October 29, 2020

Pendidikan yang Universal - Penerapan Teori part VI (KAMISAN 22.10.2020)

"Pendidikan adalah bagian dan satu paket dengan agama ... , di atas segala sesuatu serta meliputi segala sesuatu, berilah dia makan pengetahuan tentang Tuhan." ~ Charlotte Mason, vol 6, hlm 246

Diskusi minggu lalu hanya membahas 2 alinea secara mendalam, namun butuh lebih dari satu jam untuk mengupas dua alinea tersebut. Dalam bukunya, Charlotte Mason menulis bahwa "pendidikan adalah satu paket dengan agama." - kalau dibawa ke sistem pendidikan yang ada saat ini di sekolah-sekolah Indonesia, kalimat pertama tersebut rasanya sudah dijalankan dengan baik di sistem pendidikan Indonesia; coba saja hitung, ada berapa sekolah-sekolah berbasis agama dalam sebuah wilayah misalnya - kalaupun bukan berdiri sebagai sekolah berbasis agama, pastilah ada pelajaran agama pada sekolah tersebut. Tapi rupanya bukan itu yang dimaksud oleh Charlotte Mason. Saya jadi teringat akan tulisan Darmaningtyas pada Pendidikan yang Memiskinkan, bahwa makna pendidikan yang awalnya adalah usaha sadar untuk mencapai taraf hidup lebih baik - kini telah bergeser. Singkatnya dalam buku itu, kalau dulu memilih sekolah atas alasan untuk belajar supaya pintar (tidak dibodohi), sekarang salah satu alasan orang memilih sekolah adalah berdasarkan basis agama sekolah tersebut. Lalu pendidikan yang satu paket dengan agama yang seperti apa yang dimaksud oleh Charlotte Mason?

"... berilah makan pengetahuan tentang Tuhan."; jelas ditulis tentang Tuhan bukan tentang agama, apalagi sampai terkotak-kotakkan karena agama. 

"... secara hati-hati mengikuti terang apa pun yang kita peroleh dari para bijak dan dari pengalaman umum; harus pengalaman umum karena pengalaman pribadi cenderung menyesatkan; karena itulah, saat saya melihat bahwa prinsip-prinsip dan metode-metode yang telah lama diujicoba ini ternyata berhasil diterapkan pada satu kelas berisi empat puluh anak sekolah di desa keluarga penambang, saya merasa yakin bahwa kami telah selaras dengan hukum-hukum alam yang kalau ditaati akan menghasilkan jenis pendidikan yang memuaskan." ~ Charlotte Mason, vol 6, hlm 246

Maka, saat melanjutkan ke alinea berikutnya, kalimat terakhir tadi semakin diperjelas dengan bagian terakhir alinea berikutnya. Agama dan hukum alam berjalan selaras sehingga jika ditaati akan menghasilkan pendidikan yang memuaskan yang sudah diujicoba pada empat puluh anak di desa keluarga penambang. Namun ada sebuah pedoman yang mesti diperhatikan agar pendidikan ini berjalan dengan baik dan memuaskan; Charlotte Mason menuliskan "... harus pengalaman umum karena pengalaman pribadi cenderung menyesatkan." - awalnya bagian ini saya "terjemahkan" sebagai pengingat bahwa kita hidup sebagai mahkluk sosial. Mengotak-kotakkan dan mengeksklusifkan diri nantinya hanya akan menyesatkan - sama seperti halnya beribadah, kita masing-masing dapat beribadah mandiri di rumah, namun mengapa tetap butuh ibadah bersama di tempat ibadah seminggu sekali? Saat memutuskan untuk menjadi homeschooler pun saya berpikir bahwa saya tetap butuh teman seperjalanan untuk berdiskusi agar nantinya jangan sampai tersesat dalam pengertian dan pemikiran pribadi. Kemudian dalam diskusi, saya juga mendapatkan bahwa pendidikan semestinya berdasar pada evidence-based bukan testimony-based - sama seperti dalam hal medis, kita pasti juga akan memilih pengobatan pengobatan yang berdasar pada bukti ilmiah dan bukan sekedar "katanya dia ini obatnya mujarab", etc

Saya teringat saat Keona belajar Matematika tentang bentuk bintang, ia malah melipat tangannya dan berkata bahwa bentuk bintang yang ia buat (stik eskrim) terlihat seperti lambang tuhan yang ia kenal - ada agama di dalam matematika :D

Pada akhirnya, kesadaran bahwa kita adalah mahkluk sosial (dan juga spiritual) akan membawa pada kesadaran akan makna "Ketuhanan yang Maha Esa" - Tuhan hanya satu, dan pendidikan yang baik bersifat universal.



October 16, 2020

Berdampak - Penerapan Teori part V (KAMISAN 15.10.2020)

"Guru membaca dengan itikad membantu anak-anak paham, karenanya, dia membaca dengan jelas, lantang, dan pengucapan yang saksama; guru berusaha membantu sebaik-baiknya, meski tentu saja guru tetap berhati-hati agar pemikiran si pengarang dan bukan pikirannya sendiri yang dia sajikan." - Charlotte Mason, vol.6, hlm.244

Jelas sekali dalam bacaan tersebut bahwa anak dibacakan bacaan terlebih dahulu sebelum menarasikan bacaan. Guru atau orangtua yang membacakan juga diminta untuk berhati-hati agar menyajikan pesan penulis dengan baik. Bahasa tertulis tidaklah sama dengan bahasa lisan, maka perlu sekali bagi orang dewasa yang membacakan tulisan untuk anak mengerti betul isi tulisan tersebut, berhenti dan bernada turun saat titik, dan memperhatikan tanda baca lainnya - karena kalimat yang sama jika dibaca dengan letak tanda baca yang berbeda pun akan menjadi berbeda artinya, contoh :

Menurut kabar burung, Andi sedang sakit.

Coba saja membaca tanpa jeda atau jeda tidak pada letak koma yang ada pada kalimat tersebut, pasti kalimat tersebut akan memiliki arti yang lain. Menurut saya, melatih diri untuk dapat membaca sesuai dengan tanda baca dan pesan yang ingin disampaikan penulis perlu dilakukan orangtua atau guru yang mendampingi anak belajar - sehingga lagi-lagi dalam bacaan inipun saya tertegur apakah sudah membacakan bacaan untuk Keona dengan benar sesuai dengan yang dimaui penulis. Setelah saya pikir-pikir, jika kita sebagai pendidik melatih diri pada bagian ini pun akan membantu mengembangkan kemampuan sosial kita, paling mudah adalah dengan membaca pesan teks dari teman atau kerabat. Lucu, saya teringat seorang kawan yang mengira temannya sedang melucu padahal teman tersebut sedang marah, hanya karena ia tidak memperhatikan tanda baca. 

 "Banyak orang berbicara tentang mengentaskan kemiskinan, tapi sudahkah kita betul-betul menyadari bahwa, kalau diberi pendidikan yang lebih berkualitas, aneka masalah untuk mencapai kehidupan yang layak akan bisa dibereskan sendiri oleh kaum miskin itu?" - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 245

Saya pernah melihat sebuah meme di media sosial yang isinya adalah protes seorang anak yang merasa sudah 8 jam sekolah, 4 jam les, lalu sampai di rumah baru duduk bermain sudah mendapat komplen orangtuanya "anak koq mainan aja kerjaannya, kapan belajarnya!", kemudian ada gambar si anak berkata "lha yang 8 jam sekolah sama 4 jam les itu bukan belajar?". Dari segi kuantitas, tentu saja siswa Indonesia memiliki lebih banyak jam belajar dibanding siswa di negara lain, namun kenyataannya masih saja banyak pengangguran yang datang dari kaum sarjana, atau koruptor yang datang dari kaum terpelajar (mendapat pendidikan yang layak). Lalu mengapa banyak sekali orangtua berlomba-lomba anaknya masuk sekolah favorit, anaknya jadi bintang kelas, kalau dalam prakteknya malah hasil dari pendidikan tersebut justru tidak mengentaskan kemiskinan. 

"... suatu pribadi yang berkarakter dan cerdas, warga negara yang layak dikagumi karena hidupnya terlalu penuh dan kaya, sehingga tak ada waktu untuk bikin masalah dalam masyarakat." - Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 245-246

Karena ternyata menjadi cerdas saja tidak cukup - padahal yang terjadi di masyarakat saat ini adalah banyaknya sekolah yang berlomba dengan tagline "mendidik anak menjadi generasi yang unggul", tentu saja yang dimaksud dengan unggul adalah unggul dalam hal akademis  karena disamping tagline itu ada gambar anak dengan piala juara lomba Matematika dan lomba lainnya. Saya jadi teringat pada sesi kelas gender yang saya ikuti bersama teman-teman CMid Semarang tahun lalu, saat membahas tentang istri yang memiliki penghasilan lebih besar dari suaminya - tidak akan ada masalah ketika kita duduk berdampingan dengan baik, masalah akan muncul ketika salah satu "menginjak kaki" teman duduknya karena merasa superior. Maka cerdas secara intelektual tidak menjamin seseorang hidupnya "penuh dan kaya" jika tidak diimbangi dengan karakter yang baik - rasa superior yang saya sebutkan pada kalimat sebelum ini tidak akan terjadi saat seseorang yang cerdas tadi memiliki karakter untuk mengimbangi kecerdasan yang ia miliki - sehingga tentu saja ia tidak akan membuat masalah dalam masyarakat karena tidak ada lagi rasa superior karena merasa dirinya "cerdas" tadi. 

Untuk pendidik maupun anak yang didampingi belajarnya, melatih diri untuk dapat menjadi bijak akan membawa diri menjadi pribadi yang bajik; contoh kecilnya adalah ketika kita sebagai pendidik belajar untuk tidak mengasumsikan tulisan dengan interpretasi pribadi, maka masalah yang muncul dari asumsi yang salah pun akan dengan sendirinya hilang. Menjadi individu yang berdampak bukan perkara seberapa besar cakupan dampak yang akan dihasilkan, namun bagaimana hal kecil dapat membawa pengaruh positif dimulai dari orang-orang terdekat - karena sekecil apapun dampak yang kita buat, jika dilakukan dengan hati yang tulus, tetap akan menjadi berkat bagi penerimanya.

A flower does not think of competing to the flower next to it, it just blooms.
picture from here

Terima kasih lagi-lagi kawan-kawan sepercenutan CMid Semarang untuk diskusinya, seperti biasa, membuat saya berefleksi pribadi, lagi dan belajar menjadi pribadi yang berdampak untuk orang di sekitar saya, bertumbuh tanpa harus berkompetisi menjadi yang lebih unggul.



October 09, 2020

Penerapan Teori part IV - Teknis (KAMISAN 8 Oktober 2020)

"Para guru memberi semangat dan dukungan dalam proses menyerap materi dan, ketika diperlukan, akan menjelaskan arti, meringkas, atau menyoroti bagian tertentu, tapi kerja sesungguhnya tetap bagian siswa." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 241

Pada poin di atas, saya menyoroti kata "ketika diperlukan" yang berarti bahwa guru (atau orangtua yang mendampingi anak belajar di rumah) boleh menjelaskan arti, meringkas, atau menyoroti bagian tertentu pada topik pembelajaran ketika diperlukan. Ketika diperlukan berarti juga tidak setiap saat pendamping boleh menjelaskan arti, meringkas, atau menyoroti bagian tertentu pada topik pembelajaran. Lalu apa indikatornya, kapan boleh dan kapan tidak boleh terlibat langsung dalam proses belajar anak tersebut? Lalu saat bolehpun, pada bagian terakhir poin di atas disebutkan "tapi kerja sesungguhnya tetap bagian siswa", koq bisa? Caranya bagaimana?

Buat saya, indikatornya adalah ketika guru atau orangtua pendamping sudah dalam tahap ceramah (seperti pada bagian buku Charlotte Mason yang saya kutip pada tulisan saya yang ini) maka penjelasan materi tidak lagi diperlukan. Diperlukan adalah saat anak bertanya - pertanyaan tersebut juga tak lantas dijawab langsung begitu saja dengan jawaban layaknya mesin pencari google. Dalam diskusi, saya mencatat beberapa poin, yaitu :

1. Proses fasilitasi dalam proses belajar berbeda-beda - ada waktu tertentu yang mana fasilitator (orangtua ataupun guru) adalah pihak yang sama-sama sedang belajar dengan anak, sehingga proses belajar dilakukan bersama dalam rangka sama-sama mencari tahu, ada pula proses belajar dengan fasilitator yang  sudah lebih dulu tahu materi pembelajaran.

2. Pada jenis fasilitator yang memang sudah lebih tahu lebih dulu tentang materi pembelajaran, ceramah bukanlah pilihan saat menjelaskan materi kepada anak. Fasilitator dapat memantik dengan melempar pertanyaan-pertanyaan yang membuat anak berpikir dan menemukan jawabannya - ini yang menurut saya disebut "... kerja sesungguhnya tetap bagian siswa.".

3. Memantik bukanlah tentang memberi informasi - fasilitator memandu anak untuk dapat menemukan jawabannya, dan memfasilitasi tidak memiliki rumusan pasti apa saja yang harus dikatakan kepada anak atau pertanyaan apa yang harus ditanyakan - banyak praktek akan mengasah kemampuan terutama (menurut saya) jika anak sudah terbiasa berkomunikasi dua arah (mengobrol nyambung).

4. Lalu mengenai bagian awal kutipan di atas mengenai menyemangati - menyemangati yang seperti apa yang dimaksudkan? Menyemangati bukan perkara memaksa atau tidak memaksa anak belajar. Anak harus dibiasakan untuk belajar melakukan apa yang seharusnya ia lakukan walaupun misalnya semangatnya sedang drop - mengawal anak hingga kewajibannya selesai bukan karena suka maupun tidak suka, namun ingat, jangan sampai anak burn out kelelahan.

picture from here


"... termasuk banyak nama diri (proper names). .... dan pada semua mata pelajaran ini, siswa menulis dengan santai dan banyak-banyak seolah sedang menulis kepada kakaknya yang sedang tidak di rumah tentang anak-anak kucing yang baru dilahirkan!" ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 242

Saat membaca daftar proper names  yang ada dalam bacaan, saya takjub dan berpikir saat berusia 10 tahun, saya belum bisa menulis nama-nama tokoh yang mengejanya saja sulit - apalagi kalau menulis di lembar ujian, pasti lembar ujian itu kosong kalau ujiannya bukan yang open book. Ternyata untuk membuat anak dapat menulis dengan lengkap (namun tetap santai seolah sedang menulis tentang anak kucing yang baru dilahirkan) seperti itu dibutuhkan latihan yang konsisten - copywork dan dictation.

Terima kasih diskusi kemarin ya teman-teman CMers, saya banyak belajar,



October 02, 2020

Kekuatan Pendidikan Karakter - Penerapan Teori part III (KAMISAN 1 Oktober 2020)

"Apabila kita menyadari bahwa akal budi dan pengetahuan bagaikan bola mata dengan rongga mata, bagaikan dua bilah penyusun gunting, yang mesti berpasangan, yang kalau satu tidak ada maka yang lain tidak bisa bekerja, dan baru bisa bekerja dengan baik kalau ada keserasian, maka kita jadi paham bahwa fungsi kita sebagai guru adalah untuk memasok anak-anak dengan porsi pengetahuan yang mereka butuhkan; dan kemudian segala macam urusan soal karakter dan perilaku, efisiensi dan kesanggupan, juga keagungan jiwa (magnanimity) – kualitas tertinggi yang bisa dimiliki seorang warga negara – semua itu akan terwujud dengan sendirinya. “Kok bisa?' protes si guru yang seumur hidupnya dihabiskan dalam kerja keras sia-sia ala Sisyphus." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 240

Panjang ya kalimat kutipan di atas? Saya mau memotong kalimat tersebut tapi semua bagian kalimat merupakan kata-kata penting yang rasanya sayang kalau dipotong meski hanya di bagian setelah titik koma sekalipun. Minggu-minggu sebelum ini, topik akal budi dan pengetahuan semestinya berjalan selaras sudah banyak dibahas - satu dan yang lain tidak ada yang lebih penting. Keduanya sama penting karena satu tanpa yang lainnya juga akan sia-sia tak berguna seperti dua bilah penyusun gunting. Tepuk tanganpun tidak akan disebut tepuk tangan jika hanya satu tangan tanpa ada tangan lain untuk ditepuk.

Saya tertarik dengan kata Sisyphus dalam bacaan hari ini - jujur ini pertama kalinya mendengar kata itu. Lalu di tengah diskusi, saya berusaha mencari tahu di mesin pencari Google mengenai Sisyphus  ini - membaca sepintas bahwa itu adalah salah satu dari mitologi Yunani dengan ilustrasi seorang pria mendorong batu besar yang besarnya lebih besar dari tubuhnya - sebuah usaha sia-sia.

Sungguh, pastilah melelahkan menjadi seseorang yang bekerja keras namun sia-sia seperti itu. Maka muncullah pertanyaan dalam diskusi, apakah dengan porsi pengetahuan saja lalu urusan soal karakter dan perilaku, efisiensi dan kesanggupan, juga keagungan jiwa (magnanimity) – kualitas tertinggi yang bisa dimiliki seorang warga negara – semua itu akan terwujud dengan sendirinya? Kalau memang begitu, lalu dimana letak habit training dan education is an atmosphere?

David Beckham and Harper, picture from here


"Para siswa, bukan guru, menjadi pihak yang bertanggung jawab; mereka menggarap materi dengan upaya mereka sendiri." ~Charlotte Mason, vol.6, hlm. 241

Bagaimana seorang anak bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab akan apa yang mereka akan pelajari? Saat membaca sekilas mengenai Sisyphus, saya menyimpulkan bahwa seorang anak harus sadar terlebih dulu bahwa dirinya tidak bisa sehingga ia dapat dibantu oleh orang dewasa yang bertanggung jawab akan pendidikannya. Saya sengaja meletakkan gambar ilustrasi David Beckham dan putrinya yang saat itu belajar naik sepeda. Seorang anak yang sadar dirinya tidak dapat naik sepeda akan mau belajar naik sepeda; bukankah hanya orang sakit yang sadar dirinya sakit yang mau dan merasa butuh mengobati dirinya. Hal sia-sia seperti gambaran Sisyphus akan terjadi jika keinginan untuk anak mau belajar justru muncul dari orangtua atau pendidik. Maka hal pertama yang dapat dilakukan orangtua atau pendidik adalah dengan memberi anak asupan ide hidup - lewat buku-buku berkualitas yang dibaca atau dibacakan anak. Lalu bagaimana ide hidup tadi memunculkan rasa ingin belajar? Anak adalah pemerhati detil, mereka akan menemukan hal yang mereka sukai dalam bacaan tersebut dan memberi mereka ide untuk belajar dan mau belajar; agar dapat menjadi individu pembelajar yang bertanggung jawab, maka di sinilah peran habit training dan education is an atmosphere. Di rumah, karena sudah terbiasa belajar atau membaca buku pada pukul 11.00, Keona yang belum dapat membaca jam tetap dapat mengingatkan saya "mama, ini sudah jamnya belajar belum? Keona belum baca buku loh hari ini.". Hal ini terjadi karena sudah tiga bulan terakhir Keona saya biasakan untuk memiliki jam belajar di jam yang sama setiap harinya - habit training

Dapatkah orangtua yang senang berada di depan gawai memiliki anak yang suka berada di depan buku? Dapatkah orangtua yang tidak suka membaca buku memiliki anak yang suka membaca buku? - tentu tidak bisa, maka di sinilah letak peran education is an atmosphere.

Well, lagi-lagi saya menanyai diri sendiri "jika saya ingin Keona menjadi manusia pembelajar yang bertanggung jawab, sudahkah saya sendiri menjadi orangtua pembelajar?" 


Berbisik dalam hati sebelum tidur, Right Thinking Right Action,




LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...