November 05, 2020

Practice the Theory - Penerapan Teori VII (KAMISAN 05.11.2020)

"Akal budi butuh asupan seperti halnya tubuh agar tumbuh dan menjadi kuat, soal ini semua orang tahu." - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 246

Seperti pada bagian awal bacaan hari ini, memang benar bahwa akal budi itu membutuhkan asupan. Kita tidak bisa diam diam saja kalau mau anak berkembang - saat kita merasa anak orang mungkin lebih baik dari anak sendiri, alih-alih merasa anak tidak memiliki kemampuan, bukankah sebaiknya kita menilik diri sendiri dulu : "apa anakku sudah terstimulus dengan baik?".

Beberapa tahun yang lalu, beberapa orangtua yang anaknya seumur dengan Nastusha (anak Chelsea Olivia- waktu itu berusia 1 tahunan) heboh dengan postingan Chelsea yang menunjukkan bahwa anaknya sudah dapat rote counting  satu hingga sepuluh dalam bahasa Inggris. Waktu itu, saya ditanya oleh sesama orangtua yang anaknnya seumur Keona dan Nastusha, "Glo, anakmu dah bisa counting?". Respon saya waktu itu "oh iya, anakku belom bisa iq ternyata", tapi untungnya waktu itu disertai dengan pemikiran "ya iyalah, mbok e sibuk kerja sing nemenin sehari-hari pengasuh yang ga ada basic Bahasa Inggris koq njaluk anak e podo". Maka, saat saya dicurhati teman-teman lain tentang anaknya koq belum bisa begini begitu kaya si ini si itu, pertanyaan saya hanya "sudah sejauh apa stimulus yang kamu kasih untuk anakmu jadi seperti si ini itu?". Jadi, jangan harap seorang ibu yang hobi ngescroll gawai berharap anaknya bisa mau tertarik membaca.

"Kita berbuat keliru ketika kita membiarkan teknik-teknik mengajar kita yang luar biasa itu malah menjadi penghalang antara anak-anak dan pengetahuan yang dibutuhkan akal budi mereka." - Charlotte Mason, vol.6, hlm. 247

Namun, Charlotte Mason menekankan bahwa hasrat akan pengetahuan adalah landasan dari semua upaya yang dilakukan orangtua atau guru. Jangan sampai justru stimulus yang kita berikan untuk anak justru menjauhkannya dari hasrat akan pengetahuan itu sendiri dan justru mendekatkannya pada hasrat lain seperti misalnya hasrat menjadi nomor satu (emulation), hasrat mendapat hadiah (avarice) hasrat mendapat kekuasaan (ambition), hasrat mendapat pujian (vanity) - vol.6, hlm.247. Maka, saat melihat anak oranglain sudah lebih terstimulus seperti contoh Nastusha yang sudah bisa berhitung urut satu sampai sepuluh itu, saat kita mengajarkan anak hal serupa, sebelumnya tilik tujuannya dulu, apakah kita melakukan itu demi pride - keren klo anakku masih setaun sudah bisa, atau demi pengetahuan.

Bahwa anak terlahir sebagai pribadi - kalimat yang selanjutnya muncul dalam bacaan ini kemudian menjadi sebuah pedoman lagi dalam kita menjalani proses memberi asupan untuk akal budi anak. Saat kita beranggapan bahwa anak adalah pribadi utuh, maka yang terjadi kemudian bukanlah kehendak semau kita saat memberinya asupan - juga bukan sikap seolah sedang mengisi ember kosong. Dua sikap yang barusaja saya tulis itu nantinya hanya akan membuat kita sebagai pendidik anak merasa capai exhausted karena merasa anak belum tahu apa apa sehingga kita berhak memberikan ilmu yang kita asumsikan dibutuhkan anak. Saya kemudian teringat pada pertemuan Kamisan tahun lalu yang membahas tentang gender - saat itu ada poin yang saya catat yaitu cinta tidak memiliki. Ketika saya kaitkan hal tersebut dengan kesadaran bahwa anak terlahir sebagai pribadi, saya lalu memikirkan "mengapa saat dengan anak orang lain, saya bisa sabar tapi dengan anak sendiri saat ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya koq saya bisa meledak?". Waktu itu kesimpulan saya adalah "karena anak orang lain bukan anak saya, mana mungkin saya mengomeli anak orang lain kan?" - jadi saat ada rasa memiliki ini, maka saya merasa bebas melakukan apa saja pada anak saya. Rasa memiliki ini juga berlawanan dengan prinsip anak terlahir sebagai pribadi - saat kita menganggap anak adalah milik, secara tidak langsung, kita menganggapnya bukan sebagai pribadi melainkan benda yang bisa kita apakan saja. Sehingga dalam prakteknya, saya selalu mengulang mantra "Keona bukan milikku, dia titipan Tuhan." saat saya sudah diambang amarah - dengan mantra itu, saya berhasil melalui hari-hari berdua saja dengan Keona di rumah tanpa teriakan marah (kalau ditanya kapan terakhir marah ke Keona, saya lupa. Mungkin sudah 2-3 bulan yang lalu).

picture from here

Pada akhirnya, saat bu Ellen membeberkan tentang tantangan menjadi orangtua dan berkata bahwa beliau sudah melalui (tidak hanya sekedar bicara teori) hal-hal tidak menyenangkan saat menjalani peran sebagai orangtua pertama kali, bahwa memiliki anak bukan sekedar memenuhi tuntutan sosial "habis nikah trus anaknya mana?", saya teringat akan tanaman telang saya yang baru kemarin tunasnya tumbuh setelah sebelumnya saya gagal dua kali dalam proses penyemaian. Dua kali gagal saat itu padahal saya menggunakan langkah sesuai teori, disemai terlebih dahulu - ternyata tunas yang berhasil tumbuh justru malah yang hanya diletakkan di tanah tanpa proses apa-apa (hanya mengandalkan proses alami). Sama seperti tanaman telang saya yang dibekali Tuhan untuk tumbuh tanpa harus melalui proses penyemaian, saat dipercaya menjadi orangtua, manusia dibekali Tuhan dengan kemampuan menjadi orangtua, namun terkadang kita terjebak dengan teori sehingga merasa proses menjadi orangtua terasa menjadi berat sekali. Saat saya belajar banyak sekali teori parenting namun gagal mempraktikannya dengan anak sendiri, rasanya sama seperti saat menyemai telang dua kali namun gagal - filosofi dan teori tidak hanya untuk dipelajari, namun juga dihayati dan dipraktikan.


Masih terus belajar untuk mempraktikan tanpa terjebak teori,

No comments:

Post a Comment

your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...