June 23, 2022

Renjana - KAMISAN, 23 Juni 2022

Sains berkata pada Sastra, “Aku tidak butuh kamu!” padahal sains adalah bintang pujaan di zaman kita. Semua materi pelajaran wajib dikuliti sampai ke tulang, sementara ruh kehidupan yang ada dalam dagingnya justru dibuang: dalam proses ini sejarah tersia-sia, puisi tak bisa lahir, agama sekarat; kita duduk menghadapi tulang-tulang garing pengetahuan ilmiah dan berkata: Inilah pengetahuan, semua pengetahuan yang dapat diketahui ada di sini. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.317

Sejak era saat Charlotte Mason hidup, rupanya pengelompokan jenis bidang study sudah terjadi. Kalau sekarang sastra dikesampingkan (fakultas diganti nama jadi Fakultas Ilmu Budaya alih alih Fakultas Sastra contohnya) di era Charlotte Mason pun demikian. 

Di luar sains, sulit mengukur kebenaran, sehingga banyak orang "mendewakan" sains. Sains nya tidak buruk, namun saat orang tidak memberi ruang untuk pengetahuan yang lain, maka nantinya akan ada "ekstrim kanan" dan "ekstrim kiri". 

Dalam diskusi, Bu Ellen memberi contoh Mendel-seorang biarawan yang juga "membuka" matanya untuk ilmu pengetahuan dengan menyusun konsep dasar genetika. Sedikit sekali orang yang saat sudah mendalami agama misalnya, terbuka juga untuk pengetahuan alam, vice versa. Yang terjadi kebanyakan justru "perebutan otoritas" mana yang benar, agama atau sains. 

Dalam tulisannya, Charlotte Mason mengibaratkan dengan "tulang-tulang garing pengetahuan", padahal jelas, tubuh yang hanya terdiri dari tulang tanpa ruh dan daging bukanlah tubuh yang hidup. Lalu apa ruh dan dagingnya? Yang tertulis "justru dibuang"?

“Aku pikir, ini luar biasa sekali,” tulis seorang anak perempuan di kertas ujian setelah berusaha menguraikan mengapa daun berwarna hijau. Anak ini telah mendapatkan ruhnya – kekaguman, rasa takjub – yang membuat sains itu hidup. Tanpa rasa takjub, nilai tertinggi seorang ilmuwan tidak lagi spiritual, melainkan utilitarian. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.317

Rasa takjub membuat sains itu hidup. Rasa takjub ini juga yang kebanyakan dianggap tidak penting dan dibuang. Utilitarian lebih mengedepankan prosedur dan teknis sehingga esensi dari pengetahuan itu sendiri terbuang. Rasa takjub akan memunculkan kesenangan belajar, kesenangan belajar akan memunculkan rasa "aku ternyata banyak tidak tahunya ya", dan perasaan itu akan tumbuh menjadi kerendah hatian. Tanpa rasa takjub, ego kita jadi besar.

Teringat perjalanan kami ke Jakarta minggu lalu, saat itu saya harus menghadiri rapat di hotel besar. Saat di toilet, Keona takjub akan sistem flush toilet itu - alih-alih menggunakan pencetan untuk flush, pengguna toilet hanya tinggal berdiri dan flush akan terjadi secara ototmatis. Bagi orang dewasa yang sudah terbiasa dengan kecanggihan teknologi saat ini, hal itu mungkin akan biasa saja. Tapi bagi Keona, itu menimbulkan ketakjubannya "Lohh, koq bisa ya ma?" dan "Dia tahu darimana kalau kita sudah selesai pakai lalu harus flush?". Kami menghabiskan waktu sedikit lebih lama di kamar mandi untuk menjawab rasa takjub Keona itu. 

"Ojo gumunan!" - begitu kata proverb Jawa terkenal yang dilontarkan mba Putri dalam diskusi. Menarik, karena sepintas rasanya pepatah itu kontras sekali dengan yang disampaikan Charlotte Mason dalam tulisannya. Tapi kalau saya boleh satukan, yang dimaksud dengan "ojo gumunan" itu adalah jika kita hanya nggumun saja, tanpa memaknai peristiwa nggumun atau takjub itu. Kalau Keona cuma takjub "wahhh bagus yaa ma!" dan stop sampai di situ saja itu yang dimaksud dengan "ojo gumunan!", lebiih dari itu, seharusnya ketakjuban akan memunculkan RENJANA atau hasrat untuk tahu lebih dalam apa dan mengapa hal itu terjadi.


pict. from here
Yang dilihat orang = anak mainan pasir
Yang dirasakan anak = belajar bermain hati-hati, pasir kalau kena mata sakit, belajar bentuk partikel pasir yang semakin digenggam semakin lepas, belajar memasukkan pasir pakai sekop, belajar bahwa tangannya dapat kotor kalau bermain pasir, dan masih banyak lagi belajar lainnya jika pendamping mau mendampingi proses belajarnya serta MEMAKNAI setiap kegiatannya.

Belajar tidak hanya sekedar memasukan ilmu itu ke dalam diri kita, tapi bagaimana kita dapat menikmati proses belajar itu menjadi sesuatu yang menyenangkan - RENJANA.

Ahhh, senang sekali rasanya hari ini lagi-lagi diingatkan oleh Charlotte Mason untuk terus berproses, setia pada proses karena nantinya hasil akan mengikuti proses tersebut. 

Thank you kawan diskusi CMers,



May 20, 2022

Nampan Perak - Narefleksi KAMISAN, 19 Mei 2022

Sikap dan nasib manusia dibentuk oleh pengetahuan, maka kita perlu paham apa saja yang disebut pengetahuan itu. Agar mudah dipahami orang awam, Matthew Arnold mengklasifikasikan pengetahuan menjadi tiga, yaitu pengetahuan tentang Tuhan, pengetahuan tentang manusia, dan pengetahuan tentang alam - atau istilah lainnya Ketuhanan, Humaniora, dan Sains.

picture from here

Namun menurut Charlotte Mason, walaupun bukan sebagai "menu utama", Sastra sama pentingnya, terutama untuk menyajikan ketiga pengetahuan tadi - diibaratkan bahwa jika ketiga pengetahuan tadi adalah menu utamanya, Sastra adalah nampan perak atau buli-buli pualam wadah minyak yang digunakan untuk meminyaki kaki Yesus. 

Namun, aku pikir kita bisa melangkah lebih jauh dan berpendapat bahwa Sastra, andai tidak bisa dibilang sebagai konten utama pengetahuan (seperti yang saya sampaikan sebelumnya), paling sedikit adalah wadah untuk menyajikan buli-buli pualam yang berisi minyak wangi (NB : seperti yang dipakai oleh perempuan yang meminyaki kaki Yesus).   ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.316

Dari sini saya jadi berpikir "Ohh, pantas saja, dalam proses belajarnya, anak-anak CM disarankan untuk menggunakan living book. Sama-sama terlihat indah (buku-buku twaddle dan living book) namun kualitas kedua wadah parfum ini berbeda".

Pertanyaan selanjutnya adalah kalau begitu apakah belajar menggunakan non living book menjadi sia-sia? Padahal ada subjek yang membutuhkan penjelasan presisi sepeti Matematika misalnya, apakah bahasa sastrawi perlu selalu dipakai untuk belajar ilmu pengetahuan itu? Karena seperti Matematika, tidak semua konsepnya bisa disajikan dengan Sastra, contoh lainnya adalah Ilmu Hukum misalnya, adakalanya ide yang disampaikan harus presisi agar tidak ada tafsir yang membuat salah paham.

Kapan atau apa indikatornya kita sebaiknya menggunakan bahasa sastrawi atau presisi? Apakah usia anak saat diberikan asupan sastrawi dan presisi akan mempengaruhi? Diberikan secara bertahap? Ataukah living book seperti "jembatan" yang dapat membantu kita memahami buku presisi "yang garing"?

Dari diskusi, saya menyimpulkan bahwa kecintaan anak pada ilmu pengetahuan lebih penting daripada memikirkan teknis "pakai buku apa". Karena, saat anak tertarik pada ilmu pengetahuan apapun, jika buku itu garing sekalipun akan tetap "dilahap". Jangan sampai yang teknis malah menjadi prinsip. 

Bertahap, efektif, dan efisien adalah tiga hal yang saya catat sebagai indikator teknis penggunaan buku dalam mendampingi anak belajar. Sebagai fasilitator anak belajar, kita punya kewajiban untuk memfasilitasi anak agar cinta pada pengetahuan itu sendiri, tidak terpaku pada teknisnya saja.


Terima kasih diskusinya,



March 31, 2022

Nalar, Nurani, dan Kehendak - narefleksi KAMISAN, 31 Maret 2022

Apa yang sudah kita kerjakan dalam mengupayakan pendidikan? Pada paragraf pertama bagian III ini, Charlotte Mason bertanya apakah benar bahwa karakter generasi saat ini adalah generasi dengan kurangnya rasa tanggung jawab padahal sistem pendidikan sudah dibentuk sedemikian rupa - pendidik disebutkan berusaha menggali, menyiangi, dan menyirami. 
Tapi tetap saja pohon dan buahnya bermasalah, apa yang salah?

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk "memeriksa" bagian mana yang salah sehingga buahnya tidak baik - orang yang mementingkan kepentingan pribadi, merusak properti orang lain, hingga memprovokasi orang lain. Padahal, mereka yang disebut "buah yang tidak baik" ini adalah mereka dengan gelar sarjana, mahir menulis dan berorasi, berpikir logis hingga memiliki aneka ketrampilan. 

Kita tidak perlu mendetilkan apa saja pasangan untuk tiap ciptaan, tapi tampaknya memang nalar yang kaku, saat mencoba mencari kebenaran akan suatu isu, cenderung selalu dikawani oleh pemberontakan. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 314

 Memang benar bahwa anak (bahkan diri kita sendiripun) perlu melatih nalar - memberi kebiasaan baik untuk berpikir logis. Tapi kemudian nalar ini bisa jadi sangat berbahaya apalagi jika kita melakukan sesuatu yang tidak benar lalu melakukan pembenaran diri atas dasar nalar.

Berpikir logis tidak melulu tentang menghasilkan simpulan yang mutlak benar. Nalar seharusnya menjadi pelayan, bukan tuan, sehingga nalar tidak berakhir sebagai pembenaran atas apa yang diingini kehendak ingin yakini.

Saya tiba-tiba teringat akan fenomena "kaum pelangi" yang sering saya dapati di media sosial belakangan ini. Saat melihat konten tentang "kaum pelangi" ini, saya tertarik untuk memperhatikan kolom komen, memperhatikan pandangan orang mengenai "kaum pelangi" ini. Banyak sekali komen menghakimi seperti "Tuhan menciptakan hanya laki-laki dan perempuan, kamu apa?", atau saat berita Dorce tutup usia, alih alih melihat komen turut berduka cita, saya malah banyak mendapati komen sejenis "dia dikubur jenis kelaminnya apa tuh?". Yang berkomentar sudah pasti sekolah (lha wong bisa ketik komen), punya pengetahuan (sudah pasti-lha wong bisa menyebutkan basis dasar yang ia yakini benar), terus apa yang kurang?

Nurani. Rasanya saat nalar berjalan sendiri tanpa diiringi nurani, sia-sia saja pengetahuan. Saat membuat komen pada konten-konten tentang "kaum pelangi", jika nalar berjalan berdampingan dengan nurani, maka ketika menemukan hal yang tidak sesuai dengan prinsip sekalipun, kita akan tetap dapat menghargai orang lain sebagai SESAMA MANUSIA.

pict from here

nalar manusia akan berupaya membenarkan dengan segala macam bukti untuk setiap gagasan yang telah dia putuskan untuk pertahankan. Kita tak bisa membebaskan diri dari kecenderungan ini, tak ada jalan pintas mengatasinya. Seni butuh waktu panjang, terutama menguasai seni hidup.~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 314

Bagian akhir dari bacaan hari ini jadi penutup diskusi bulan Maret ini. Kita tidak bisa lepas dari kecenderungan untuk melakukan "pembenaran diri" ini, butuh waktu panjang untuk mendidik nurani dan melatih nalar agar keduanya dapat menjadi pelayan yang baik bagi tuannya yaitu kehendak.

Perih setelah dikuliti bu Charlotte Mason hari ini,



February 11, 2022

Menjadi R̶a̶t̶a̶ ̶-̶ ̶R̶a̶t̶a̶Bagian Dari Sistem (Sebuah Refleksi - KAMISAN, 10 Februari 2022)

Sebagian orang memang cocok menjadi akademisi, sesuai dengan kapasitas kepala mereka. Kita yang lain senang melihat kecemerlangan itu, tapi tidak perlu iri hati, sebab menjadi akademisi bukanlah prestasi tertinggi dalam hidup ini, dan tidak menjamin seseorang tergugah pikirannya oleh pengetahuan dan perjumpaan dengan ide hidup. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 310

Seringkali saat melewati beberapa ruas jalan, ada banyak baliho iklan sekolah-sekolah apalagi jika dekat-dekat tahun ajaran baru. Isinya hampir sama walau beda kalimat, yaitu mempromosikan bagaimana sekolah tersebut akan mencetak generasi-generasi unggul di masa depan. Iklan-iklan tadi membawa saya pada kenangan saat masih memberi les privat untuk beberapa murid - "miss, tolong ya miss, masa dia nilainya tujuh, temannya yang lain ada yang delapan." dan "ini badannya agak hangat miss, tapi gapapa tetap les aja, biar ga ketinggalan pelajaran.". Jadi ya begitulah isi di dalamnya, anak mendapat tuntutan untuk menjadi yang terbaik seakan memiliki nilai 100 adalah prestasi tertinggi dalam hidup.  

Bahkan kisah pasaran, pentas wayang, atau bunga pinggir jalan sudah bisa memantik semangat belajar mereka, kita tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Kita pikirkan dulu anak dari kelompok rata-rata. Anak rata-rata ini juga butuh belajar Bahasa Yunani dan Latin, tapi ada jalan lebih mudah untuk itu. Gadis-gadis kecil di surat yang tadi aku kutip sudah mendapatkan poinnya. Ada seorang anak perempuan, murid kesayangan Vittorino, yang bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Latin dengan "kemurnian menakjubkan" pada usia 12 tahun, karena dia telah belajar sejak masih lebih kecil lagi - kita yakin dia bukan produk sekolahan elit. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 310-311

Lalu bagaimana dengan anak dari kelompok rata-rata? Dalam diskusi Kamis kemarin,  saya terpikirkan "apa indikator anak disebut rata-rata?", teringat bagaimana para orangtua membandingkan anaknya dengan anak lain, melabeli yang tidak unggul dengan rata-rata, serta menggunakan nilai untuk mengukur. Saya bersyukur bertemu dengan banyak teman seperjalanan yang meyakini bahwa semestinya membandingkan anak adalah dengan diri anak itu sendiri (lihat pada progressnya) bukan dengan teman sebayanya, karena kita tahu bahwa anak adalah pribadi yang utuh yang masih-masing memiliki fitrahnya sendiri. 

Yang menarik adalah saat ada "celetukan" dari ci Indri "kalau kita selalu ingin jadi yang terbaik, ga akan ada habisnya karena bila di satu tempat kita menjadi yang terbaik, lalu pindah ketempat lain, pasti ada yang lebih baik kan?". Mau sampai kapan jika tolak ukur menjadi pribadi terbaik adalah orang lain dan bukan diri sendiri dan semangat belajar diri sendiri?

Kita tahu mereka dinikahkan di usia dini, tapi mereka sudah tahu banyak tentang karya-karya klasik (meski tidak membacanya utuh), mereka bisa bercakap dalam dua tiga bahasa modern, bisa merawat orang terluka, merawat orang sakit, membuat obat-obatan herbal, memanajemen rumah tangga dengan banyak pelayan, menunggang kuda, bahkan menangkap buruan! Mereka juga bisa menjahit dan merenda dengan pola yang rumit. ~Charlotte Mason, vol.6, hlm. 311

Bagian ini mengingatkan saya pada satu bahasan di buku CYB halaman 162. Di situ saya memberi tanda pada skill yang saya belum dan sudah saya kuasai. Dulu, sewaktu membaca list itu, saya tertawa dan berpikir, semestinya list ini kalau dibuat pribadi masih bisa lebih panjang lagi karena ternyata banyak skill dasar yang saya sendiri belum kuasai - apakah anak yang termasuk "di atas rata-rata" sudah menguasai skill itu? 

Kalau semua orang menjadi dokter, lalu siapa yang menjadi petani menghasilkan bahan pangan yang dibutuhkan manusia? Kalau semua orang pintar memasak dan jadi chef, lalu siapa yang menerbangkan pesawat terbang. Rasanya saat konsep "children are born persons" sungguh dihidupi tiap orangtua, orangtua akan sanggup menerima bahwa semua jenis pekerjaan adalah baik. Seorang teman yang tinggal di Jerman bercerita pada saya bahwa anak - anak Jerman misalnya yang bercita-cita menjadi supir truk sampah saja tetap akan didukung cita-citanya, karena orangtua tahu bahwa tanpa supir truk sampah, sampah-sampah mereka tidak akan terkelola dengan baik. Semua pekerjaan baik dan saat anak dapat mengambil bagian dalam sistem kemasyarakatan dan menjadi berguna sesungguhnya itu adalah prestasi tertinggi tanpa harus menjadi unggul dari yang lainnya. 

picture from here
sekali-sekali ya pakai ilustrasi gambar hewan buat gambarin ilustrasi
orangtua adalah support system anak

Kalau sudah sadar sepenuhnya tentang konsep "children are born persons", pertanyaan berikutnya adalah, siapkah orangtua (saya) mendukung apapun cita-cita anak kelak?



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...