Kita semua pernah memiliki pengalaman seperti itu, dan dengan malu mengakui bahwa kita juga pernah membuat orang lain kesulitan karena tak berhasil-berhasil menemukan topik yang menarik minat kita. Ini satu persoalan yang mesti guru pertimbangkan. Ada ribuan topik yang bisa kita pelajari secara memadai sampai bisa membicarakannya secara cerdas; tapi kok kita malah menyiapkan kertas ujian dengan pertanyaan komprehensif yang umum, sehingga yang para siswa kita cari sebatas informasi sepotong-sepotong supaya bisa menuliskan jawaban esai yang ala kadarnya? ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.261
Sampai sebelum diskusi, saya meyakini bahwa mudah saja bagi seseorang dengan karakter ekstrovert untuk memulai sebuah pembicaraan - jauh lebih baik daripada orang - orang dengan karakter introvert. Namun, dalam bahan bacaan diskusi kali ini, Charlotte Mason menegaskan sekali lagi pentingnya pengetahuan dalam kehidupan sosial kita - jelas sudah mengapa memberikan pertanyaan komprehensif (yang minggu lalu dibahas), menjadi kurang relevan dalam membangun kemampuan anak seperti kemampuan sosialnya. Saya membayangkan percakapan orang yang terbiasa menjawab soal komprehensif seperti ini :
A : "wah, kamu kerja dimana?"
B : "di kantor bla bla..., kalo kamu?"
A : " aku di bla bla bla."
Lalu saat A dan B sama sama hanya memiliki kemampuan komprehensif, maka pembicaraan hanya sebatas tanya jawab saja, tanpa relasi mendalam (apalagi jika tujuannya mengobrol adalah untuk bonding, maka bonding tersebut tidak akan terjadi - terbayang dalam benak saya kalau Keona kelak pacaran dan hanya punya kemampuan komprehensi, ya kira-kira percakapan dengan pacarnya hanya seputar tanya jawab "uda makan belom?" :D - membagongkan kalau istilah anak muda jaman sekarang).
picture from here |
Belum cukup di situ, saat diskusi saya juga mencatat skill penting yang sama pentingnya selain pengetahuan itu. Sepanjang diskusi hari ini, saya merenungkan tentang mengapa Tuhan menciptakan lebih banyak telinga daripada mulut - terutama saat saya "curhat" tentang kesulitan saya menjalin komunikasi dengan orang yang memiliki interest yang berbeda dari saya. Saya cenderung menghindari obrolan yang "menurut saya" hanya bersifat "ngomongin orang" - lebih baik tidak ikut-ikut lah. Namun diskusi tadi mencerahkan :)). Dalam sebuah obrolan, penting bagi kita menentukan tujuan obrolan tersebut, maka jika tujuannya adalah untuk menjalin relasi yang baik, tidak ada salahnya jika kita tetap memberikan telinga untuk mendengarkan meskipun obrolan tersebut terasa tidak nyaman. Di situ saya merenung "oh iya bener ding, makanya Tuhan kasih 2 telinga satu mulut karena supaya manusia bisa lebih banyak mendengarkan daripada bicara - hal yang kadang orang-orang ekstrovert macam saya lupakan saat mengobrol dengan orang lain.
Maka, menyeimbangkan seluruh organ saat mengobrolpun juga bisa menjadi hal yang esensial.
Jangan hanya mau didengar, tapi coba mendengarkan.
lagi-lagi tertampar, tertohok, dan tertusuk, terima kasih diskusinya kawan-kawan
No comments:
Post a Comment
your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.