October 02, 2020

Kekuatan Pendidikan Karakter - Penerapan Teori part III (KAMISAN 1 Oktober 2020)

"Apabila kita menyadari bahwa akal budi dan pengetahuan bagaikan bola mata dengan rongga mata, bagaikan dua bilah penyusun gunting, yang mesti berpasangan, yang kalau satu tidak ada maka yang lain tidak bisa bekerja, dan baru bisa bekerja dengan baik kalau ada keserasian, maka kita jadi paham bahwa fungsi kita sebagai guru adalah untuk memasok anak-anak dengan porsi pengetahuan yang mereka butuhkan; dan kemudian segala macam urusan soal karakter dan perilaku, efisiensi dan kesanggupan, juga keagungan jiwa (magnanimity) – kualitas tertinggi yang bisa dimiliki seorang warga negara – semua itu akan terwujud dengan sendirinya. “Kok bisa?' protes si guru yang seumur hidupnya dihabiskan dalam kerja keras sia-sia ala Sisyphus." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 240

Panjang ya kalimat kutipan di atas? Saya mau memotong kalimat tersebut tapi semua bagian kalimat merupakan kata-kata penting yang rasanya sayang kalau dipotong meski hanya di bagian setelah titik koma sekalipun. Minggu-minggu sebelum ini, topik akal budi dan pengetahuan semestinya berjalan selaras sudah banyak dibahas - satu dan yang lain tidak ada yang lebih penting. Keduanya sama penting karena satu tanpa yang lainnya juga akan sia-sia tak berguna seperti dua bilah penyusun gunting. Tepuk tanganpun tidak akan disebut tepuk tangan jika hanya satu tangan tanpa ada tangan lain untuk ditepuk.

Saya tertarik dengan kata Sisyphus dalam bacaan hari ini - jujur ini pertama kalinya mendengar kata itu. Lalu di tengah diskusi, saya berusaha mencari tahu di mesin pencari Google mengenai Sisyphus  ini - membaca sepintas bahwa itu adalah salah satu dari mitologi Yunani dengan ilustrasi seorang pria mendorong batu besar yang besarnya lebih besar dari tubuhnya - sebuah usaha sia-sia.

Sungguh, pastilah melelahkan menjadi seseorang yang bekerja keras namun sia-sia seperti itu. Maka muncullah pertanyaan dalam diskusi, apakah dengan porsi pengetahuan saja lalu urusan soal karakter dan perilaku, efisiensi dan kesanggupan, juga keagungan jiwa (magnanimity) – kualitas tertinggi yang bisa dimiliki seorang warga negara – semua itu akan terwujud dengan sendirinya? Kalau memang begitu, lalu dimana letak habit training dan education is an atmosphere?

David Beckham and Harper, picture from here


"Para siswa, bukan guru, menjadi pihak yang bertanggung jawab; mereka menggarap materi dengan upaya mereka sendiri." ~Charlotte Mason, vol.6, hlm. 241

Bagaimana seorang anak bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab akan apa yang mereka akan pelajari? Saat membaca sekilas mengenai Sisyphus, saya menyimpulkan bahwa seorang anak harus sadar terlebih dulu bahwa dirinya tidak bisa sehingga ia dapat dibantu oleh orang dewasa yang bertanggung jawab akan pendidikannya. Saya sengaja meletakkan gambar ilustrasi David Beckham dan putrinya yang saat itu belajar naik sepeda. Seorang anak yang sadar dirinya tidak dapat naik sepeda akan mau belajar naik sepeda; bukankah hanya orang sakit yang sadar dirinya sakit yang mau dan merasa butuh mengobati dirinya. Hal sia-sia seperti gambaran Sisyphus akan terjadi jika keinginan untuk anak mau belajar justru muncul dari orangtua atau pendidik. Maka hal pertama yang dapat dilakukan orangtua atau pendidik adalah dengan memberi anak asupan ide hidup - lewat buku-buku berkualitas yang dibaca atau dibacakan anak. Lalu bagaimana ide hidup tadi memunculkan rasa ingin belajar? Anak adalah pemerhati detil, mereka akan menemukan hal yang mereka sukai dalam bacaan tersebut dan memberi mereka ide untuk belajar dan mau belajar; agar dapat menjadi individu pembelajar yang bertanggung jawab, maka di sinilah peran habit training dan education is an atmosphere. Di rumah, karena sudah terbiasa belajar atau membaca buku pada pukul 11.00, Keona yang belum dapat membaca jam tetap dapat mengingatkan saya "mama, ini sudah jamnya belajar belum? Keona belum baca buku loh hari ini.". Hal ini terjadi karena sudah tiga bulan terakhir Keona saya biasakan untuk memiliki jam belajar di jam yang sama setiap harinya - habit training

Dapatkah orangtua yang senang berada di depan gawai memiliki anak yang suka berada di depan buku? Dapatkah orangtua yang tidak suka membaca buku memiliki anak yang suka membaca buku? - tentu tidak bisa, maka di sinilah letak peran education is an atmosphere.

Well, lagi-lagi saya menanyai diri sendiri "jika saya ingin Keona menjadi manusia pembelajar yang bertanggung jawab, sudahkah saya sendiri menjadi orangtua pembelajar?" 


Berbisik dalam hati sebelum tidur, Right Thinking Right Action,




No comments:

Post a Comment

your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...