July 24, 2020

KAMISAN - Sains part III 23.07.2020

Melanjutkan bahasan minggu sebelumnya mengenai sains, kali ini bahasan sudah lebih kompleks ke tingkat yang lebih tinggi. Saat membaca pertanyaan-pertanyaan ujian pada tingkat tersebut, saya melongo, malu dengan diri sendiri seraya bertanya dalam hati "ngapain saja saya selama sekolah dulu?". 


"Yang bagus untuk satu bangsa atau satu era belum tentu bagus untuk bangsa atau era yang lain." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 222.


Dalam diskusi bersama teman-teman yang saya tangkap, ilmu tersebut sifatnya dinamis, berubah sesuai kebutuhan kondisi dalam sebuah negara saat itu. Namun saya berpikir, di Indonesia yang dinamis bukan ilmunya namun sistem pendidikan dan kurikulum seiring dengan bergantinya menteri pendidikan. Yang saya rasakan saat masih bersekolah dulu, orangtua saya selalu membeli buku paket yang berbeda untuk digunakan adik saya. Adik-adik saya tidak akan bisa menggunakan buku paket yang saya pakai pada tahun sebelumnya karena pergantian kurikulum tersebut. Lalu saya teringat akan pernyataan salah seorang teman di CMid Semarang saat kumpul 17 Agustus 2019 yang lalu (seingat saya itu Pak Einstein). Awalnya, beliau menannyakan berapa anak yang saya dan suami miliki, lalu saya menunjuk Keona yang kemudian disambung pernyataan "ahhh, kalau homeschool, kamu anaknya satu sama banyak, cost nya bakal sama, jadi mending nambah deh.". 

"...sains tidak melulu tentang melakukan pengukuran, dan melakukan pengukuran tidak melulu sains." ~ Charlotte Mason, vol. 6, hlm. 223.
Oke kembali ke topik bahasan tentang pelajaran sains lagi ya. Lalu, hal lain yang saya tangkap dari bacaan dan diskusi adalah belajar sains dengan cara memadukan pengamatan pribadi di lapangan atau praktikum di laboratorium dengan bacaan naratif-sastrawi. Ci Mulan bercerita bahwa saat mengamati kupu-kupu dan ulat selama ini, beliau "tidak didampingi" dengan bacaan naratif-sastrawi. Sebuah sharing pengalaman yang ternyata selama ini saya lakukan juga. Mudah sekali bagi generasi sekarang ini mendapatkan informasi seperti data mengenai sebuah hal yang ingin diketahui seperti kupu-kupu. Biasanya, saya langsung googling untuk mencaritahu. Saya "tidak didampingi" dengan bacaan naratif-sastrawi. Saya lalu tertawa dalam hati teringat akan narasi saya beberapa minggu lalu tentang betapa buku pelajaran di sekolah yang cenderung hanya membeberkan data, nyatanya, saya sudah terbiasa dengan hal tersebut sehingga memilih untuk "mencari data" saat ingin tahu sesuatu dalam bentuk data daripada mencari bacaan naratif sastrawi mengenainya.


Terakhir, kami juga membahas tentang bagaimana sains tidak boleh terkotak-kotakkan serta "diceraikan" dari humaniora. Pada bagian ini, saya teringat pada beberapa karya sastra beberapa penulis yang menggunakan diksi dalam sains atau bahkan film saja yang tergolong seni memiliki genre science fiction. Bukankah penulis atau pembuat film tersebut mestinya juga meneliti terlebih dulu sebelum diangkat menjadi sebuah karya? Dan itu salah satu bukti bahwa memang humaniora tidak boleh diceraikan oleh sains dan sebaliknya. 

picture from here

Penyesalan selalu datang terlambat, sama seperti ketika saya lagi-lagi berpikir "ahhhhh, kenapa baru sadar sekarang sih? tahu gitu kan dulu skripsi Deconstructing Superman saya dapat lebih kaya pembahasannya jika tak hanya membahas sektor budaya dan art.". Untungnya, penyesalan tersebut datang bersama dengan rasa syukur yang sama seperti minggu sebelumnya "untung Keona besok tak harus menjalani pendidikan yang sama seperti saya.".


Thank you CMers untuk diskusinya,

No comments:

Post a Comment

your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...