July 13, 2020

KAMISAN ~ Sains 09.07.2020

Seperti halnya belajar sejarah, buku-buku pelajaran sains harusnya bersifat naratif-sastrawi. Akan lebih banyak warga bangsa kita yang menjadi ilmuwan seandainya kita menyingkirkan semua buku teks yang mengisi daftar katalog para penerbit buku pelajaran dan menghemat kapur yang kita hambur-hamburkan di papan tulis. Orang Prancis sudah tahu bahwa sains perlu diajarkan lewat buku-buku sastrawi, sama seperti semua mata pelajaran lainnya. ~ Charlotte Mason (Vol 6 pg 219)

...

Membaca bagian tersebut saya terasa seperti kembali ke topik bahasan 2 minggu sebelumnya mengenai seni yang juga membahas tentang "living book" dan mengapa CMers (seolah terlihat seperti) membeda bedakan jenis buku. Saya belum pernah membaca semua jenis living book (yang ada di daftar living book di buku Cinta Yang Berpikir), namun saya  membayangkan buku - buku tersebut akan mengasyikan sekali dibaca walaupun itu dalam konteks sains yang pernah tidak saya sukai saat masih sekolah. Ya, saya tidak suka sains, maka saat SMA pun saya "lari" ke IPS dan kuliah di bahasa, alasannya karena saya tidak suka disuruh menghafalkan rumus fisika dan tabel periodik unsur kimia yang saya tidak paham tujuan mengapa saya dan siswa lainnya waktu itu diminta menghafalkannya. Namun, melihat teks bacaan bahan diskusi Sains Kamis yang lalu, saya lega, Keona tidak perlu repot (atau bahkan enegh) menghafalkan rumus. Saya membayangkan situasi belajar yang menyenangkan seperti membaca novel. Dan benar dugaan saya, buku Holden yang berjudul The Sciences (saya baru baca part tentang bumi), disitu saya mendapati ada beberapa tokoh seperti Agnes, Tom, dan Jack. Seru!! (padahal baru sampai beberapa bagian saja saya membacanya)

Lalu dalam diskusi, saya teringat pernah membaca sebuah tulisan (saya lupa dari buku apa), intinya kira-kira homeschooling berarti keluarga merumuskan prinsip dan tujuan termasuk pembelajaran sains. Di buku itu seingat saya (well, saya coba cari buku yang mana tapi belum menemukannya), penulis menulis bahwa sebelum mengenalkan konsep seperti teori evolusi milik Darwin maupun hal seperti dinosaurus,  penulis lebih dulu mengenalkan konsep penciptaan dari Kitab Suci yang ia yakini kebenarannya. Waktu membaca buku itupun, saya lalu teringat alasan saya tidak membelikan buku tentang dinosaurus untuk Keona yaitu selain karena biasanya buku jenis tersebut mahal, namun saya berpikir belum waktunya mengenalkan hal seperti dinosaurus kepada Keona. Sejauh ini, Keona hanya kenal dinosaurus dalam kisah fiksi seperti transformers dan belum pernah sekalipun kami mendiskusikannya. Dalam diskusi, saya menyimpulkan bahwa Sains tidak semestinya bertentangan dengan Agama serta Agama dan Sains sebaiknya berdiri berdampingan serta tidak digunakan satu sama lain untuk perbandingan. Jika sedang dalam konteks Agama, kita menggunakan Agama itu sendiri sebagai pedomannya, pun sebaliknya. 

pict. from here

Lalu, bolehkan anak-anak dikenalkan dengan teori Darwin atau dinosaurus? Jawaban saya dalam hati setelah merenungkan isi diskusi "saat membaca buku Harry Potter beberapa tahun silam, saya tidak lantas berniat untuk mempelajari ilmu sihir hanya karena membaca buku tersebut. Maka, saya sebagai orangtuapun semestinya tidak perlu khawatir jika suatu saat Keona membaca buku berkaitan dengan teori seperti teori evolusi dan dinosaurus.".

Terima kasih CMers untuk diskusi yang mencerahkan,
Glo

July 03, 2020

KAMISAN - Seni II (02.07.2020)

... dan mereka cepat melakukan koreksi ketika gambar mereka tidak sesuai dengan yang mereka lihat di dunia nyata. ~ Charlotte Mason (vol.6, hlm. 217)


...

Saat sesi Kamisan kemarin, saya seperti diingatkan lagi tentang kekeliruan saya tahun lalu menggunakan "Habit of Perfect Excecution" sebagai pembenaran diri untuk setiap ketelitian yang saya tuntut dari orang di sekitar saya. Waktu itu saya baru kenal Charlotte Mason hanya kulit luarnya saja, istilahnya kalau baca Alkitab ya baru baca seayat tapi sudah sok kotbahin orang lain seakan tahu isi seluruh kitab suci. Maka, tahun lalu saya mencoba belajar bahwa standart sempurna setiap orang berbeda dan Habit of Perfect Excecution juga bukan tentang standart sempurna itu namun bagaimana sesuatu dikerjakan dengan maksimal sesuai kapasitas individu sehingga setiap orang pasti memiliki standart yang berbeda. Sejak tahun lalu, saya mulai belajar untuk tidak menuntut pekerjaan orang lain atau anak untuk berada di standart saya. Jika saya sanggup menggunting 7 gambar orang dalam satu jam, belum tentu orang lain akan mampu mengerjakan hal yang sama bisa jadi dalam satu jam orang lain dapat mengerjakan hanya 5 atau bahkan dapat menyelesaikan lebih dari 10. Hal ini saya refleksikan lagi kemarin dalam Kamisan dalam topik bahasan seni. Karena sudah setahun belajar untuk tidak menerapkan standart saya pada orang lain, kalimat "....dan mereka cepat melakukan koreksi ketika gambar mereka tidak sesuai dengan yang mereka lihat di dunia nyata." membuat saya tenang karena walaupun tidak dituntut memenuhi standart orang lain (dalam konteks ini guru dan orangtua yang menjadi guru anak pertama di rumah), anak tetap belajar untuk mengoreksi sendiri kesalahannya dengan menggunakan standart dunia nyata. Intinya, sebenarnya kita para guru atau orangtua tidak perlu loh cape cape cerewetin anak ini itu jika kita sudah menunjukkan hal yang benar kepada anak, karena anak akan otomatis memperbaiki kesalahannya jika sudah memperhatikan hal yang benar tersebut. Lalu, tugas penting yang mesti kita emban sebagai pendidik adalah bagaimana kita menunjukkan hal benar tersebut dan memaparkannya kepada anak, tidak hanya seni, tapi juga seluruh aspek kehidupan anak. Gampang? Raising children, raising ourselves, kuncinya kita juga harus upgrade dan banyak banyak "ngaca".
Selesai Kamisan, Keona lanjut baca Alkitab yang sudah kami lakukan tiga hari ini sambil mendiskusikannya. Kami baru sampai pada Kejadian 1 : 10 kemarin, lalu mendapat ide untuk meminta Keona menggambarkan yang ia tangkap melalui bacaan tersebut. Kumpulan air ia gambar dengan bentuk lingkaran yang ia bilang "kolam renang" lalu tak lupa ia juga menambahkan  "prosotan". Pada saatnya nanti, saya percaya, ia akan menertawai sendiri hasil gambarnya masa kecil ini. 
hasil gambar Keona tentang "kumpulan air", ia juga merelasikannya dengan bekas ompol di kasur.


Lalu setelah itu, topik bahasan berlanjut pada topik musik. Saat menerima bahan bacaan beberapa hari sebelumnya, saya cukup kaget karena bacaan tentang musik ini hanya sedikit. Tapi dari bacaan pendek tersebut, saya berhasil kembali pada masa kecil saya dulu. Saat itu, orangtua saya terbiasa memaparkan anak-anaknya dengan musik. Setiap pagi, kami anak-anaknya disetelkan hymn lagu lagu gereja dengan alasan "supaya anak-anak bangun". Tapi efek jangka panjang dari pemaparan musik-musik itu saya rasakan pada saat saya berada dalam titik terendah hidup. Entah darimana datangnya, rasanya masa-masa sulit dapat dilalui dengan tenang saat mengingat penggalan-penggalan lirik lagu-lagu hymn yang saya dengar sewaktu saya kecil itu. Energi yang dihasilkan mampu membuat saya bangkit dan melalui hari-hari berat tersebut. Merasakan efek positif dari pemaparan lagu-lagu itu, saya melanjutkannya dengan membiasakan memasang lagu hymn atau rohani di pagi hari dengan harapan efek positif yang sama akan dirasakan Keona kelak. Lalu, belajar dari begitu kuatnya sebuah lagu membantu saya saat itu melalui masa sulit, selain memperdengarkan hymn dan lagu rohani di pagi hari, saya dan suami membuat sebuah program "pemaparan lagu" ke Keona dengan cara lain. Setiap malam, setelah berdoa tidur, Keona kami ajari sebuah lagu sekolah minggu yang sederhana selama satu bulan, dan setiap bulannya akan diajarkan lagu baru sambil tetap mereview lagu bulan sebelumnya. Waktu itu tujuan kami sederhana, Keona suka sekali bernyanyi, maka kami ingin ia menyanyikan lagu sekolah minggu karena kami berharap saat ia sedang bermain (dan mungkin waktu itu adalah titik terendah kami) ia bernyanyi lagu yang tanpa sadar menguatkan kami. Tiga bulan yang lalu, Keona kami ajarkan lagu Allahku Besar dengan lirik seperti ini :

Allahku besar, kuat dan perkasa, tiada yang mustahil baginya o..o.. )2x
Gunung miliknya, sungai miliknya, bintang-bintang ciptaannya o..o..
Allahku besar, kuat  dan perkasa, tiada yang mustahil baginya o..o..

Kami belum merasakan efeknya secara langsung, namun energi positif tersebut justru terbawa ke eyang Keona yang bulan lalu sakitnya memasuki stadium lebih tinggi. Sejak sakitnya semakin parah, kami berusaha membawa Keona ke rumah eyang sebagai suntikan semangat untuknya. Tanpa disadari, Keona yang menunggui eyang sambil bermain ini menyanyikan lagu tersebut saat bermain. Lagu itu terdengar oleh eyangnya dan menjadi semacam lagu wajib sehingga selalu dinyanyikan oleh seluruh anggota keluarga. Tentu saja, lagu tersebut membawa energi luar biasa dan mendatangkan pengharapan untuk keluarga terutama eyang yang sakit.

... apresiasi musik tidak ada hubungannya dengan bisa bermain piano. ~ Charlotte Mason (vol 6, hlm. 218)

Walau begitu, kami masih berharap suatu hari nanti Keona berkata "ma, aku mau les piano".
Thank you CMers untuk diskusinya..






June 26, 2020

KAMISAN - Seni 25.06.2020

Kita belajar melihat keindahan sesuatu setelah sesuatu itu dilukis. ~ Charlotte Mason (vol 6, hlm. 215)


picture from here
Bacaan Kamisan kemarin yang saya baca ulang lagi sebelum menuliskan narasi ini membawa ke kenangan saat mengajar anak-anak di sekolah tahun lalu. Waktu itu, anak-anak pertama kali dikenalkan lukisan karya Henri Matisse berjudul The Red Room. Waktu itu awalnya saya berpikir "duh, ni anak bakal respon kaya apa tentang lukisan ini". Tapi setelah masuk minggu kedua dan ketiga dengan lukisan yang sama, diskusi kami semakin menarik. Di situ saya bisa melihat input seperti apa yang anak-anak dapat dari orangtua atau orang dewasa di sekitarnya saat mereka mengintrepetasikan lukisan itu. Ada yang mengintrepetasikan lukisan sebagai suasana seram karena memperhatikan detil sulur berwarna gelap. Lalu ada juga yang bercerita  tentang zombie yang ada di luar jendela sehingga perempuan yang di dalam ruangan menyiapkan banyak makanan untuk dirinya sendiri karena ternyata sering menonton serial zombie dengan orangtuanya. Hal menarik lain contohnya ada seorang siswi yang mengatakan perempuan di dalam lukisan adalah laki-laki, yang setelah dikonfirmasi dengan orangtuanya memang siswi tersebut pernah menonton serial TV dengan laki-laki bercepol. Lucunya bahkan kelas Picture Study ini membuat saya tiba-tiba merasa berguna. Kenapa? Karena selama bertahun-tahun, saya selalu merasa bahwa pendidikan saya di Sastra Inggris tidak berguna di pekerjaan saya sebagai guru selain ilmu bahasanya itu sendiri. Namun, lewat kelas ini, ilmu mengapresiasi karya seni (waktu itu saya belajarnya karya sastra) saya terasa berguna. Minggu ke minggu selama satu semester itu, saya menikmati diskusi dengan anak-anak mengenai lukisan-lukisan karya Henri Matisse. Awalnya, anak-anak yang hanya memperhatikan salah satu unsur pada lukisan, lama-kelamaan mereka mulai memperhatikan detil-detil pada lukisan temasuk sulur di ujung lukisan (bukan inti dari lukisan itu sendiri) Matisse The Goldfish yang di kenali sebagai pegangan tangga. Saat itu, saya pun dalam hati berkata "oh iya bener, kan ada tangga yang pegangannya begitu ya, ada pernah lihat di ....".


Dari pengalaman tersebut, saya belajar selain melatih anak untuk memperhatikan detil dan mengapresiasi seni, kegiatan ini bagi saya sendiri membantu saya melihat sebuah perspektif lain dari sebuah objek yang terkadang tidak saya sadari walau sudah dilihat berkali kali. Sama seperti saat memperhatikan sebuah lukisan lokal di galeri yang saya kunjungi beberapa tahun lalu. Ada sebuah lukisan seorang penjual tua dengan baju kain batik yang saya juga pernah lihat motif batik yang sama yang sering dipakai seorang kenalan. Sepintas, terlihat biasa, tapi lewat lukisan tersebut saya memperhatikan detil motif batik yang saya baru sadar ternyata bentuknya unik.


#masihdirumahaja,


July 13, 2019

I am (NOT) Okay

A year ago, everything was different. And now that I look back, I realize that a year can do a lot to a person. ~
I am okay to be alone rather than in a crowd going to wrong direction.
picture from here

...

"Kamu yang diajak papa pergi tuh", ujar mama dengan nada lirih.

"Lha mama ga ikut?" tanyaku kemudian.

"Ngga, lha wong papa ngajak kamu alesannya kamu doang yang punya paspor koq, mama kan ga punya", mama sedikit mengomel kemudian.

"Yahh, kalo gitu Keona aq bawa ya ma," pintaku sambil berusaha mengambil Keona dari gendongan mama.

"Ngga usah, Keona biar temenin mama", mama menghindari tanganku.

Lalu kemudian papa dan saya naik pesawat. Papa diam saja selama proses check in, sehingga saya yang setengah sedih karena lihat Keona menangis minta ikut jadi ikut diam saja. Saya masuk ke pesawat, duduk, dan termenung. Kemudian saya sadar satu hal, SAYA SALAH NAIK PESAWAT, karena papa tidak ada di samping saya ketika pesawat lepas landas.

....


Terbangun dari tidur, lagi, saya mimpi tentang papa yang mengajak saya pergi. Terakhir rasanya sudah beberapa tahun yang lalu ketika saya bermimpi papa mengajak saya pergi naik bis tapi lalu saya ketinggalan bis.
Dua hari terakhir memang saya memikirkan papa. Teringat jelas kata-kata beliau "nanti kamu kalau sudah jadi dewasa baru tahu rasanya" setiap saya merengek sewaktu kecil. Saya mewarisi idealis papa. Aneh, hal sama yang orang lontarkan kepada saya dan papa dengan dua masalah berbeda. Kami sama-sama punya cara pandang tertentu mengenai kebenaran. Pernah suatu saat papa bercerita tentang korupsi yang dilakukan oleh atasannya, namun saya tak tahu ending dari cerita tersebut, apa yang akhirnya papa lakukan saat itu.

Saya kepikiran papa bukan sedang kangen, tapi saya penasaran, kalau papa jadi saya dengan permasalahan saya baru-baru ini, kira-kira papa bakal ngapain. Melihat sesuatu yang tidak benar terjadi di depan mata sungguh tidak enak, mau "go againts" posisi lemah, mau menyerah, kok tidak rela karena tahu harusnya bagaimana 😢

Ah papa, saya belum minta dijemput sekarang, kalau nanti malam datang lagi lewat mimpi, tolong kasih tahu saja anakmu ini mesti gimana... Bukan malah ngajak pergi 😢

Katanya, galau itu baik, pertanda saya masih berpikir, tapi galau yang kali ini meresahkan :(

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...