February 11, 2022

Menjadi R̶a̶t̶a̶ ̶-̶ ̶R̶a̶t̶a̶Bagian Dari Sistem (Sebuah Refleksi - KAMISAN, 10 Februari 2022)

Sebagian orang memang cocok menjadi akademisi, sesuai dengan kapasitas kepala mereka. Kita yang lain senang melihat kecemerlangan itu, tapi tidak perlu iri hati, sebab menjadi akademisi bukanlah prestasi tertinggi dalam hidup ini, dan tidak menjamin seseorang tergugah pikirannya oleh pengetahuan dan perjumpaan dengan ide hidup. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 310

Seringkali saat melewati beberapa ruas jalan, ada banyak baliho iklan sekolah-sekolah apalagi jika dekat-dekat tahun ajaran baru. Isinya hampir sama walau beda kalimat, yaitu mempromosikan bagaimana sekolah tersebut akan mencetak generasi-generasi unggul di masa depan. Iklan-iklan tadi membawa saya pada kenangan saat masih memberi les privat untuk beberapa murid - "miss, tolong ya miss, masa dia nilainya tujuh, temannya yang lain ada yang delapan." dan "ini badannya agak hangat miss, tapi gapapa tetap les aja, biar ga ketinggalan pelajaran.". Jadi ya begitulah isi di dalamnya, anak mendapat tuntutan untuk menjadi yang terbaik seakan memiliki nilai 100 adalah prestasi tertinggi dalam hidup.  

Bahkan kisah pasaran, pentas wayang, atau bunga pinggir jalan sudah bisa memantik semangat belajar mereka, kita tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Kita pikirkan dulu anak dari kelompok rata-rata. Anak rata-rata ini juga butuh belajar Bahasa Yunani dan Latin, tapi ada jalan lebih mudah untuk itu. Gadis-gadis kecil di surat yang tadi aku kutip sudah mendapatkan poinnya. Ada seorang anak perempuan, murid kesayangan Vittorino, yang bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Latin dengan "kemurnian menakjubkan" pada usia 12 tahun, karena dia telah belajar sejak masih lebih kecil lagi - kita yakin dia bukan produk sekolahan elit. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 310-311

Lalu bagaimana dengan anak dari kelompok rata-rata? Dalam diskusi Kamis kemarin,  saya terpikirkan "apa indikator anak disebut rata-rata?", teringat bagaimana para orangtua membandingkan anaknya dengan anak lain, melabeli yang tidak unggul dengan rata-rata, serta menggunakan nilai untuk mengukur. Saya bersyukur bertemu dengan banyak teman seperjalanan yang meyakini bahwa semestinya membandingkan anak adalah dengan diri anak itu sendiri (lihat pada progressnya) bukan dengan teman sebayanya, karena kita tahu bahwa anak adalah pribadi yang utuh yang masih-masing memiliki fitrahnya sendiri. 

Yang menarik adalah saat ada "celetukan" dari ci Indri "kalau kita selalu ingin jadi yang terbaik, ga akan ada habisnya karena bila di satu tempat kita menjadi yang terbaik, lalu pindah ketempat lain, pasti ada yang lebih baik kan?". Mau sampai kapan jika tolak ukur menjadi pribadi terbaik adalah orang lain dan bukan diri sendiri dan semangat belajar diri sendiri?

Kita tahu mereka dinikahkan di usia dini, tapi mereka sudah tahu banyak tentang karya-karya klasik (meski tidak membacanya utuh), mereka bisa bercakap dalam dua tiga bahasa modern, bisa merawat orang terluka, merawat orang sakit, membuat obat-obatan herbal, memanajemen rumah tangga dengan banyak pelayan, menunggang kuda, bahkan menangkap buruan! Mereka juga bisa menjahit dan merenda dengan pola yang rumit. ~Charlotte Mason, vol.6, hlm. 311

Bagian ini mengingatkan saya pada satu bahasan di buku CYB halaman 162. Di situ saya memberi tanda pada skill yang saya belum dan sudah saya kuasai. Dulu, sewaktu membaca list itu, saya tertawa dan berpikir, semestinya list ini kalau dibuat pribadi masih bisa lebih panjang lagi karena ternyata banyak skill dasar yang saya sendiri belum kuasai - apakah anak yang termasuk "di atas rata-rata" sudah menguasai skill itu? 

Kalau semua orang menjadi dokter, lalu siapa yang menjadi petani menghasilkan bahan pangan yang dibutuhkan manusia? Kalau semua orang pintar memasak dan jadi chef, lalu siapa yang menerbangkan pesawat terbang. Rasanya saat konsep "children are born persons" sungguh dihidupi tiap orangtua, orangtua akan sanggup menerima bahwa semua jenis pekerjaan adalah baik. Seorang teman yang tinggal di Jerman bercerita pada saya bahwa anak - anak Jerman misalnya yang bercita-cita menjadi supir truk sampah saja tetap akan didukung cita-citanya, karena orangtua tahu bahwa tanpa supir truk sampah, sampah-sampah mereka tidak akan terkelola dengan baik. Semua pekerjaan baik dan saat anak dapat mengambil bagian dalam sistem kemasyarakatan dan menjadi berguna sesungguhnya itu adalah prestasi tertinggi tanpa harus menjadi unggul dari yang lainnya. 

picture from here
sekali-sekali ya pakai ilustrasi gambar hewan buat gambarin ilustrasi
orangtua adalah support system anak

Kalau sudah sadar sepenuhnya tentang konsep "children are born persons", pertanyaan berikutnya adalah, siapkah orangtua (saya) mendukung apapun cita-cita anak kelak?



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...