June 17, 2021

Worth Living - Kamisan, 17 Juni 2021

Prussia menjadi pelopor reformasi pendidikan. Yang menjadi sasaran pertama-tama bukanlah
kanak-kanak, melainkan para pemuda. ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 279

Saat membaca ulang dan mengetik kalimat di atas, saya teringat salah satu ucapan Bung Karno mengenai pemuda "...beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.". Lalu jadi berpikir panjang sekali mengenai kalimat ini. Saya mencari di beberapa sumber, tidak ada yang menyebutkan karakter atau kriteria dari 10 pemuda yang dimaksud oleh Bung Karno. Lalu berpikir lagi, apakah pemuda pada masa Bung Karno berbeda dengan pemuda di masa sekarang?

Memangnya ada apa dengan pemuda di masa sekarang?

Beberapa bulan yang lalu, saya dimintai tolong oleh seorang kenalan, masih muda, baru saja lulus Sarjana. Adik ini bertanya pada saya "Mengapa saya sudah memasukkan banyak lamaran namun satupun panggilan belum saya dapatkan?". Penasaran, saya bertanya tentang bagaimana bentuk lamaran yang ia kirimkan dan memintanya mengirimkan kepada saya. Selanjutnya saya dibuat kaget, karena ia mengirim lamaran hanya email kosong dan lampiran di dalamnya - tidak ada badan surat email. Menghela napas panjang, saya berpikir, "okelah, mungkin dia baru pertama jadi belum tahu cara mengirimkan email lamaran yang pantas." lalu saya memberikan waktu saya untuk mengajarinya cara mengirim email yang pantas saat melamar kerja. Beberapa waktu kemudian, adik itu datang lagi kepada saya, bertanya jika ia ditanya berapa gaji yang diharapkan, dia harus menjawab apa? Saya memancingnya dengan banyak pertanyaan seperti "berapa biaya kos di kota tersebut? berapa biaya hidupnya? berapa banyak harus menabung? " dengan harapan saat menemukan nominal gaji yang diharapkan, ia akan memiliki STRONG WHY. Tapi, ending percakapan kami sungguh membagongkan, ia malah menelan mentah mentah contoh ilustrasi yang saya buat dengan berkata "oh jadi aku minta lima juta aja ya mba?". Saya lemas...

Itu baru satu contoh, saya sudah bertemu ada lebih dari 3 pemuda yang seperti itu, bahkan sudah bertemu juga dengan yang jelas-jelas tidak tahu arah hidupnya kemana - tidak tahu mau melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan apa.

Lalu apakah pemuda yang dimaksud Bung Karno sesungguhnya memiliki kriteria tertentu agar dapat mengguncang dunia? Hanya saja belum terucap oleh Bung Karno di saat beliau mengatakan kalimat tersebut?

Dalam panduan filosofi Johann Gottlieb Fichte, dan di bawah pemerintahan Karl Stein, terbentuklah Tugendbund, liga pemuda yang tersohor itu. Prussia sedang miskin-miskinnya, tapi alih-alih memusatkan perhatian pada perbaikan ekonomi, pendidikannya difokuskan pada filsafat yang memberi pemahaman tentang prinsip-prinsip danpada sejarah yang memberi kisah-kisah teladan. Ternyata pendekatan ini berhasil baik untuk negeri itu. 
~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 279

Lalu kriteria pemuda seperti apa yang dapat mengguncangkan dunia?

Lewat bacaan Kamisan hari ini, saya belajar bahwa filsafat tidak hanya dipelajari oleh mahasiswa-mahasiswa jurusan filsafat. Filsafat bukan hanya tentang mempelajari tokoh-tokoh filsuf terkenal - lebih dari itu, yang saya tangkap dari bacaan hari ini adalah anak harus bisa memikirkan banyak hal. Kebiasaan berpikir diperlukan agar anak dapat berefleksi dan bereaksi dengan tepat. Hal kecil seperti berapa biaya hidup yang kita butuhkan saja, jika tidak dipikirkan dengan matang akan membuat hidup kita beratakan tidak tertata. Masalahnya kebiasaan ini tidak dipupuk sejak kecil. Banyak anak tidak dipantik kemampuan berpikirnya, contoh banyak orangtua saat memberi tahu anaknya tentang sesuatu hal biasanya berkata "yowes pokok e gitu, km nurut aja!" - padahal alih-alih menjelaskan alasan panjang lebar, orangtua bisa loh memancing daya berpikir anak dengan melempar pertanyaan balik "menurutmu kalau .... kira-kira yang akan terjadi bagaimana?".

Namun, para pemikir terbaik di negeri itu telah lama sadar bahwa “pendidikan yang didorong oleh kuatnya kepentingan ekonomi, motivasinya rentan menyempit jadi terlalu utilitarian dan kehilangan elemen idealisme yang justru menjadi kunci kekuatan pendidikan dalam membentuk karakter.” ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 280

Kan anak sudah disekolahkan? Masa masih tidak bisa berpikir?

Entahlah, hal ini rumit kalau mau diurai masalahnya karena sebenarnya tujuan orang bersekolah saat ini bukan untuk memberdayakan kemampuan berpikirnya tapi untuk mendapat nilai dan ijazah, benar bukan? Maka, walaupun anak sudah disekolahkan (even sekolah di tempat termahal sekalipun) tidak akan menjamin kemampuan berpikirnya berjalan dengan sebagaimana semestinya. Sehingga, bagian inipun tetap menjadi tanggung jawab orangtua untuk membantu anak menggunakan daya berpikirnya agar dapat berefleksi dan bereaksi dengan tepat dalam segala kondisi. Mengobrol dan membicarakan kejadian sehari hari, merefleksikannya dapat dilakukan sebagai tahap awal membantu memberdayakan kemampuan berpikirnya, sesederhana saat beberapa waktu lalu saya mengobrol dengan Keona perihal bajunya yang tampak punggungnya sedikit :

Keona : "Ma, aku besok ga mau pakai baju ini lagi kata temanku Keona SARU."

Saya : "Memangnya SARU itu apa?"

Keona : "SARU itu ga pake baju!"

Saya : "Lhah, memangnya Keona tidak pakai baju?"

Keona : "pakai kok!"

Saya : "Berarti SARU ga?"

Keona : "ehh engga ya berarti!"

Lalu ia kembali tersenyum keluar rumah dan bermain lagi karena sudah berhasil berpikir bahwa baju yang ia pakai "TIDAK SARU".

The unexamined life is not worth living. ~ Socrates
picture from here


Selamat memikirkan banyak hal ya teman-teman,

No comments:

Post a Comment

your comment makes me smile :) can't wait to hear from you... please leave your web link too, so I can visit u back.... thank you.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...