August 27, 2020

Mati-matian Matematika - KAMISAN 27.08.2020

"Selama gagasan “faculties” [bahwa akal budi itu terkotak-kotak dan tiap segmen berurusan dengan kemampuan spesifik] masih dipegang, wajar saja kalau para pendidik mati-matian berusaha melatih anak dalam suatu mata pelajaran yang dianggap sangat cocok untuk mengembangkan kemampuan penalaran itu, tapi sekarang kami sudah merasa yakin bahwa daya nalar itu bawaan alamiah anak yang perkembangannya tidak menunggu pelatihan dari kita." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.230

...

Saya langsung teringat pada guru Matematika di level Menengah Pertama dulu. Namanya Pak Asep, entah sekarang bagaimana kabarnya. Dulu beliau adalah guru paling menakutkan di sekolah. Saya takut jika dipanggil ke depan papan tulis untuk mengerjakan soal yang ia buat. Ia tidak marah, namun ketika tidak bisa, ia menatap siswanya seakan kami bodoh. Sejak saya menjadi guru, saya tahu betapa sulit pekerjaan pendidik untuk mendidik. Saya teringat pak Asep ini lalu berpikir bahwa "tatapan kejam" darinya adalah salah satu usaha mati-matian yang ia lakukan agar siswanya paham. Lalu, yang membuat saya tak paham adalah betapa sia-sia usaha mati-matian seperti itu karena hanya berujung pada "mati" nya rasa ingin tahu siswanya, tertumpuk rasa takut. 

picture from here


Saya percaya pada bagian "daya nalar itu bawaan alamiah anak..." ini. Bahwa pada dasarnya, setiap anak memiliki kemampuan berpikir kritis hanya bagaimana orang dewasa di sekitarnya memantiknya. Bagian ini mengingatkan saya pada Bu Wahya dari Salam Jogja. Beliau berkata bahwa contoh anak membawa naluri alamiah untuk belajar matematika adalah dengan cara mereka bermain, contohnya adalah saat bermain, anak akan langsung tersadar ketika mainannya hilang satu.  

Menariknya, kalimat yang diucapkan Bu Wahya ini membuat saya tiba-tiba berpikir untuk mengaitkan dengan tugas pendidik di sekitar anak. Hal menyadari mainannya hilang satu bukankah hanya akan terjadi pada anak yang dibiasakan untuk merawat mainannya. Bagaimana dengan anak yang tidak terbiasa merawat mainannya? Ia pasti tidak akan menyadari bahwa mainannya hilang satu. Maka dari situ saya mengambil kesimpulan, bahwa selain naluri alami, naluri tersebut tetap butuh dibantu dengan kebiasaan baik yang dilatihkan kepada anak

"Namun pendidikan butuh keseimbangan, dan kalau ada satu mata pelajaran yang terlalu diutamakan, mata pelajaran lainnya yang sebetulnya juga penting untuk mengisi benak anak akan terkesampingkan." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.231

Membaca anekdot mengenai Sir Isaac Newton mengenai 2 lubang kucing berbeda ukuran yang ia buat pada pintu di rumahnya membuat saya tertawa sepanjang hari. Rasanya konyol harus menghabiskan waktu dan tenaga membuat dua lubang di saat kita saja tidak tahu apakah kedua kucing tersebut dapat memilih lubang yang sesuai dengan yang diharapkan pembuatnya. Bukankah tidak mungkin kucing yang kecil yang disediakan lubang kecil justru memilih melewati lubang yang dibuatkan untuk kucing yang besar. Semua kemungkinan itu ada, namun tetap, saya tidak tahu alasan Sir Isaac Newton membuat dua lubang sekaligus bisa saja memang ia begitu mencintai kucing-kucingnya sehingga membuat mereka menjadi spesial dengan membuatkan masing-masing pintu untuk dilewati. "Semua  orang akan bodoh pada waktunya.", kata Mba Putri dalam diskusi yang kemudian saya tambahkan dalam hati bahwa "semua orang punya kesempatan untuk menjadi konyol jika tidak menggunakan nalarnya dengan benar.". Saya lalu teringat lagi-lagi pada kata-kata Bu Ellen yang sudah saya pakai untuk narasi sebelumnya yaitu "bijak dan bajik". Benar adanya jika ilmu hanya digunakan untuk tujuan materi dan pemenuhan keuntungan diri sendiri, maka yang ada hanyalah orang-orang pintar saja. Padahal, menjadi pintar tidaklah cukup tanpa disertai adanya sikap tanggung jawab akan ilmu yang dimiliki serta kemampuan menggunakannya dengan bijak. "Smart without attitude is NOTHING.", itu yang saya katakan pada seorang siswa saya 7 tahun lalu saat saya menemukan dirinya menyembunyikan alat tulis temannya hingga temannya menangis (anak ini saya perhatikan memiliki bakat melakukan bullying karena merasa pintar dan dapat melakukan semua yang ia mau). Seorang anak semestinya didampingi untuk memahami mengapa dan bagaimana ia harus melakukan sebuah kegiatan. Sehingga ia akan memiliki tanggung jawab akan ilmu yang ia dapat kemudian hari karena berpikir dengan hati-hati tidak hanya baik buruk bagi dirinya sendiri namun juga bagi lingkungan di sekitarnya. 

Memiliki hikmat untuk menalar dan menimbang perkara dengan benar tidak dapat dimiliki hanya dengan menjadi Juara Matematika, dan itu tugas pendidik anak menanamkan ilmu, membantu anak berlatih tanpa mengesampingkan kebajikan. Berat? setidaknya jika tujuan mulia tersebut sudah tertanam juga pada diri pendidik, tugas tersebut tidak akan membuat pendidik jadi tampak mati-matian hingga ingin mati. 


Sedang bertanya pada diri sendiri, kamu siap, Glo?



August 25, 2020

Manusia BUKAN Benda (Refleksi Drama Korea "It's Okay To Not Be Okay" - dari sudut pandang gender)

it's a screenshot picture from a video that I found here.


"Moon Gang Tae belogs to Moon Gang Tae" ~ Moon Sang Tae, It's Okay To Not Be Okay, eps. 16

.... 


Saya baru saja menyelesaikan drama It's Okay To Not Be Okay minggu ini. Saat melihat salah satu flashback masa kecil kedua tokoh kakak beradik Moon, saya merasa scene ini pendek namun mengandung makna dalam terutama bagi kaum ibu. Bagi ibu-ibu yang tidak menonton drama ini, baiklah saya ringkaskan sedikit. 

Dalam drama ada dua kakak beradik Moon, Moon Sang Tae si anak pertama yang mengidap sindrom autisme dan Moon Gang Tae sang adik yang merupakan perawat di rumah sakit jiwa. Scene yang saya ambil ini (bisa lihat cuplikannya dengan meng-klik link ini) adalah kenangan masa kecil mereka ketika sang adik yang baru pulang dengan bangga menunjukkan sabuk merahnya yang baru ia terima ke ibunya namun malah dimarahi ibunya karena ia meninggalkan kakaknya yang mengidap autis yang justru berjalan pulang sendiri sehingga terluka dalam perjalanan. Saat dimarahi, Moon Gang Tae berteriak bahwa dirinya adalah miliknya, ia bukan penjaga kakaknya, lalu menangis sambil berlari. Dalam drama tidak tampak bagaimana reaksi ibunya (hanya terlihat syok dan terdiam) setelah itu karena si sulung berlari menyusul adiknya.

Waktu melihat adegan itu, saya merasa harus menulis ini, ditambah lagi, kata-kata itu dipertegas pada akhir episode 16 saat Sang Tae pamit hendak bekerja tapi adiknya mengkhawatirkan dirinya yang selama ini selalu ia temani. 

Tahun lalu, saya mengikuti kelas gender bersama teman-teman dari Charlotte Mason Semarang, banyak hal yang didiskusikan dalam diskusi gender tersebut, yang salah satunya berelasi dengan scene yang sudah saya jabarkan di atas.

"Jiwa anak bisa berpikir dan merasa, ingin menjadi mandiridalam memilih dan bebas mengekspresikan diri, ingin dicintai dan bebas dari ketakutan, semuanya sama seperti kita. Sayang, kita sebagai orangtua acap lupa tentang itu. Dalam ketidaksabaran, kita suka lupa bahwa anak punya selera, hasrat, dan opini tersendiri. Sehari-hari kita sering memperlakukan mereka bak binatang pelihataan, atau mesin tanpa hati, atau barang pameran." ~ Cinta Yang Berpikir oleh Ellen Kristi, halaman 18.


Dalam drama It's Okay To Not Be Okay, adapula scene pada awal episode 15 di mana ibu dari Ko Moon Yeong (tokoh wanita dalam drama tersebut) yang tiba-tiba muncul kembali dan mengatakan bahwa anak perempuannya adalah lukisan  yang ia buat dan menyalahkan Moon Gang Tae karena sudah "merusak lukisan" tersebut. Si ibu dalam cerita drama ini berharap putrinya akan menjadi seperti dirinya yang berhati dingin, kuat, dan tak perlu bantuan siapapun. 

Agar mudah merelasikannya, saya akan memberi pertanyaan kepada para orangtua pembaca blog saya ini. 

"Bisakah anda marah kepada anak tetangga?"

"Mungkinkah anda memukul anak dari teman anda?"

"Lalu bagaimana dengan anak anda sendiri? Sepertnya lebih mudah marah dan meledak kepada anak sendiri ya ketimbang anak orang lain?"


Dulu, sewaktu masih bekerja menjadi guru, saya pernah sekali memikirkan kata-kata orangtua siswa yang berkata "Duh, Miss Glo ini bisa sabar banget ya sama anak saya, kalau saya udah ga tahan miss!". Nyatanya, ketika menjadi ibu, saya mengalami hal seperti tidak sabar dengan Keona. Lalu hubungannya dengan "Moon Gang Tae belongs to Moon Gang Tae." dan diskusi kelas gender tahun lalu adalah CINTA TIDAK MEMILIKI.

Saya berdiskusi dengan sesama guru yang juga memiliki anak waktu itu. Ia pun mengalami hal yang sama - tidak sabar dengan anaknya padahal dengan anak orang lain bisa sabar sekali. Lalu ini menjadi sebuah simpulan bahwa anak bukan milik orangtuanya atau milik siapapun, anak adalah miliknya sendiri. Ketika kita merasa kita MEMILIKI anak (pasangan atau siapapun di dunia ini), kita merasa BERHAK untuk melakukan apapun (coba bandingan dengan siswa yang notabene adalah anak orang lain kan tidak mungkin kita apa-apain karena anak orang to?). Maka, dengan menghilangkan  kata milik itu tadi dalam relasi kita dengan anak (pasangan atau siapapun di dunia ini), rasanya menjadi nice kepada anak (dan siapapun) akan menjadi lebih mudah -> its TRUE, saya sudah coba, ketika akan marah ke Keona langsung berpikir "ini anak titipan Tuhan, bukan milik saya jadi saya mesti bertanggung jawab akan anak ini" sambil tentu saja mengambil nafas panjang serta minum air putih agar tetap waras. Oiya, lalu apa hubungannya dengan gender? Dalam diskusi kami tahun lalu, saya merumuskan bahwa kejadian seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dimulai ketika pasangan merasa bahwa pasangannya adalah miliknya yang bebas diperlakukan apapun. Hal ini yang kemudian saya kaitkan dengan orangtua yang juga kadang bersikap kasar kepada anak.

Karena, ketika kita melabeli anak (atau orang lain) dengan kepemilikan kita, bukankah kita juga secara tidak langsung menyamakan dirinya dengan benda?

Anak bukan benda, anak adalah manusia, bukan untuk dimiliki, tapi untuk dirawat dan dibesarkan dengan baik oleh orangtuanya.


Baru saja ngaca dan refleksi lagi apa saya masih konsisten dengan yang saya tulis di sini, 

happy paren-think,




PS : Saya sedang gandrung drama Korea, namun tetap, dalam prakteknya, berusaha mengambil intisari cerita untuk saya refleksikan dengan peran saya sebagai istri, ibu, teman, anak, dsb. Semoga masih sempat menuliskan reflaksi lain nya, karena otak ini rasanya sudah penuh sekali dan sulit sekali meniatkan diri untuk membuka blog dan menulis.

August 14, 2020

Ketika Rindu

picture from here

Ketika rindu  membisu

Untaian kata tertelan masuk ke dalam palung terdalam

Dalamnya tak seorang pun tahu.

 

Ketika rindu dan kau tahu bahwa dia tak dapat dirindu

Rasanya sama seperti saat kau menahan kentut yang tak jadi.

Mual, lalu sakit…

 

Hidupku terasa lurus dan tenang, 

jauh lebih tenang dibanding sebelum bersamamu. 

Hidupku jauh terasa berwarna, 

bahkan lebih berwarna warni daripada pelangi di langit ataupun cat warna di palet murid murid kecilku. 

Hidupku penuh cinta, jutaan kecupan di pagi hari yang membangunkanku seakan menjadi suntikan vitamin C terdahsyat yang pernah aku rasakan.

........

PS : menemukan file draft yag belum selesai, tapi karena lupa ini dl nulis ttg apa, jadi yauda diposting tanpa edit apa - apa lagi. Sebuah pengingat buat diri sendiri untuk tidak menunda dan meninggalkan tulisan setengah jadi menjadi draft. Pusing sama draft-draft ini, mesti kumulai dari mana.


help, 


August 13, 2020

Embrace the World (KAMISAN - Geografi part III) 13.08.2020

" ..gambar ilustrasi yang paling awet tinggal dalam pikiran kita adalah ilustrasi yang dikonstruksi oleh imajinasi kita sendiri dari membaca deskripsi tertulis." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 228

Bacaan hari ini dimulai dari dua metode  mengajar geografi yang salah satunya sudah sempat terbahas dalam diskusi minggu sebelumnya, yakni cara kedua atau yang disebut metode panoramik. Metode lainnya yaitu inferensial yang disebutkan dalam bacaan merupakan metode yang menyesatkan serta tidak membentuk konsepsi intelektual dan imajinatif siswa akan tempat yang dipelajari, yang justru dipakai dan populer saat ini. 

Kemudian diskusi membahas mengenai perlu tidaknya memberikan ilustrasi dalam bentuk gambar maupun video. Hal ini kemudian berkaitan dengan bacaan-bacaan sebelumnya mengenai pelajaran lain yang sudah dibahas sebelumnya yaitu bahwa anak perlu dibekali dengan bacaan sastrawi dalam proses pembelajarannya. Lalu bolehkah kita lantas juga memberi ilustrasi dalam bentuk video dan gambar? Yang saya tangkap dari diskusi adalah bukan mana yang lebih baik, bacaan atau ilustrasi. Juga bukan tentang mana yang didahulukan, bacaannya atau ilustrasi gambarnya (atau video). Kata - kata Bu Ellen dalam diskusi ini saya kutip,

"...supaya anak memiliki relasi dengan pengetahuan."

Maksud dari pernyataan Bu Ellen di atas yang saya tangkap adalah metode memberikan video maupun ilustrasi tidak salah, hanya  saja sebagai orangtua dan pendamping anak belajar, kita perlu memikirkan lagi, mengenai tujuan belajar itu serta apakah cara yang kita tempuh sudah membuat anak memiliki relasi dengan pengetahuan atau hanya sekedar membeberkan fakta yang kemudian akan hilang karena tidak terekam dengan baik dalam imajinasi anak. Sehingga Bu Ellen juga menambahkan, ada baiknya jika anak yang diberikan video atau gambar dalam proses belajarnya, orangtua tetap mendampingi anak dan meminta anak untuk bernarasi karena detil deskripsi gambar dan kata sangatlah berbeda (dalam bacaan disebutkan bulu berang-berang laut yang tebal, halus, hitam legam, mengilat; namun jika dituangkan dalam bentuk gambar, yang nampak hanya bulu hitam)

"Rasanya itu cukup untuk menunjukkan jenis keakraban yang diperoleh siswa Tingkat IV dengan semua belahan dunia, berikut geografi, lansekap, sejarah, dan industri masing-masing, sekaligus dengan studi terhadap latar belakang yang mempengaruhi iklim dan mata pencaharian di sana." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 230

Tidak hanya menjalin relasi tapi juga "akrab" dengan semua belahan dunia yang juga mencangkup sejarah, industri, iklim, dan mata pencaharian di sana. Tujuan belajar geografi tidak sekedar tahu bumi, negara, isi, dan sejarahnya, namun anak betul-betul mengenal dan "akrab" dengan hal yang ia pelajari.

Hal yang sama juga berlaku untuk anak-anak pada Tingkat V dan VI. Anak membaca koran dan mencari tahu tentang negara yang dipelajari lewat buku-buku serta diharapkan untuk menerapkan pengetahuan geografi dengan menggunakan atlas tanpa diberi bimbingan pemahaman peta lagi seperti di tingkat-tingkat lebih rendah.

Jika diskusi mengenai geografi selama tiga minggu ini dijadikan sebuah film, film tersebut akan berakhir bahagia layaknya dua orang sahabat yang mengenal satu sama lain dengan baik dan berkomitmen untuk menjaga satu sama lain dengan baik pula. Sehingga upaya menyelamatkan bumi lewat tindakan seperti jeda iklim, mendaur ulang sampah, dan kegiatan lain serupa tidak hanya sekedar untuk menyelamatkan masa depan (khawatir akan masa depan Bumi pada tahun tertentu), tapi lebih daripada itu, kita sedang menyelamatkan sahabat akrab kita ini (Bumi) agar kita tak lagi sendiri karena kita selalu memiliki tempat untuk dituju.



picture from here

Facing the world
I become a part of it
I'm not alone anymore
I embrace the world
~Gojira's Embrace the World~

 Sebagai penutup, mari selalu ingatkan diri kita saat mengunjungi tempat-tempat destinasi liburan kita untuk tidak mengambil apapun dari tempat itu kecuali foto, serta tidak meninggalkan apapun (sampah dan lain-lain) kecuali kenangan dan jejak kaki. 



August 07, 2020

KAMISAN - Geografi part II 06.08.2020

"Peta dan garis kontur semacam itu bukanlah esensi dari geografi, melainkan simpulan-simpulan yang lambat laun akan diperoleh oleh siapapun ketika akal budinya sudah intim dengan suatu wilayah." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm 227


Minggu ini, kami membahas pelajaran Geografi untuk Tingkat III. Jika pada tingkat sebelumnya anak belajar mengenal lingkungan terdekatnya, kali ini anak mulai "menjelajahi" negara di sekitar negaranya. Pendidik membantu anak untuk membayangkan gambaran dari negara tersebut yang diawali dari survey tentang negara-negara tersebut. Dalam diskusi, saya menangkap adanya perbedaan antara pembelajaran Geografi dan Sejarah. Jika Sejarah yang mempelajari waktu tertentu dimulai dengan cakupan yang luas lalu mengerucut kecil, sebaliknya, Geografi yang mempelajari ruang dimulai dari lingkungan terkecil lalu mencangkup lingkungan besar di sekitarnya. Seperti yang disampaikan oleh Mba Putri dengan mengaitkan hal tersebut dengan kondisi Indonesia, yaitu jika pada tingkat sebelumnya anak belajar mengenai Indonesia, pada Tingkat III ini, anak belajar bagaimana posisi Indonesia di dunia (Asia Tenggara, Asia, dst) dan negara di sekitarnya. Sehingga sampai di sini saya dapat memahami bagaimana peta bukanlah merupakan esensi utama belajar Geografi namun membantu kita untuk menarik simpulan dari setiap tempat yang sudah dijelajahi baik lewat tulisan maupun saat berhadapan menjelajahi secara langsung.

"Dari petilan itu terlihat bagaimana fakta-fakta geografis diperkenalkan secara santai, seolah-olah cerita seorang musafir yang bepergian melintasi negara itu." 
~ Charlotte Mason, vol.6, hlm 226


Bagian ini mengingatkan saya tentang seorang kawan yang merupakan penulis novel fiksi. Saat menggarap novel-novelnya, ia selalu mengambil waktu untuk travelling. Ia sering bercerita tentang tempat yang ia kunjungi dan berharap suatu hari dapat mengunjungi Semarang juga. Saya pernah bertanya padanya, jika ia terlalu repot mengurus naskah dan lain-lain, mengapa masih harus meluangkan waktu menjelajah Indonesia. Waktu itu, Mba Enno (ya nama novelis kawan saya itu Mba Enno atau biasa disebut dengan nama pena nya yaitu Kireina Enno) mengatakan bahwa untuk menulis novel fiksi saja, ia tetap perlu memetakan lokasi yang ia pakai sebagai setting cerita dalam naskah novelnya. Ia menambahkan bahwa ia mau pembacanya mendapat sensasi sedang menjelajah tempat tersebut saat membaca novel fiksi nya sekalipun itu novel dengan genre roman. 

Maka, ketika membaca lagi petikan kalimat bahan diskusi kemarin, saya menyimpulkan bahwa membaca itu perlu, namun sebaiknya tetap disertai dengan pengalaman menjelajah langsung (baik langsung berhadapan dengan tempat yang dipelajarai, maupun mengimajinasikannya seperti yang dikatakan bu Ellen tentang gundukan pasir yang diibaratkan Gunung Sahara). Jika sebelum ini perjalanan saya keluar kota hanya sebatas perjalanan pekerjaan atau hiburan jalan-jalan semata, lain waktu saya berharap dapat diberi Tuhan kesempatan menjelajah lagi bersama Keona dan suami tentunya selain hiburan jalan-jalan, saya tahu saya punya tujuan lebih mulia yaitu mengenalkan dunia ini pada Keona.

Bromo, 27 Juni 2017


Terakhir, semoga pandemi ini segera berakhir sehingga cita-cita mulia para orangtua lain yang akan mengenalkan dunia ini kepada anaknya akan segera terlaksana. 


Sudah rindu jalan-jalan,



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...