Namun, lebih sering kita mendapati sains itu dingin, tidak membuat kita terinspirasi; kegunaan dari temuan-temuan ilmiah tidak memantik keluhuran dalam diri kita, meskipun sangat memikat dan terasa mendesak godaannya bagi hasrat-hasrat rendahan kita. Namun yang salah bukanlah sains itu sendiri - secara religius, bisa kita bilang sains sebagai modus pewahyuan kebenaran yang dikaruniakan pada generasi kita? - melainkan cara kita mempresentasikan sains lewat fakta dan angka dan demonstrasi yang maknanya bagi audiens betul-betul sebatas pernyataan ilmiah itu saja, tanpa pernah mepertunjukkan keajaiban dan agungnya cakupan makna dari hukum alam yang disingkapkannya. ~Charlotte Mason, vol.6, hlm.318
Sains nya ga salah, gapapa loh belajar sains, tapi di sini Charlotte Mason menegaskan bahwa menjadi salah jika cara belajarnya hanya berfokus pada fakta, angka, dan demonstrasi saja tanpa menunjukkan keajaiban alam semesta karena sejatinya selain menjadi sebuah ilmu, sains itu sendiri disebut sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran hukum alam. Indah banget ya penggambaran bu Charlotte soal sains ini.
Hari ini, bahasan itu semakin diperdalam lagi.
bahwa kita semua ikut bersalah bahkan untuk pelanggaran yang dilakukan individu tertentu; dan sedikit banyak kita meyakini omongan itu karena para leluhur kita telah mengatakannya; demikianlah dulu para nabi merendahkan diri mereka di hadapan TUHAN, dan meratapi dosa bangsanya sebagai dosanya sendiri yang amat besar. Kita pun merunduk saat menerima hajaran, tapi sejatinya sikap kita masih kabur dan, dalam hal ini, tidak tulus. ~Charlotte Mason, vol.6, hlm.318-319
Kosong, disebutkan bahkan moment pertobatan sudah terasa jadi cuma rutinitas saja cuma tradisi - merunduk menerima hajaran tapi sikapnya tidak berubah karena tidak tulus.
Maka proses belajarpun juga diibaratkan serupa - cuma sebagai tradisi turun temurun diterima ilmunya, sudah cukup. Kehampaan melahirkan kehampaan, begitu tulis Charlotte Mason pada paragraf berikutnya, maka tradisi "kosong" seperti ini ya terus berlanjut dari generasi ke generasi. Manusia semakin lupa bahwa hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani saja (dalam bacaan disebut soal "roti"), tidak lagi menganggap penting nilai apapun kecuali uang, anak muda tak lagi punya visi, "selama ada uang di dalamnya" hayuklah kerjakan, apa itu renjana? Kalau tidak menghasilkan uang, buat apa.
selama ada uang di dalamnya! pict. from here |
Semua hal dilihat dari materinya "Apa untungnya buat aku?", kalau tidak menguntungkan ya sudah buang jauh jauh hal itu. Rasanya miris saat membaca bagian berikutnya yang membahas soal serikat pedagang yang awalnya memiliki watak cara kerja yang fair, transaksi yang jujur dan setia pada perjanjian pun pada akhirnya luntur karena dominasi gilda dagang yang menganggap hal itu tidak berguna dan lenyap di dalam tong sampah (vol.6, hlm.320). Kemudian rasa miris itu berubah jadi refleksi diri. Teringat beberapa waktu yang lalu menonton drama Korea, ada satu episode saat si pengacara sadar bahwa klien yang ia bela ternyata salah dan hanya mengejar keuntungan pribadi. Walaupun kliennya kalah waktu itu, tapi dia merasa bersalah dengan lawan karena meskipun lawan menang, lawan mengalami kerugian lewat kasus hak cipta mesin ATM itu, padahal sebelumnya pihak lawan sempat berusaha mengajaknya bicara, bertanya apakah kamu nantinya hanya mau jadi pengacara yang sukses di lapangan atau pengacara yang mengungkap kebenaran. Dia sedih karena akhirnya dia "kalah" bukan dari segi materinya, tapi ia kalah karena tidak bisa memperjuangkan kebenaran itu.
Sebenarnya mau di sektor apapun yang namanya realita "butuh uang" itu pasti ada, tapi tinggal bagaimana kita melatih diri (dan anak) untuk menjadi tuan atas uang bukan sebaliknya. Segalanya butuh uang, tapi uang bukan segalanya.
Ga gampang, tapi jika dijalani dengan benar sesuai prinsip-prinsip kebenaran, benturan realita dapat kita hadapi, SEMANGAT..