Hari ini, kami membahas bacaan tentang pengajaran Geografi. Topik diskusi baru sampai pada bagaimana Geografi diajarkan pada masa sekarang serta pelajaran Geografi pada tingkat II (A dan B).
"Fokus pelajaran geografi dalam pendidikan modern, sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah, adalah untuk menguliti planet yang kita tinggali dari setiap jejak misteri dan keindahan. Tidak ada ruang yang tersisa untuk sekadar mengagumi atau terheran-heran pada dunia kita tercinta ini." ~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 224
Bagian tersebut membawa saya untuk mengait-kaitkan satu peristiwa dalam hidup dengan peristiwa lainnya. Kira-kira tiga tahun yang lalu saat belum mengenal Charlotte Mason, saya waktu itu belajar banyak metode dan pendekatan dalam pendidikan anak. Karena sadar hanya berlatar belakang lulusan Sastra Inggris, saya merasa harus memperlengkapi diri dengan pengetahuan terutama berkaitan dengan pendidikan anak usia dini. Waktu itu tujuannya selain untuk pekerjaan adalah saya memiliki Keona (yang saat itu baru berusia setahun) yang saya mau juga bertumbuh baik dari ibu yang memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan yang benar tentang mendidik anak. Lalu pada sebuah kesempatan, saya mengikuti sebuah workshop tentang pengajaran ala Montessori. Dulu, sebelum kenal dengan banyak metode ini, saya selalu memberikan flashcard dengan gambar kartun saat mengajar kosakata pada anak usia dini. Nyatanya, pada saat mengikuti sesi tersebut, saya mendapati bahwa yang saya lakukan ternyata belum benar. Anak harus dikenalkan terlebih dulu pada real things sebelum dikenalkan pada abstrak. Hal ini berlaku tak hanya saat mengenalkan kosakata, tapi juga saat belajar banyak hal termasuk salah satu diantaranya adalah memperkenalkan lingkungan hidup di sekitar anak. Di akhir sesi tersebut, saya teringat sang fasilitator menutup dengan alasan perlunya mengenalkan benda nyata sebelum ke abstrak adalah selain anak mengenal secara langsung, hal tersebut jika dimaknai dengan benar akan membantu anak-yang-mungkin-saja-di-masa-depan-menjadi-orang-yang-tandatangannya-berpengaruh-pada-kelangsungan-hidup-planet-ini untuk menimbang baik buruk jika dirinya diperhadapkan pada pilihan bisnis untuk uang atau kelangsungan hidup alam.
Pada tahun yang sama, di dekat rumah ada pembangunan perumahan yang menggunakan lahan sawah. Saya dan suami sering melewati sawah yang sedang dikonstruksi ulang menjadi perumahan elit tersebut, berhenti di pinggir sawah, dan berdiskusi dengan Keona kecil tentang apa yang terjadi pada sawah dihadapan kami. Sampai hari ini pun, saat menemui situasi seperti sawah yang dialihfungsikan tersebut, kami tetap akan melakukan hal yang sama, berharap suatu saat Keona tumbuh menjadi seseorang yang akan menimbang dengan baik jika diperhadapkan pada pilihan seperti uang dan kelangsungan alam. Sebenarnya, jika ingin dikait-kaitkan dengan banyak sektor, menjadikan sebuah sawah menjadi perumahan menurut saya adalah sebuah kerugian besar. Dari sektor ekonomi, perputaran uang akan berhenti karena setelah rumah terjual, wilayah itu tidak akan menghasilkan uang lagi kecuali jika ada terjadi jual beli dan itupun sudah masuk ke lingkup perseorangan. Dari segi geografis, jelas sawah adalah daerah resapan air, sehingga tanpa dipikir panjangpun, sudah tahu semestinya yang akan terjadi berikutnya saat hujan turun. Selama proses pembangunan, beberapa kali wilayah sekitar perumahan banjir, sehingga pihak perumahan mesti menaikan jalanan (inipun saya rasa hanya solusi jangka pendek, saya membayangkan jalanan akan terus dinaikan di masa mendatang seperti beberapa wilayah di daerah Semarang). Lalu dari sektor pangan, saya teringat akan beberapa artikel yang saya baca mengenai Indonesia yang selain negara maritim adalah negara agraris yang ternyata masih mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Ironis kan? Padahal hektaran sawah terbentang luas dan berakhir menjadi perumahan saja. Menurut saya, jika dikelola dengan baik, rasanya koq sawah akan lebih menguntungkan daripada perumahan ya. Uang tidak hanya akan berhenti seperti saat rumah terjual karena sawah masih akan dapat menghasilkan kebutuhan kita lagi dan lagi. Saya jadi teringat sebuah quote yang pernah saya baca "Imagine if trees gave off wifi signal, we would be planting so many trees and probably save the planet too. Too bad, they only produce the oxygen we breath.".
.....
"Di sekolah kami, menjadi prioritas untuk meminta para siswa, sebelum mulai membaca suatu teks, menemukan tempat yang disebutkan teks itu pada peta, agar mereka tahu posisinya dibandingkan tempat-tempat lain, garis lintang dan garis bujurnya."
~ Charlotte Mason, vol.6, hlm. 224
Kemudian pada bagian ini, saya teringat bagaimana almarhum papa selalu membukakan peta yang ada pada bagian belakang Alkitab saat membacakan kisah perjalanan Yesus sehingga kami anak-anaknya dapat dengan mudah memvisualisasikan kisah tersebut dalam benak kami serta mengerti mengapa pada masa tersebut, orang - orang memerlukan waktu yang lama dalam perjalanan. Dalam diskusi tadi siang, teman-teman sempat membahas tentang peta buta. Waktu sekolahpun, saya juga tidak menemukan tujuan dari belajar lewat peta buta. Bagi saya waktu itu hal ini hanya "membutakan siswa yang memang buta, bukan malah mencelikkan yang buta".
|
Gloria dan Charlotte kecil bersama papa dalam perjalanan ke Lubuk Linggau dari Jambi
|
Waktu kecil, papa sering sekali mengajak kami sekeluarga ikut beliau keluar kota untuk bekerja. Papa biasanya mengambil jalur darat dengan menggunakan mobil sendiri, bergantian menyetir dengan mama. Dulu saya pikir, kalau papa punya uang, kenapa tidak naik pesawat saja, kan lebih mudah, daripada harus capai menyetir padahal bahan bakar yang digunakan untuk pulang pergi juga tidak sedikit. "Education is atmosphere" ~ Saat itu saya memperhatikan bahwa ternyata papa dan mama menikmati perjalanan kami. Papa menyetir, mama membaca peta, begitu sebaliknya. Saat melewati perbatasan kota atau provinsi, papa akan menghentikan mobil, nenunjukan lokasi tersebut dalam peta, lalu mengajak kami berfoto bersama. Rasanya, justru pengalaman seperti itu yang akhirnya membuat saya dapat membaca peta dengan baik saat ini. Saat berada di kota lain dan harus menaiki kendaraan umum online, tanpa sadar, saya malah memandu pak supir yang kehilangan arah karena mengandalkan google map. Lucunya padahal saya tak kenal daerah itu lebih baik dari pak supir, hanya mengandalkan peta yang saya cari di internet saja. Saya bersyukur memiliki pengalaman melewati beberapa provinsi dengan orangtua, sehingga sampai sekarangpun, saat melihat perbatasan kota (biasanya ditandai dengan tugu atau semacam welcome gate) saya akan memberi tahu Keona bahwa kami baru saja melewati sebuah kota.
Sebagai penutup, saya mengaitkan salah satu bagian dalam Alkitab, pelajaran Geografi, dan perkataan Bu Ellen dalam sebuah kesempatan diskusi. Dalam Alkitab, Allah berfirman pada manusia untuk mengelola bumi dan isinya, namun apakah kita manusia yang sudah diberi tanggung jawab oleh Allah sudah menjadi "pengelola bumi dan isinya ini" dengan bajik dan bijak?