... dan mereka cepat melakukan koreksi ketika gambar mereka tidak sesuai dengan yang mereka lihat di dunia nyata. ~ Charlotte Mason (vol.6, hlm. 217)
...
Saat sesi Kamisan kemarin, saya seperti diingatkan lagi tentang kekeliruan saya tahun lalu menggunakan "Habit of Perfect Excecution" sebagai pembenaran diri untuk setiap ketelitian yang saya tuntut dari orang di sekitar saya. Waktu itu saya baru kenal Charlotte Mason hanya kulit luarnya saja, istilahnya kalau baca Alkitab ya baru baca seayat tapi sudah sok kotbahin orang lain seakan tahu isi seluruh kitab suci. Maka, tahun lalu saya mencoba belajar bahwa standart sempurna setiap orang berbeda dan Habit of Perfect Excecution juga bukan tentang standart sempurna itu namun bagaimana sesuatu dikerjakan dengan maksimal sesuai kapasitas individu sehingga setiap orang pasti memiliki standart yang berbeda. Sejak tahun lalu, saya mulai belajar untuk tidak menuntut pekerjaan orang lain atau anak untuk berada di standart saya. Jika saya sanggup menggunting 7 gambar orang dalam satu jam, belum tentu orang lain akan mampu mengerjakan hal yang sama bisa jadi dalam satu jam orang lain dapat mengerjakan hanya 5 atau bahkan dapat menyelesaikan lebih dari 10. Hal ini saya refleksikan lagi kemarin dalam Kamisan dalam topik bahasan seni. Karena sudah setahun belajar untuk tidak menerapkan standart saya pada orang lain, kalimat "....dan mereka cepat melakukan koreksi ketika gambar mereka tidak sesuai dengan yang mereka lihat di dunia nyata." membuat saya tenang karena walaupun tidak dituntut memenuhi standart orang lain (dalam konteks ini guru dan orangtua yang menjadi guru anak pertama di rumah), anak tetap belajar untuk mengoreksi sendiri kesalahannya dengan menggunakan standart dunia nyata. Intinya, sebenarnya kita para guru atau orangtua tidak perlu loh cape cape cerewetin anak ini itu jika kita sudah menunjukkan hal yang benar kepada anak, karena anak akan otomatis memperbaiki kesalahannya jika sudah memperhatikan hal yang benar tersebut. Lalu, tugas penting yang mesti kita emban sebagai pendidik adalah bagaimana kita menunjukkan hal benar tersebut dan memaparkannya kepada anak, tidak hanya seni, tapi juga seluruh aspek kehidupan anak. Gampang? Raising children, raising ourselves, kuncinya kita juga harus upgrade dan banyak banyak "ngaca".
Selesai Kamisan, Keona lanjut baca Alkitab yang sudah kami lakukan tiga hari ini sambil mendiskusikannya. Kami baru sampai pada Kejadian 1 : 10 kemarin, lalu mendapat ide untuk meminta Keona menggambarkan yang ia tangkap melalui bacaan tersebut. Kumpulan air ia gambar dengan bentuk lingkaran yang ia bilang "kolam renang" lalu tak lupa ia juga menambahkan "prosotan". Pada saatnya nanti, saya percaya, ia akan menertawai sendiri hasil gambarnya masa kecil ini.
hasil gambar Keona tentang "kumpulan air", ia juga merelasikannya dengan bekas ompol di kasur. |
Lalu setelah itu, topik bahasan berlanjut pada topik musik. Saat menerima bahan bacaan beberapa hari sebelumnya, saya cukup kaget karena bacaan tentang musik ini hanya sedikit. Tapi dari bacaan pendek tersebut, saya berhasil kembali pada masa kecil saya dulu. Saat itu, orangtua saya terbiasa memaparkan anak-anaknya dengan musik. Setiap pagi, kami anak-anaknya disetelkan hymn lagu lagu gereja dengan alasan "supaya anak-anak bangun". Tapi efek jangka panjang dari pemaparan musik-musik itu saya rasakan pada saat saya berada dalam titik terendah hidup. Entah darimana datangnya, rasanya masa-masa sulit dapat dilalui dengan tenang saat mengingat penggalan-penggalan lirik lagu-lagu hymn yang saya dengar sewaktu saya kecil itu. Energi yang dihasilkan mampu membuat saya bangkit dan melalui hari-hari berat tersebut. Merasakan efek positif dari pemaparan lagu-lagu itu, saya melanjutkannya dengan membiasakan memasang lagu hymn atau rohani di pagi hari dengan harapan efek positif yang sama akan dirasakan Keona kelak. Lalu, belajar dari begitu kuatnya sebuah lagu membantu saya saat itu melalui masa sulit, selain memperdengarkan hymn dan lagu rohani di pagi hari, saya dan suami membuat sebuah program "pemaparan lagu" ke Keona dengan cara lain. Setiap malam, setelah berdoa tidur, Keona kami ajari sebuah lagu sekolah minggu yang sederhana selama satu bulan, dan setiap bulannya akan diajarkan lagu baru sambil tetap mereview lagu bulan sebelumnya. Waktu itu tujuan kami sederhana, Keona suka sekali bernyanyi, maka kami ingin ia menyanyikan lagu sekolah minggu karena kami berharap saat ia sedang bermain (dan mungkin waktu itu adalah titik terendah kami) ia bernyanyi lagu yang tanpa sadar menguatkan kami. Tiga bulan yang lalu, Keona kami ajarkan lagu Allahku Besar dengan lirik seperti ini :
Allahku besar, kuat dan perkasa, tiada yang mustahil baginya o..o.. )2x
Gunung miliknya, sungai miliknya, bintang-bintang ciptaannya o..o..
Allahku besar, kuat dan perkasa, tiada yang mustahil baginya o..o..
Kami belum merasakan efeknya secara langsung, namun energi positif tersebut justru terbawa ke eyang Keona yang bulan lalu sakitnya memasuki stadium lebih tinggi. Sejak sakitnya semakin parah, kami berusaha membawa Keona ke rumah eyang sebagai suntikan semangat untuknya. Tanpa disadari, Keona yang menunggui eyang sambil bermain ini menyanyikan lagu tersebut saat bermain. Lagu itu terdengar oleh eyangnya dan menjadi semacam lagu wajib sehingga selalu dinyanyikan oleh seluruh anggota keluarga. Tentu saja, lagu tersebut membawa energi luar biasa dan mendatangkan pengharapan untuk keluarga terutama eyang yang sakit.
... apresiasi musik tidak ada hubungannya dengan bisa bermain piano. ~ Charlotte Mason (vol 6, hlm. 218)
Walau begitu, kami masih berharap suatu hari nanti Keona berkata "ma, aku mau les piano".
Thank you CMers untuk diskusinya..
No comments:
Post a Comment
your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.