"Selama gagasan “faculties” [bahwa akal budi itu terkotak-kotak dan tiap segmen berurusan dengan kemampuan spesifik] masih dipegang, wajar saja kalau para pendidik mati-matian berusaha melatih anak dalam suatu mata pelajaran yang dianggap sangat cocok untuk mengembangkan kemampuan penalaran itu, tapi sekarang kami sudah merasa yakin bahwa daya nalar itu bawaan alamiah anak yang perkembangannya tidak menunggu pelatihan dari kita." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.230
...
Saya langsung teringat pada guru Matematika di level Menengah Pertama dulu. Namanya Pak Asep, entah sekarang bagaimana kabarnya. Dulu beliau adalah guru paling menakutkan di sekolah. Saya takut jika dipanggil ke depan papan tulis untuk mengerjakan soal yang ia buat. Ia tidak marah, namun ketika tidak bisa, ia menatap siswanya seakan kami bodoh. Sejak saya menjadi guru, saya tahu betapa sulit pekerjaan pendidik untuk mendidik. Saya teringat pak Asep ini lalu berpikir bahwa "tatapan kejam" darinya adalah salah satu usaha mati-matian yang ia lakukan agar siswanya paham. Lalu, yang membuat saya tak paham adalah betapa sia-sia usaha mati-matian seperti itu karena hanya berujung pada "mati" nya rasa ingin tahu siswanya, tertumpuk rasa takut.
picture from here |
Saya percaya pada bagian "daya nalar itu bawaan alamiah anak..." ini. Bahwa pada dasarnya, setiap anak memiliki kemampuan berpikir kritis hanya bagaimana orang dewasa di sekitarnya memantiknya. Bagian ini mengingatkan saya pada Bu Wahya dari Salam Jogja. Beliau berkata bahwa contoh anak membawa naluri alamiah untuk belajar matematika adalah dengan cara mereka bermain, contohnya adalah saat bermain, anak akan langsung tersadar ketika mainannya hilang satu.
Menariknya, kalimat yang diucapkan Bu Wahya ini membuat saya tiba-tiba berpikir untuk mengaitkan dengan tugas pendidik di sekitar anak. Hal menyadari mainannya hilang satu bukankah hanya akan terjadi pada anak yang dibiasakan untuk merawat mainannya. Bagaimana dengan anak yang tidak terbiasa merawat mainannya? Ia pasti tidak akan menyadari bahwa mainannya hilang satu. Maka dari situ saya mengambil kesimpulan, bahwa selain naluri alami, naluri tersebut tetap butuh dibantu dengan kebiasaan baik yang dilatihkan kepada anak.
"Namun pendidikan butuh keseimbangan, dan kalau ada satu mata pelajaran yang terlalu diutamakan, mata pelajaran lainnya yang sebetulnya juga penting untuk mengisi benak anak akan terkesampingkan." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.231
Membaca anekdot mengenai Sir Isaac Newton mengenai 2 lubang kucing berbeda ukuran yang ia buat pada pintu di rumahnya membuat saya tertawa sepanjang hari. Rasanya konyol harus menghabiskan waktu dan tenaga membuat dua lubang di saat kita saja tidak tahu apakah kedua kucing tersebut dapat memilih lubang yang sesuai dengan yang diharapkan pembuatnya. Bukankah tidak mungkin kucing yang kecil yang disediakan lubang kecil justru memilih melewati lubang yang dibuatkan untuk kucing yang besar. Semua kemungkinan itu ada, namun tetap, saya tidak tahu alasan Sir Isaac Newton membuat dua lubang sekaligus bisa saja memang ia begitu mencintai kucing-kucingnya sehingga membuat mereka menjadi spesial dengan membuatkan masing-masing pintu untuk dilewati. "Semua orang akan bodoh pada waktunya.", kata Mba Putri dalam diskusi yang kemudian saya tambahkan dalam hati bahwa "semua orang punya kesempatan untuk menjadi konyol jika tidak menggunakan nalarnya dengan benar.". Saya lalu teringat lagi-lagi pada kata-kata Bu Ellen yang sudah saya pakai untuk narasi sebelumnya yaitu "bijak dan bajik". Benar adanya jika ilmu hanya digunakan untuk tujuan materi dan pemenuhan keuntungan diri sendiri, maka yang ada hanyalah orang-orang pintar saja. Padahal, menjadi pintar tidaklah cukup tanpa disertai adanya sikap tanggung jawab akan ilmu yang dimiliki serta kemampuan menggunakannya dengan bijak. "Smart without attitude is NOTHING.", itu yang saya katakan pada seorang siswa saya 7 tahun lalu saat saya menemukan dirinya menyembunyikan alat tulis temannya hingga temannya menangis (anak ini saya perhatikan memiliki bakat melakukan bullying karena merasa pintar dan dapat melakukan semua yang ia mau). Seorang anak semestinya didampingi untuk memahami mengapa dan bagaimana ia harus melakukan sebuah kegiatan. Sehingga ia akan memiliki tanggung jawab akan ilmu yang ia dapat kemudian hari karena berpikir dengan hati-hati tidak hanya baik buruk bagi dirinya sendiri namun juga bagi lingkungan di sekitarnya.
Memiliki hikmat untuk menalar dan menimbang perkara dengan benar tidak dapat dimiliki hanya dengan menjadi Juara Matematika, dan itu tugas pendidik anak menanamkan ilmu, membantu anak berlatih tanpa mengesampingkan kebajikan. Berat? setidaknya jika tujuan mulia tersebut sudah tertanam juga pada diri pendidik, tugas tersebut tidak akan membuat pendidik jadi tampak mati-matian hingga ingin mati.
Sedang bertanya pada diri sendiri, kamu siap, Glo?
No comments:
Post a Comment
your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.