July 13, 2019

I am (NOT) Okay

A year ago, everything was different. And now that I look back, I realize that a year can do a lot to a person. ~
I am okay to be alone rather than in a crowd going to wrong direction.
picture from here

...

"Kamu yang diajak papa pergi tuh", ujar mama dengan nada lirih.

"Lha mama ga ikut?" tanyaku kemudian.

"Ngga, lha wong papa ngajak kamu alesannya kamu doang yang punya paspor koq, mama kan ga punya", mama sedikit mengomel kemudian.

"Yahh, kalo gitu Keona aq bawa ya ma," pintaku sambil berusaha mengambil Keona dari gendongan mama.

"Ngga usah, Keona biar temenin mama", mama menghindari tanganku.

Lalu kemudian papa dan saya naik pesawat. Papa diam saja selama proses check in, sehingga saya yang setengah sedih karena lihat Keona menangis minta ikut jadi ikut diam saja. Saya masuk ke pesawat, duduk, dan termenung. Kemudian saya sadar satu hal, SAYA SALAH NAIK PESAWAT, karena papa tidak ada di samping saya ketika pesawat lepas landas.

....


Terbangun dari tidur, lagi, saya mimpi tentang papa yang mengajak saya pergi. Terakhir rasanya sudah beberapa tahun yang lalu ketika saya bermimpi papa mengajak saya pergi naik bis tapi lalu saya ketinggalan bis.
Dua hari terakhir memang saya memikirkan papa. Teringat jelas kata-kata beliau "nanti kamu kalau sudah jadi dewasa baru tahu rasanya" setiap saya merengek sewaktu kecil. Saya mewarisi idealis papa. Aneh, hal sama yang orang lontarkan kepada saya dan papa dengan dua masalah berbeda. Kami sama-sama punya cara pandang tertentu mengenai kebenaran. Pernah suatu saat papa bercerita tentang korupsi yang dilakukan oleh atasannya, namun saya tak tahu ending dari cerita tersebut, apa yang akhirnya papa lakukan saat itu.

Saya kepikiran papa bukan sedang kangen, tapi saya penasaran, kalau papa jadi saya dengan permasalahan saya baru-baru ini, kira-kira papa bakal ngapain. Melihat sesuatu yang tidak benar terjadi di depan mata sungguh tidak enak, mau "go againts" posisi lemah, mau menyerah, kok tidak rela karena tahu harusnya bagaimana 😢

Ah papa, saya belum minta dijemput sekarang, kalau nanti malam datang lagi lewat mimpi, tolong kasih tahu saja anakmu ini mesti gimana... Bukan malah ngajak pergi 😢

Katanya, galau itu baik, pertanda saya masih berpikir, tapi galau yang kali ini meresahkan :(

April 13, 2019

OBEY not OBEY

Prinsip otoritas dan ketaatan harus dibatasi oleh respek pada kepribadian anak. Otoritas bukanlah lisensi untuk menyakiti anak. Orangtua dilarang mempermainkan rasa cinta, rasa takut, sugesti, atau kharisma, atau hasrat – hasrat alamiah anak lainnya. ~ Butir keempat dari 20 butir filosofi pendidikan Charlotte Mason

Keona yang sedang memotret papa mamanya waktu liburan beberapa minggu yang lalu.


Dalam bukunya, bu Ellen menulis :
Charlotte mengkritik keras orangtua yang menyelewengkan otoritasnya. Otoritas, kata Charlotte, seharusnya diabdikan untuk memberi manfaat dan melayani kepada pihak yang berada di bawah otoritas itu. “Orangtua yang sewenang-wenang, yang rewel, yang menuntut sikap hormat dan ketaatan semata-mata karena dia adalah orangtua, demi kebanggaan dan kesombongannya sendiri, sama payahnya dengan orangtua yang (tidak bisa menjalankan otoritas sama sekali dan) menghamba kepada anak-anaknya” (Vol. 2, hlm. 13).
Batasan yang jelas terhadap otoritas orangtua adalah kedudukan anak sebagai pribadi yang unik, istimewa, dan berharga. Menaruh respek pada kepribadian anak berarti orangtua secara tulus memberi ruang kepada anak untuk menjadi dirinya sendiri, menghargai hak anak untuk memilih dan menjadi individu yang autentik. Orangtua melanggar batas – batas otoritasnya jika mulai memanipulasi rasa takut anak (“Kalau kamu ga nurut, mama ga sayang lagi sama kamu!”), rasa cinta atau kekaguman anak terhadapnya (“kalau kamu sayang mama, nurut dong!”), dst.
~ Cinta Yang Berpikir, halaman 24 dan 26

Jika membaca buku tulisan bu Ellen secara utuh, saya merefleksikannya dengan perilaku orangtua (mungkin saya pun masih sesekali begitu) yang “memanfaatkan” cinta anak untuk meMENANGkan kepatuhan mereka.
Belum sampai di situ karena yang menggangu pikiran saya adalah ketika saya merelasikan butir keempat tadi dengan relasi saya dengan orang dewasa (tidak hanya dengan anak-anak). Hal ini kemudian membawa saya pada ingatan menonton episode MasterChef (baca kisahnya di sini) beberapa minggu yang lalu ketika dua peserta harus keluar karena inti dari masakan mereka (daging ayam dan bebek) belum matang. Jika dirunut, kesemua butir filosofi ini sebenarnya membantu kita menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik, seperti misalnya habit of perfect execution yang saya bahas pada post sebelum ini.
Ada seorang peserta lain yang saya perhatikan, yaitu Rama. Saat juri sedang menilai hasil masakan dua peserta yang dagingnya belum matang tersebut, Rama berkata hal semacam “wah kalau dia lolos padahal dagingnya belum matang, besok lagi saya bakal masak enak tapi dagingnya ga perlu matang gapapa”. Statement tersebut sudah mengganggu saya untuk lebih dari seminggu saya pikirkan. Mari berefleksi, berapa dari kita yang masih suka “aku bakal begitu, kalau kamu begini”?

Butir keempat filosofi Charlotte Mason ini menjawab sudah kegundahan hati saya saat mendengar statement Rama tersebut. Ketaatan/ kepatuhan/ kebaikan/ habit tertentu TIDAK BOLEH TERPENGARUH pada perilaku orang lain, let me simplify, kalau mau baik ya baik aja ga usah nunggu orang lain baik dulu. Rama kalau mau baik, mau masak dengan sempurna, ya buat aja sempurna, ga perlu terpengaruh sama hasil orang lain yang mungkin ga sempurna tapi diterima. In addition, kita tidak boleh menjadikan “ketidaksempurnaan” orang lain untuk menjadi “excuse” kita agar bisa “ikutan” tidak sempurna juga. Contoh, di tempat kerja (yang lama), suami hanya berdua saja di kantor dengan partmernya karena itu adalah kantor cabang. Tidak ada bos, teman kantor yang satu-satunya sering telat, menggoda sekali untuk suami ikut-ikutan “ga patuh” dan ikut terlambat. Tapi waktu itu, suami memilih untuk tetap datang tepat waktu dengan alasan sederhana yang dia bilang “ya neg aku mau ontime ya ontime aja, ngopo ngenteni mas *** ontime sik” (translate : ya kalau saya mau datang tepat waktu ya tepat waktu aja, ga perlu menunggu si teman kantor untuk datang tepat waktu juga.).

Conclusion : kalau kita sudah punya metal “GA TERPENGARUH” dengan perilaku orang lain ini, mau habit dan kebiasaan baik apapun pasti tidak akan sulit dilakukan.
So, readers be good all the time to all people no matter what.



Xoxo, 



PS : kemarin saya dapat mention di akun Instagram saya dari seorang reader blog saya ini. Terima kasih buat semua yang sudah baca tulisan - tulisan saya ini, semoga tulisan saya bisa terus bermanfaat buat teman-teman ya :)

March 30, 2019

(not) being perfectionist

The unexamined life is not worth living. ~ Socrates
..................................................................


Happy New Year !!!
Ini post pertama saya di tahun 2019. Akhirnya bisa mampir lagi setelah berkutat dengan “dunia nyata” yang selalu saya dambakan ketika dulu hanya sibuk di “dunia maya”.
Tahun ini, setelah pada tahun sebelumnya saya bertemu dengan banyak orang (yang menurut saya berada dalam frekuensi yang sama), saya (si tukang mikir ini) memutuskan untuk belajar selalu merefleksikan semua yang saya pikirkan, tidak berhenti sampai hanya dipikirkan, tapi kembali ke kebiasaan lama untuk merenungkannya. Jika ada dari teman sekalian yang suka berefleksi juga, mari saya ajak untuk kita memikirkannya bersama.
Well, singkatnya, beberapa hari yang lalu, saya berefleksi setelah melihat acara TV tentang memasak. Dalam acara itu, ada beberapa peserta lomba memasak yang dinilai gagal mengeksekusi tantangan sehingga mereka yang gagal ini (ada 6 orang) diminta untuk mengikuti pressure test yang mana mereka harus memasak dengan bahan yang unexpected dan alat seadanya dalam waktu hanya 60 menit saja. Dalam pressure test  tersebut, ada 2 peserta yang melakukan “kesalahan”. Kesalahan mereka sama, yaitu ayam dan bebek yang mereka masak BELUM MATANG. Reaksi kecewa juri dan peserta lain membuat saya berpikir, mereka beberapa kali mengatakan bahwa kedua orang yang gagal dan pulang ini adalah orang-orang dengan POTENSI baik, yang sebenarnya hanya melakukan “KESALAHAN KECIL” saja. Kalau dari kacamata orang biasa, memang kesalahannya “HANYA” pada inti masakan yang tidak matang, padahal yg lain makanannya ga istimewa tp kenapa lolos?
Kemudian saya teringat tentang “HABIT OF PERFECT EXECUTION” yang memang baru-baru ini saya highlight (karena sayapun merasa saya masih butuh belajar menerapkan hal ini). Perfect execution tidak sama dengan being perfectionist, OCD, atau nilai 100. Jika kita merelasikannya dengan acara TV tentang memasak ini, perfect execution itu tentang mengerjakan sesuatu dengan SEBAIK-BAIKNYA. Baik itu ukurannya apa? Ukurannya adalah POTENSI DIRI. Jadi, definisi habit of perfect execution dr hasil refleksi saya adalah MELAKUKAN SESUATU SEBAIK-BAIKNYA sesuai dengan POTENSI diri. Maka, ini berarti untuk memunculkan “Habit of Perfect Execution” ini, yang pertama dilakukan adalah mengukur potensi diri sendiri terlebih dahulu. Jika kita tahu dan sadar bahwa potensi itu belum (atau tidak ada) ada, maka sama saja dengan bunuh diri jika kita memaksakannya. Sehingga ada baiknya bagi kita untuk memapukan diri terlebih dahulu, memunculkan potensi, supaya dapat melakukan habit of perfect execution ini.
Chef juri dalam acara TV tersebut kecewa karena dua orang yang gagal dan pulang adalah orang yang sesungguhnya memiliki POTENSI, mereka mampu, namun eksekusinya TIDAK MAKSIMAL. Saya sempat berdiskusi dengan suami mengenai waktu memasak yang menurut suami sangat pendek. Namun coba bandingkan dengan peserta lain yang mampu membuat masakannya matang dalam waktu yang sama. Jadi sesungguhnya waktu bukanlah excuse untuk tidak mengerjakan tugas sebaik-baiknya jika memang kita punya POTENSI. Sama halnya dengan deadline pekerjaan misalnya, bukan berarti karena deadline yang mepet membuat tugas dikerjakan asal-asalan hanya demi memenuhi deadline saja kan?
Maka, akan menjadi wajar jika orang lain yang sudah melihat potensi kita menjadi kecewa ketika kita tidak mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Kecewa karena sudah expect sesuatu dari kita dengan potensi yang kita miliki, tapi kita tidak memenuhi ekspektasi tersebut. Rasa kecewa tersebut dapat berupa omelan, surat peringatan, dan lain-lain.
Renang pertama Keona di usia 3 tahun :)
Jika ada ibu-ibu yang membaca tulisan saya ini, mari kita relasikan hal ini pada pengasuhan anak. Jelas dengan pasti bahwa anak belum bisa menilai potensi kita untuk menjadi ibu yang baik bagi mereka (toh mereka juga tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga mana), tapi anak-anak dapat merasakannya. Mereka tak berdaya, berbeda dengan atasan yang mungkin bisa langsung memecat, anak akan cenderung mengekspresikan kecewanya dengan beragam cara seperti misalnya tantrum, berteriak, dan banyak hal ajaib lain yang justru akan semangin membuat ibu semakin jengkel.
Saya bukan ibu yang sempurna yang selalu memaksimalkan potensi. Tapi sebuah pengingat saya putar selalu “jika saya tahu hal yang benar namun tidak melakukannya, maka saya berdosa”, sehingga proses belajar menggali potensi tersebut akan menjadi bermakna karena saya ingin melakukan yang benar dengan sebaik-baiknya. Semoga refleksi ini dapat membuat hari-hari kita menjadi lebih baik.
Terima kasih

Selamat malam
Image and video hosting by TinyPic


PS: berikut saya post beberapa foto liburan dua minggu yang lalu ke Jogja saat merayakan ulang tahun Keona.



dan dia sudah berani
tiup lilin di samping kolam hotel, one of her bucket list


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...