - narefleksi KAMISAN, 31 Maret 2022

Apa yang sudah kita kerjakan dalam mengupayakan pendidikan? Pada paragraf pertama bagian III ini, Charlotte Mason bertanya apakah benar bahwa karakter generasi saat ini adalah generasi dengan kurangnya rasa tanggung jawab padahal sistem pendidikan sudah dibentuk sedemikian rupa - pendidik disebutkan berusaha menggali, menyiangi, dan menyirami. 
Tapi tetap saja pohon dan buahnya bermasalah, apa yang salah?

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk "memeriksa" bagian mana yang salah sehingga buahnya tidak baik - orang yang mementingkan kepentingan pribadi, merusak properti orang lain, hingga memprovokasi orang lain. Padahal, mereka yang disebut "buah yang tidak baik" ini adalah mereka dengan gelar sarjana, mahir menulis dan berorasi, berpikir logis hingga memiliki aneka ketrampilan. 

Kita tidak perlu mendetilkan apa saja pasangan untuk tiap ciptaan, tapi tampaknya memang nalar yang kaku, saat mencoba mencari kebenaran akan suatu isu, cenderung selalu dikawani oleh pemberontakan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 314

 Memang benar bahwa anak (bahkan diri kita sendiripun) perlu melatih nalar - memberi kebiasaan baik untuk berpikir logis. Tapi kemudian nalar ini bisa jadi sangat berbahaya apalagi jika kita melakukan sesuatu yang tidak benar lalu melakukan pembenaran diri atas dasar nalar.

Berpikir logis tidak melulu tentang menghasilkan simpulan yang mutlak benar. Nalar seharusnya menjadi pelayan, bukan tuan, sehingga nalar tidak berakhir sebagai pembenaran atas apa yang diingini kehendak ingin yakini.

Saya tiba-tiba teringat akan fenomena "kaum pelangi" yang sering saya dapati di media sosial belakangan ini. Saat melihat konten tentang "kaum pelangi" ini, saya tertarik untuk memperhatikan kolom komen, memperhatikan pandangan orang mengenai "kaum pelangi" ini. Banyak sekali komen menghakimi seperti "Tuhan menciptakan hanya laki-laki dan perempuan, kamu apa?", atau saat berita Dorce tutup usia, alih alih melihat komen turut berduka cita, saya malah banyak mendapati komen sejenis "dia dikubur jenis kelaminnya apa tuh?". Yang berkomentar sudah pasti sekolah (lha wong bisa ketik komen), punya pengetahuan (sudah pasti-lha wong bisa menyebutkan basis dasar yang ia yakini benar), terus apa yang kurang?

Nurani. Rasanya saat nalar berjalan sendiri tanpa diiringi nurani, sia-sia saja pengetahuan. Saat membuat komen pada konten-konten tentang "kaum pelangi", jika nalar berjalan berdampingan dengan nurani, maka ketika menemukan hal yang tidak sesuai dengan prinsip sekalipun, kita akan tetap dapat menghargai orang lain sebagai SESAMA MANUSIA.

pict from here

nalar manusia akan berupaya membenarkan dengan segala macam bukti untuk setiap gagasan yang telah dia putuskan untuk pertahankan. Kita tak bisa membebaskan diri dari kecenderungan ini, tak ada jalan pintas mengatasinya. Seni butuh waktu panjang, terutama menguasai seni hidup.~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 314

Bagian akhir dari bacaan hari ini jadi penutup diskusi bulan Maret ini. Kita tidak bisa lepas dari kecenderungan untuk melakukan "pembenaran diri" ini, butuh waktu panjang untuk mendidik nurani dan melatih nalar agar keduanya dapat menjadi pelayan yang baik bagi tuannya yaitu kehendak.

Perih setelah dikuliti bu Charlotte Mason hari ini,



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...