"Kita tidak menyadari bahwa dalam kodrat perannya seorang guru punya peluang menjadi jurubicara Sang Ilahi untuk mendidik dan menggugah." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.237
Pada narasi diskusi minggu sebelumnya saya sempat menulis tentang guru yang merasa tidak maksimal dan murid yang merasa kelelahan. Kali ini pun topik tersebut masih berlanjut, ditulis oleh Charlotte Mason bahwa tugas - tugas sekolah akan menjadi siksaan bagi siswa saat terjadi konflik antar kehendak guru dan murid. Sebagai pendidik, tanpa sadar kita meremehkan anak menganggap mereka bukan pribadi utuh - "sekolah yang pinter ya nak, biar jadi orang" - ungkapan itu sering sekali diucapkan oleh orangtua dulu (mungkin sekarangpun masih ada orangtua yang seperti itu) saat mengantar anaknya ke sekolah. Padahal, anak-anak punya potensi menjadi baik dan buruk karena mereka sebenarnya adalah pribadi yang utuh.
Jogja 2018 |
"...bahwa dia bersukacita dan berdukacita dengan intensitas yang tidak lagi kita rasakan, bahwa dia mencintai dengan sepenuh hati dan percaya yang – sayangnya – kita tidak balas, .." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.238
Saya menangis saat membaca bagian ini, teringat sebuah frasa dalam Bahasa Korea 내가 닿을 수없는 곳 yang artinya dalam Bahasa Inggris "Your place where I cannot reach" salah satu judul episode sebuah drama Korea yang pernah saya tonton beberapa bulan yang lalu. Dalam cerita tersebut, ada seorang ibu yang meninggal setelah melahirkan, lalu ada ibu sambung yang menggantikan tempat ibu tersebut. Masing-masing saling menyesali posisi tempat mereka, ibu yang tidak sempat merasakan jadi ibu dan harus bergentayangan menjadi hantu padahal ia ingin sekali merasakan mendekap putrinya, dan ibu sambung yang merasa tidak dapat menggantikan ibu kandung sebesar apapun usahanya. Saat menjadi orangtua dan pendidik anak, hal terpenting menurut saya yang harus disadari dan diyakini adalah bahwa menjadi orangtua merupakan priviledge atau hak istimewa yang diberikan Tuhan. Tidak semua pasangan diberkati dengan keistimewaan untuk memiliki tempat menjadi orangtua dan tidak semua perempuan diberi berkat kesempatan untuk hamil dan melahirkan. Saat sudah menjadi ibu dan melewati waktu mengurus anak, acapkali kita lupa akan priviledge tersebut dan memperlakukan anak semau kita - mematikan potensi manusia utuh pada diri mereka, contohnya saat dengan mudah kita mengatakan "jangan!" saat anak baru hendak mencoba hal yang ia ingin tahui. Saya pun masih dalam proses memperbaiki diri kadang masih terlupa keceplosan bilang "jangan!". Bersyukur sekarang sudah jauh berkurang. Agar dapat menjaga agar sifat mematikan potensi anak terus berkurang dan hilang sepenuhnya, peran menjadi pendidik juga baiknya tidak terbeban dengan berapa banyak dosis pengetahuan seperti apoteker mengukur dosis obat. Ilmu tidak akan ada habisnya sehingga cara pandang terhadap ilmu yang tidak ada habisnya ini jika dipikul sebagai beban akan semakin membuat orangtua terbeban dan anak kelelahan. Beban tersebut dapat datang dari mana saja, dari diri pendidik juga dari pihak luar, yang sering terjadi adalah saat orangtua membanding-bandingkan anak masing-masing, sehingga saat anaknya belum bisa melakukan apa yang anak lain sudah dapat lakukan maka terbebanlah orangtua tersebut. Membandingkan anak dengan anak yang lain juga merupakan bentuk tidak respek orangtua terhadap anak. Jika ingin membandingkan anak, orangtua dapat membandingkannya dengan anak di waktu sebelumnya sebagai evaluasi dari perkembangan anak, bukan dengan anak lain.
"Oleh karena itu, pengajaran, ceramah panjang lebar, seberapa pun brilian atau menawannya, tidak akan berdampak apa-apa sampai kegiatan mental internal pendengarnya dibangunkan; dengan kata lain, pendidikan mandiri (self-education) adalah satu-satunya pendidikan yang mungkin terjadi; ..." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm.240
Saya setuju dengan bagian ini karena mengalaminya secara langsung. Saat remaja, mendengar pendeta yang kothbah di atas mimbar, rasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, atau kalau bisa kothbah tersebut dipakai untuk menunjuk orang lain "nih, kothbahnya pas buat kamu!". Sekarang, banyak sekali waktu saya pakai untuk berefleksi, mendengar kothbah, menyetrika, mencuci, dan juga dalam diskusi bersama kawan-kawan CMid Semarang. Kemampuan untuk menilik hati, merenungkan serta menghubung-hubungkan pikiran dalam benak ini sedang saya usahakan dapat pula dimiliki Keona, karena pendidikan bukan sekedar kemampuan intelektual namun juga spiritual.
Semoga keistimewaan menjadi juru bicara Ilahi ini dapat dilakukan semua orangtua (terlebih saya dan suami),