Kita telah berhenti beriman pada akal budi, dan walaupun kita tidak bicara terus terang bahwa “otak mensekresi pikiran sama seperti liver mensekresi empedu”, tapi tetaplah otak jasmaniah dan bukannya akal budi spiritual yang menjadi sasaran kita dalam pendidikan; karena itu “materi duduk di pelana dan menunggangi umat manusia”, dan kita berbalik mengimani bahwa ide atau pengetahuan tak akan bisa menjangkau akal budi anak-anak. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 259-260
Di awal karier saya sebagai seorang guru, saya hanya bermodalkan "suka anak-anak" dan mengimani bahwa anak adalah ember kosong atau kertas kosong. Yang saya tahu dan saya imani waktu itu bahwa sebagai guru, saya berperan menjadi krayon warna - warni yang mengisi si kertas kosong tadi dan berprinsip bahwa jika warna yang saya coretkan tidak baik, maka bekal masa depan anak itupun juga tidak baik. Iman yang salah itu akhirnya membawa saya jauuh dari hakikat anak sesungguhnya yaitu children are born persons. Saya selalu berupaya "menyuapi" anak karena khawatir ilmu pengetahuan yang saya sampaikan tidak dapat menjangkau akal budi mereka, sehingga ceramah panjang dan rentetan kegiatan yang fun akhirnya menjadi modal saya dulu mengajar. Namun kemudian, prinsip tersebut justru membuat saya kelelahan - bagai krayon yang mulai patah, dan sumur yang mulai kering tak bisa lagi mengisi si ember kosong - exhausted.
Namun seorang guru tentu tidak digerakkan oleh kesombongan, melainkan oleh hasrat untuk melayani. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 260
Sadar bahwa modal saya "suka anak-anak" kurang untuk menjadi guru, maka saya membuka diri untuk belajar - ditawari berbagai macam pelatihan saya selalu "iya", "mau". Tujuan awalnya memang karena sadar bahwa modal saya kurang, saya ingin memperlengkapi diri untuk dapat melayani anak-anak itu. Sayangnya, tujuan itu waktu itu tidak disertai dengan sikap kerendahan hati. Setelah sadar bahwa "ilmu" yg tadinya untuk memperlengkapi diri berubah menjadi kesombongan, saya butuh dua tahun untuk mendetoks kesombongan - merasa sudah tahu lebih banyak dibanding di awal saya menjadi guru - tahu banyak metode, tahu bahwa anak bukan kertas kosong, dsb. Saya tersesat untuk kedua kalinya.
picture from here |
Imanilah akal budi dan biarkan pendidikan menyambar langsung bagaikan petir ke akal budi siswa. Konsekuensinya, buku-buku harus digunakan, karena siapa yang berani menyombong bahwa dia mampu mengajarkan semua mata pelajaran dengan kurikulum lengkap dengan pemikiran yang orisinil dan pengetahuan yang tepat seperti yang ditunjukkan oleh para penulis buku yang menulis tentang bidang yang mereka geluti seumur hidup? ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 260
Berjalan di jalan yang salah sebanyak dua kali itu melelahkan. Saya harus berputar balik ke jalan awal untuk dapat menemukan jalan yang benar. Kalaupun sekarang sudah mulai berada di jalur yang benar, tetap saja jalannya tertatih karena benturan untuk menjadi rendah hati dan membuka diri untuk menjadi pembelajar abadi membuat langkah yang diambil menjadi tidak ringan - belum lagi usaha untuk mengendalikan diri sendiri yang terus masih harus dilatih. Setiap orangtua memiliki kesulitannya sendiri - saat mendengar Bu Ellen mengatakan hal itupun saya juga merasa bahwa memang kita tidak seharusnya menggunakan alat ukur yang sama untuk membandingkan diri sendiri dengan orangtua yang lain - sama halnya ketika saya memutuskan untuk tidak membandingkan Keona dengan anak lain, karena tentu saja perkembangan tiap anak pasti berbeda. Satu hal yang membuat saya lega adalah saat ini saya memiliki teman seperjalanan sehingga jalan panjang menemani Keona dalam proses belajarnya menjadi terasa lebih ringan.
Terima kasih kawan-kawan CMid Semarang untuk diskusinya yang menggetarkan jiwa hari ini,